14 ~ Kembali Cekcok
"Kalau otak masih bisa diandalkan, kenapa buru-buru pakai otot? Kerja cerdas, dong."
📢📢📢
Sejak dibukakan pintu, Sam langsung berjalan ke lantai dua dan mengganti kemejanya dengan kaus oblong yang ia ambil begitu saja dari lemari. Meski bukan miliknya, ia sudah mengantongi izin untuk menyelonong masuk dan memilih mana pun. Terlalu sering singgah membuat sang empunya rumah membebaskan lelaki itu untuk bertindak semena-mena--dalam batas wajar.
"Nggak ada makanan, Ji?" tanyanya setelah turun dan menghampiri salah satu anggota kementeriannya di ruang tamu.
"Belum datang, Bang. Udah pesen, kok."
"Ooh, oke. Nanti bilang Kak Lena aja buat gantiin."
"Ck, cemen. Ceweknya yang disuruh bayarin."
Sam tertawa kecil sambil merangkul pundak Aji. "Pertama, dia bukan pacar gue. Kedua, dana dari BEMU memang dia yang pegang."
"Halah, bukan atau belum?"
"Em, belum juga boleh."
"Ciyeee."
Sebuah bantal sofa pun melayang ke wajah Aji. Sam tak henti menimpuknya karena terus-menerus menjaili dengan nada ejekan yang menyebalkan. Ia bahkan menendang bantal tersebut saat lelaki itu berhasil kabur ke depan rumah untuk mengambil pesanan online. Awas saja, permainan akan berlanjut setelah rapat nanti, batinnya.
Lena sengaja mengumpulkan seluruh anggota kemendagri di rumah yang Aji kontrak seorang diri. Selain lumayan besar dan sepi, mereka juga bisa berhemat karena tak harus memesan minuman di kafe. Lagi pula, ini minggu dan masih siang--sekitar pukul setengah sebelas, jarang ada yang sudah buka. Sayangnya, sosok yang mengobarkan sikap tepat waktu malah belum muncul sampai sekarang.
"Nanti bahas apa, Bang? Bakal lama, ya, kayaknya? Sampai kudu di rumah segala."
Sosok yang baru masuk tiba-tiba bertanya, padahal tangannya saja masih sibuk mengeluarkan pesanan dari kresek besar yang sedikit basah karena hujan. Sam yang berbaring sambil merokok dan memainkan ponsel lekas bangkit, sedikit membantu lalu meraih lemon tea dingin sebelum esnya mencair. Kemudian duduk tanpa alas di samping Aji.
"Ngerekap hasil sidak kemarin dan bikin laporannya ke presma. Terus lanjut bahas kongres. Konsepannya gimana, kan, belum diobrolin."
"Rencananya gimana?"
Sam terdiam. Ingin menjawab, tetapi tidak yakin. Apakah isi kepalanya kini sama dengan milik Lena? Bukan hal keren kalau tiba-tiba ia menjawab A, tetapi ketuanya mengatakan B. Itu adalah kemungkinan yang sangat bisa terjadi, meski ia berharap tidak akan mengalaminya nanti.
Alhasil, percakapan tersebut benar-benar berhenti tanpa jawaban. Sam justru keluar rumah dan membawa ponselnya. Bermaksud menghubungi Lena yang ternyata sudah menunjukkan batang hidungnya di depan gerbang. Gadis itu langsung masuk karena jalannya telah terbuka lebar dan parkir di dekat motor lainnya.
"Udah lama?"
Sam mengangguk atas pertanyaan tak wajar itu. Kalimat tanyanya tidak ada yang salah, hanya terasa asing kalau Lena kembali berbasa-basi lebih dulu.
"Gue hampir telpon lo, btw."
"Sori, tadi gue kelamaan neduh."
Keduanya lantas masuk. Lena segera izin ke kamar mandi untuk menyiram tangan dan kakinya yang basah, berniat mengusir dingin yang menetap di jaket dan celana jeans-nya. Ia lekas menghampiri Sam dan Aji, yang kini juga ada beberapa anggota lain, lalu duduk di antara mereka.
"Maaf, telat. Kita nunggu yang lain dulu, ya."
