17 ~ Ternyata Bisa
"Pengecut akan selalu mencari pembenaran di luar konteks."
📢📢📢
Lena tak bermaksud berpakaian super-rapi hanya untuk menyeduh latte hangat di Kafe Ayu Lastri. Ia sedang terlalu malas. Naik ke lantai dua dan memilih pakaian cuma membuang-buang waktunya. Lagi pula, tampangnya tak buruk-buruk amat. Tidak akan membuat lelaki yang menawarkan diri menjemputnya di depan gerbang berubah pikiran. Setidaknya, itu yang sedari tadi ia panjatkan karena sudah sepuluh menit menunggu tanpa tanda-tanda apa pun.
Bosan, Lena merogoh tasnya dan mengeluarkan cermin lipat yang selalu dibawa ke mana-mana. Ia mengecek riasan yang belum bergeser sejak tiga jam lalu. Lumayan, batinnya. Bedak hasil berburu diskon di toko oranye ternyata boleh juga. Ia tersenyum dan menyimpannya kembali. Lagi, ia benar-benar tak menunjukkan kecantikannya untuk wakilnya itu. Kebetulan saja ia ada agenda gala dinner dengan pengusaha terkemuka.
Lena mengernyit berkat suara motor gede yang sangat tak ia sukai berhenti tepat di depannya. Tatapannya cukup sinis, sebab hanya itu yang bisa dilakukan. Mau mengumpat juga untuk apa? Ia tak ingin mencari gara-gara dengan orang asing. Namun, seketika ia terbelalak saat wajah Sam-lah yang muncul ketika helmnya terbuka.
"Udah lama nunggunya?"
Bukannya menjawab, Lena malah mengelilingi motor yang baru kali pertama ini dilihatnya. "Punya siapa?"
"Gue, lah."
"Yang kemarin?"
"Punya anak komisariat."
"Ooh."
Sam menautkan alis dan mengulangi 'ooh' Lena dalam hati. Apa maksudnya? Ia pun mengangkat bahu dan menyalakan mesin, hal yang tak tahu kenapa malah membuat Lena tersentak. Gadis itu mengelus dada dan memukul punggung Sam saking kesalnya.
"Bawanya pelan-pelan, ya. Gue duduknya miring, nih," pintanya karena tengah memakai rok setinggi lutut.
"Oke, pegangan aja."
"Oke."
Walau menjawab demikian, Lena masih mencerna kalimat Sam. Pegangan? Di mana? Jangan berpikir yang aneh-aneh, relungnya menggerutu. Ia lekas memegang pinggiran jok motor yang sebenarnya tak membantu sama sekali. Beruntunglah jalanan menuju kafe terbilang mulus dan sedang senggang. Sam tak perlu meningkatkan kecepatannya.
Setelah sampai di lokasi, yang tak terasa menjadi saksi dan langganan mereka, Lena berjalan terlebih dulu dan memesan minuman kesukaan mereka. Kali ini bergantian, Sam yang mencari tempat duduk di ujung ruangan dan menanti gadis yang penampilannya cukup membuat ketar-ketir.
Sam tak dapat mengalihkan pandangannya. Baru ini ia melihat Lena memakai riasan lengkap dengan balutan busana yang terbilang elegan. Agak lebay, mungkin, berhubung yang dikenakan gadis itu hanya setelan hitam formal. Namun, aura yang terpancar sangatlah berbeda. Atau karena rambutnya yang kini digelung sempurna? Ah, Sam segera menyudahi pertanyaan di otaknya.
"Langsung aja, ya," ucap Lena sambil menarik kursi lalu duduk. Ia lekas mengeluarkan catatan kecilnya.
"Oke."
Lena menunjukkan halaman berisi rundown dialog rektorat yang sudah disusun bagian acara. Ia menjelaskan peran sekaligus tugas di agenda nanti dengan hati-hati. Ia sengaja memberi Sam peran yang krusial agar lelaki itu memiliki tempat untuk bersuara, seperti janjinya.