Semua mengangguk, tak terkecuali Sam. Sebenarnya, lelaki itu ingin bertanya sebelum rapat dimulai. Namun, gadis sebelah yang tampak kuyup masih sibuk menyisir rambut. Terlihat juga kalau ia menggerutu karena rontok yang tak terkendali. Panjang, kusut, basah pula, sudah nasibnya demikian.
Sam tak melakukan apa-apa, selain membaca konsepan yang semalam sempat dibahas di komisariat. Lena juga melakukan hal yang sama, yakni mengamati layar ponsel. Masalah isinya tentang kongres atau bukan, Sam tak tahu-menahu. Ia benar-benar menunggu sampai akhirnya seluruh anggota datang dan kemendagri pun lengkap.
"Oke, kalau gitu, kita langsung ke intinya aja, ya. Kita di sini buat bahas konsepan kongres yang jadi proker terbesar kemendagri. Untuk sidak, Mayang udah berinisiatif buat nulis laporannya."
Lena membuka suara. Ia segera menjelaskan Kongres Mahasiswa yang dibuat agar menjadi jembatan bagi mahasiswa Pelita Bahasa untuk menyampaikan aspirasi. Mulai dari alasan diadakan hingga output yang diharapkan, ia sampaikan secara perlahan agar tidak ada kesalahan pemahaman. Sam ikut menyimak, meski telah mendengarnya langsung dari presma. Program kerja ini adalah amanah darinya yang tinggal mereka realisasikan.
"Tentang konsep, saran gue bentuknya aksi aja. Jadi, nanti permasalahan di setiap fakultas kita tampung dan pilah-pilih, terus yang umum dijadikan satu buat tuntutan utamanya."
"Enggak," Lena menyela dengan alisnya yang bertaut, "gue nggak setuju."
Sam yang semula menghadap ke depan, tepat ke arah jendela, segera bergeser dan menatap Lena yang juga membenahi duduknya. Mereka saling pandang dengan sinis, membuat para anggota yang belum mengucap sepatah kata pun makin tak berniat untuk mengeluarkan suaranya.
"Apa masalahnya?" tanya Sam datar.
"Lebih baik didiskusikan dulu di dalam ruangan. Kita buat semacam Dialog Rektorat."
"Ck, yang kayak gitu cuma buang-buang waktu, Len."
"What? Buang-buang waktu? Dari segi mana?" Lena bersedekap dan refleks mengangkat dagu.
Sam menghela napas. Ia menegapkan tubuhnya sebelum menjawab, "Mereka jelas udah punya jawaban buat membela diri dari segala tuntutan itu. Jalan diskusi bakal stuck di satu tuntutan karena mau dikulik ke mana-mana pun, jawaban mereka bakal balik ke pembahasan awal. Yang akhirnya? Jelas nggak ada untungnya bagi kita."
"Terus, menurut lo kalau demo jauh lebih nemu jawabannya gitu?"
"Iya, massa aksi yang dikoordinir jelas nggak dikit dan bakal ngundang awak media. Gertakan gini mau nggak mau maksa mereka buat turunan dan ngeladenin kita."
"Bedanya di mana? Lo pikir humas nggak mempersiapkan jawaban juga buat mereka? Nggak ada jaminan, Sam. Kalau masalah citra begini malah makin dibagus-bagusin."
Lena meletakkan dokumen yang ia pegang ke atas meja dengan kasar--sedikit membanting. Ia masih menatap Sam yang tampak merah-padam meladeninya. Apa boleh buat? Ia tak menginginkan kerusuhan sedikit pun di masa jabatannya.
"Lagian, mentang-mentang udah pernah, lo mikir bakal semudah itu demo di kampus? Gue tau kalau susah ngurus perizinannya dan itu yang lebih buang-buang waktu."
"Ooh, jadi ternyata lo nolak gagasan gue karena terlalu males?"
"Di mananya gue ngomong gitu?"
"Lo bilang ngurus perizinan buang-buang waktu."
"Iya, terus hubungannya sama males apa?"
"Ya itu sama aja lo males."
"Dari mananya?"
"Dari lo bilang buang-buang waktu."
"Ya enggak, lah."
Perdebatan itu terus berlanjut. Posisi duduk keduanya makin dekat, bahkan telunjuk mereka mulai terangkat. Para anggota yang belum tahu harus berbuat apa hanya saling pandang dan berbisik. Hendak menyela pun percuma, yang ada malah mereka yang kena batunya.
Hanya Aji yang mencoba menahan Sam dengan mengusap punggung lelaki itu. Namun, ucapan Lena mengusir segala sentuhan yang Sam rasakan. Hawa panas di sekujur tubuh, terutama kepala dan dada, membuat emosinya meletup-letup. Mungkin, kalau sosok di depannya itu bukan perempuan, ia sudah mengeluarkan tenaganya untuk hal-hal yang tak berguna.
"Kalau otak masih bisa diandalkan, kenapa buru-buru pakai otot? Kerja cerdas, dong. Lo, tuh, mahasiswa. Yang beginian bisa dibicarakan baik-baik dengan kampus," ucap Lena mengalihkan tuduhan padanya.
Namun, bukannya terketuk, Sam malah menyeringai dan bertepuk tangan. Setelahnya ia juga tertawa, membuat siapa pun yang ada di kontrakan itu mengerutkan kening atas keanehan yang tiba-tiba terjadi. Lelaki itu kemudian tersenyum ke arah Lena dan mengangguk perlahan. Gadis yang masih terpaku di tempatnya spontan menelan ludah dan memundurkan badan.
"Ternyata, Lena si Ketua LPM belum move on. Masih pro kampus aja. Pantes, nggak pengin banget kalau almamaternya didemo. Kudu baik-baik, ya?"
"Maksud lo apa, Sam?" Nada Lena melembut. Ia seketika lelah saat usahanya dibenturkan dengan identitas yang mati-matian ia tanggalkan sebelum menerima tugas baru itu.
"Maksud gue udah jelas."
"Kita cukupkan aja rapatnya. Nanti gue bicarain lagi sama presma," ucap Lena sambil berdiri.
"Kenapa? Bener, ya, omongan gue?" Sam ikut bangkit dan menahan Lena yang hendak meninggalkan ruang tamu.
"Sam, lepas. Kayaknya lo capek. Istirahat aja."
Lelaki itu menggeleng dan tak melepaskan genggamannya. "Selesaikan di sini biar nggak buang-buang waktu."
"Percuma, kepala lo lagi nggak dingin," jawabnya lembut, tidak ingin melanjutkan percekcokan.
"Jangan asal tuduh."
"Lo nuduh gue duluan."
"Gue cuma berspekulasi."
"Dan itu sama aja."
"Nggak, gue--"
"Sam!" Lena tiba-tiba berteriak dan menghempaskan tangannya, "lo keterlaluan. Gue bilang udah, ya, udah."
Aji dan anggota yang lain ikut terperanjat saat sang ketua berseru demikian. Mereka perlahan meninggalkan ruangan dan beralih ke dapur atas ajakan pemilik rumah. Toh, bertahan di sana tidak akan mengubah apa pun. Salah satu di antaranya memilih untuk mengirim pesan, berniat meminta bantuan yang entah dibutuhkan atau tidak.
Sam kembali meraih tangan Lena yang kali ini mendapat perlawanan. Namun, ia tetap melakukannya sampai gadis itu menurut dan membiarkan ia berbicara, lagi.
"Sehina itu demo di mata lo? Gue cuma mau cara termasif supaya masalah-masalah di kampus ini cepet kelar." Sam menatap sendu saat mengucap kalimat itu.
"Gue nggak pernah menganggap hal itu hina, Sam. Cuma kalau ada jalan yang lebih bersahabat, kenapa enggak?"
"Len, nggak semua demo seanarkis yang lo bayangkan."
"Tapi kalau itu lo, gue bisa pastiin bakal iya. Lo pengin terluka dan sakit lagi, hah?"
Detik seolah berhenti saat Lena mengucap kalimat yang seakan mengungkit memori lama. Sam sontak melepas genggamannya dan mundur beberapa langkah. Alisnya bertaut dan ia pun menelan ludah.
"Jadi, lo beneran tau kejadian itu?"
"Iya, dan gue nggak bakal biarin lo demo lagi."
4 Desember 2021
1490 Kata
Mulai huru-hara 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top