"Inget, ini diskusi, Sam. Lo nggak ngomong sendiri kayak pas orasi. Lo bakal berhadapan dengan orang lain secara langsung dan mereka bisa nanggapin pernyataan lo."
"Iya, gue paham."
"Karena itu, lo kudu bisa ngontrol diri."
"Buat?" Sam meraih korek apinya dan berniat menyalakannya.
Namun, Lena lekas menahannya. "Karena lo udah tau kalau gue tau, gue mohon jangan ngerokok lagi. Seenggaknya kalau sama gue. Itu nggak baik buat paru-paru lo."
Lelaki yang berdecak itu segera mengangguk. "Hem, balik ke topik."
Lena melepaskan genggamannya dan memundurkan badan. "Dalam diskusi, lo harus biarin orang lain berbicara juga."
"Jelas, gue tau itu."
"Dan itu berarti lo nggak boleh asal motong pembahasan mereka, mau se-nggak suka apa pun lo sama omongannya. Kecuali kalau keluar konteks, lo boleh nyela. Itu pun penyampaian lo harus baik-baik."
Sam bergeming. Kalimat itu secara tidak langsung membuatnya berpikir, apakah sebelum ini ia terbiasa memotong pembicaraan Lena? Hal-hal demikian terjadi begitu saja tanpa bisa disadari dan sekarang ia harus berusaha mengontrolnya? Hah, memikirkannya saja membuat Sam menghela napas panjang.
"Sam?"
"Iya."
"Lo dengerin gue nggak, sih?" Lena menepuk pergelangan tangan Sam karena mata lelaki itu tampak kosong beberapa saat.
"Iya, gue dengerin, kok. Gue bakal coba buat nahan diri."
"Bagus, lo juga nggak boleh bahas masalah lama yang nggak ada hubungannya sama tuntutan."
"Maksudnya?"
"Mungkin nanti ada masa lo terpojok dan nggak tau kudu ngomong apa lagi buat membela diri. Kalau sampai terjadi, gue harap lo nggak bawa masalah lama yang udah terang-terangan berlalu hanya untuk menekankan kalau mereka pernah bersalah."
Sam lagi-lagi mendengkus dan mengiakan, "Oke."
"Jangan oke-oke aja. Pengecut akan selalu mencari pembenaran di luar konteks, Sam, dan gue nggak mau orang hebat kayak lo jadi salah satunya."
"Iya, iya. Jangan alay, deh."
Lena terkikik, tak kuasa menahan tawanya. "Oke, udah gitu aja, kok."
Keduanya memutuskan tatapan mereka lalu beralih ke minuman yang baru datang. Lena lantas memasukkan catatan kecilnya lalu mengeluarkan ponsel. Ia membenahi catatan hariannya dengan mencoret 'pembahasan bersama Sam' dan menggantinya dengan kata 'clear'. Lelaki yang mencuri pandang dan sekilas membaca namanya hanya tersenyum tipis. Ia membuang muka saat Lena mengangkat wajah.
"Ehm," Sam berdeham, "gimana kuliah lo?"
Lena mengaduk minumannya sambil mengerutkan kening. Tiada angin, tiada hujan, Sam tiba-tiba menanyakan perkuliahan padanya.
"Em, nggak gimana-gimana. Gue lagi sibuk liputan buat praktikum jurnalisme online."
"Ooh, yang kudu ngunggah berita di website, ya?"
"Iya, yang itu. Kok tau? Gue pernah cerita?"
Sam menggeleng. Tentu saja enggak. "Gue tau dari temen, anak informatika. Katanya, banyak anak ikom yang minta bantuan masalah web."
"Aah, iya, bener. Gue salah satunya. Maklum, nggak paham coding-coding begitu."
"Bukan ranah lo buat tau juga."
Lena mengangguk. "Kalau lo gimana?"
"Gue?"
"Iya."
"Tambah nggak gimana-gimana lagi. Gue masih kuliah di kelas. Ngambil yang belum ke-ambil di semester sebelumnya. Biasalah, nasib IPK kecil."
"Sesusah itu, ya, dapat nilai di teknik?"
Sam meminum kopinya sebelum menjawab, "Nggak juga, tergantung mahasiswa dan dosennya. Sama aja kayak fakultas lain. Tapi, salah satu dosen gue pernah bilang: kesempurnaan nilai A hanya milik Tuhan, nilai B punya saya, kalian C saja."
Lena sontak tertawa terbahak-bahak. Bukan hanya karena pemikiran dosen Sam yang ada-ada saja, tetapi cara bicara lelaki di depannya itu juga ikut mengguncang perut. Dengan dada yang sedikit dibusungkan, alis yang ditautkan secara sengaja dan suara yang dibesar-besarkan, cukup membuat Lena kehilangan kewarasannya.
"Udah, udah. Kualat lo ntar," ucapnya setelah berhasil menenangkan diri.
"Bodo amat. Kualat, nggak kualat, nilai gue tetep C. Apes, kan?"
"Pindah aja ke FISIP. Dosennya woles-woles."
"Telat."
Benar juga, Lena mengiakan dalam hati. Ia lantas menghabiskan minumannya untuk mengurangi tawa yang berlebih. Sekian detik berikutnya, hanya senyum tipis yang tersungging di bibirnya. Gadis itu masih menatap dan mengaduk cangkir kosong.
Sam yang sedari tadi memandang sosok di depannya turut menggigit bibir, berusaha menahan senyuman yang mengacaukan tampang garangnya. Ia lekas menyentuh punggung tangan Lena agar gadis itu segera menatapnya.
"Hem? Apa?"
"Nggak apa-apa. Biar lo nggak ketiduran aja," jawab Sam berbasa-basi.
"Ya kali, Sam. Musiknya lumayan kenceng ini."
"Iya, sih. Gue cuma nggak nyangka aja."
"Nggak nyangka apa?"
Sam mendekatkan tubuhnya. "Ternyata kita bisa ngobrol kayak cowok cewek pada umumnya."
"Maksudnya? Emang dari dulu kita ngobrolnya sebagai apa? Kunang-kunang?"
"Nggak gitu." Sam tersenyum sekilas. "Nggak nyangka aja kalau kita bisa ngobrol, bahas hal-hal santai dan normal di luar BEMU."
Lena seketika terpaku. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Ia benar-benar merinding hanya dengan kalimat tersebut. Kenapa? Apa selama ini mereka sungguh tak pernah membicarakan hal sederhana? Lena tak merasa komunikasinya seburuk itu, tetapi yang diucapkan Sam tentu tak mungkin tanpa akar.
Ia pun menelan ludah dan turut memajukan duduknya. Hal itu membuat jarak di antara mereka tak lebih dari dua jengkal. Sam tak berniat memundurkan badan sehingga kini napas keduanya berhasil membentur pipi masing-masing.
Hangat, yang Lena rasakan mungkin lebih dari itu. Namun, sorot yang biasanya terlampau tegas dan menggetarkan hati kini lebih sendu. Masih menimbulkan efek yang sama. Senyuman tipis yang ternyata membentuk lekukan kecil di sudut bibir membuatnya salah fokus sekian detik. Gadis itu lekas menggeleng cepat dan menghela napas.
"Kalau lo nyangka ini bisa terjadi, lo pengin bahas apa?" tanyanya lembut.
Sam terdiam. Ia melebarkan senyumnya dan menggeleng. Ia bukan tak tahu-menahu dengan hal-hal yang bisa mereka bahas, melainkan enggan mengatakannya saja.
Atau mungkin, tidak untuk saat ini.
Lelaki itu benar-benar hanya tersenyum lalu bersandar pada kursi, memalingkan wajah pada deretan sebelah kursi. Lena yang tak mendapat jawaban pun menyeringai dan memutar bola matanya malas.
Berani-beraninya seorang lelaki bermain seperti ini.
7 Desember 2021
1387 Kata
Ojeknya, Kak 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top