12 ~ Gazebo
"Kita nggak tau apa-apa kalau nggak ada transparansi. Jadi, buat menjawab pertanyaan itu, ya, kudu terjun sendiri."
📢📢📢
Memang salah Sam kalau tempat duduknya kini menjadi pusat perhatian. Di siang bolong bukannya makan di kantin, ia malah memutar lagu yang seharusnya cukup dikonsumsi sendiri. Tak lupa menyeduh kopi hitam panas sambil merokok pula--apalagi kalau bukan itu. Hanya ia yang benar-benar niat membawa cangkir lengkap dengan tatakannya dari kantin ke gazebo perpustakaan. Sebelum pergi, ia sempat berpesan agar sang pemilik mengambilnya nanti. Buang-buang waktu kalau harus bolak-balik, dalihnya.
Lain hal dengan tiga anggotanya yang sudah bersila manis sambil membaca denah. Mereka hanya menggigiti sandwich lima ribuan yang Sam beli di kedai yang sama--saat membeli kopi. Bagaimana tidak? Lelaki yang berusaha berbaik hati itu hanya memberi mereka sepotong roti yang tak lebih besar dari telapak tangan. Sepertinya, efek akhir bulan.
"Gimana? Ada yang mau ditanyakan?"
"Harusnya Abang nanya dulu, kita paham atau enggak."
"Ya udah. Paham, nggak?"
"Enggak," jawab mereka kompak.
Sam menepuk jidat. Beginilah kalau menerima anggota yang masih awam dan perlu tuntunan. Ia perlu bekerja ekstra untuk memahamkan mereka. Andai Lena ada di sini, atau minimal Aji--anggota yang pernah di BEMFA sebelumnya, ia akan sedikit terbantu. Apa boleh buat? Jam mata kuliah masing-masing fakultas tidaklah sama sehingga ketidaklengkapan personel tidak dapat dihindari.
"Nanti malam mulainya dari sini dulu, abis itu ke SC, terus ke fakultas-fakultas. Fokus ngecek aliran listrik di setiap gazebo. Kalau nyala, bagian ini dicentang. Kalau enggak, ya, silang aja," terang Sam perlahan sambil menunjuk gambarannya yang dibuat semalaman.
"Yang dicek apa, Bang? Stopkontak?"
"Iya, sama lampu. Gue juga udah gambar bagiannya."
"Caranya?"
"Pakai charger hape, jadi jangan lupa bawa."
"Buset, sebanyak ini yang dicek?" seru lelaki berambut keriting yang akhirnya memahami situasi.
"Iya, kan, lo tau sendiri segede apa kampus ini. Belum yang di Jalan Bandung dan Jalan Utami."
"Bisa kelar sehari, Bang?"
Sam menggeleng. Tidak mungkin dan kalau mungkin pun, ia tidak akan mau menghabiskan waktunya untuk menancapkan charger ponsel ke stopkontak.
"Harus gini banget, ya, Bang?"
Pertanyaan itu juga Sam layangkan saat presma menitipkan agenda ini pada kemendagri. Saking konyolnya dan terkesan kurang kerjaan, ia pernah menyanggah dan menyarankan program lain yang lebih masif. Namun, lama-kelamaan ia sadar bahwa cara tradisional tak selamanya buruk, jika telah menjadi satu-satunya jalan.
"Kita nggak tau apa-apa kalau nggak ada transparansi. Jadi, buat menjawab pertanyaan itu, ya, kudu terjun sendiri."
"Hm, oke, lah. Jam enam, kan?"
Hendak mengangguk, tetapi ragu. Sam justru menyeringai dan mengangkat alis. Ia tidak berani mengiakan karena seratus persen ia sendiri akan telat nantinya. Alhasil, lelaki yang hari ini sama sekali tidak ada mata kuliah itu hanya mengulurkan tangan dan menjabat tangan anggotanya satu per satu. Iseng saja, sekaligus mengisyaratkan bahwa mereka boleh enyah dari sini.
Ia kembali seorang diri dalam menikmati lalu lalang mahasiswa yang keluar-masuk perpustakaan, juga berjalan menuju kantin kecil di tengah deretan gazebo. Tenang, tempatnya ini tidak akan dijamah orang lain karena Sam telah memasang pengumuman di tiang sebelah kanan. Istilah kerennya adalah booking. Meski yang ia lakukan hanya berbaring, merokok, meminum kopi yang sudah dingin dan tak habis-habis sejak tadi, dan bermain ponsel, tak ada yang berani mengusiknya. Lelaki itu tak dapat segera pulang karena masih ada lima anggota lagi yang belum mengambil denah.
"Kirain nggak ada orang."
Sosok yang semula bersantai menatap langit-langit sontak terperanjat dan refleks duduk. Ia mendengkus dan mengusap rambutnya ke belakang saat mendapati Lena tengah melepas sepatu lalu berjalan ke arahnya. Sam lekas menegapkan diri dan berdeham untuk menyegarkan suaranya.
"Anak semester tiga baru balik."
"Siapa aja yang belum?"
Sam segera menyebutkan nama-nama yang belum menemuinya dan menambahkan, "Ada yang konfirmasi ke lo, nggak?"
"Bentar," Lena membuka ponsel dan mencari pesan yang ia dapat saat pemberian materi praktikum, "cewek-cewek nggak bisa ikut karena kosnya ada jam malam. Ini ada yang minta di-pap ke WA aja buat dipelajari. Yang satunya nggak bilang apa-apa lagi selain minta maaf."
"Berarti tinggal nunggu yang dari FISIP. Aji sama siapa? Gue lupa."
"Lupa atau nggak hafal?"
"Bedanya di mana?" Sam memutar bola matanya.
"Iya juga. Lupa atau belum kenal?"
"Lupa, gue tau anaknya yang mana, tapi namanya susah dihafalin."
"Alasan doang."
Sam ingin membantah, tetapi ia urungkan saat Lena menata tasnya lalu berbaring dan memejamkan mata. Ia tergerak untuk mendekat dan duduk di sampingnya tanpa memandangi gadis itu. Kemudian ia bersandar pada kayu--dinding gazebo--dan meletakkan headset di telinga kiri sosok yang tumbenan mengurai rambutnya.
"Bagus, apa judulnya?" tanya Lena setelah tersenyum dan menikmati lagu yang terputar di ponsel Sam.
"Kukira Kau Rumah dari Amigdala."
"Em, gue pikir musik lo cuma sejenis Buruh Tani dan Darah Juang."
"Mau dengerin itu?"
Kini Lena membuka matanya lalu menoleh. Meski menduga akan bertemu dengan binar hitam pekat milik Sam, ia tetap terkejut. Untungnya, ia tak bereaksi macam-macam yang sekiranya membuat malu.
"Lo nyimpen lagunya di hape?"
"Iya."
"Ck, dasar. Ngapain gue kaget, ya? Kan lo emang sering demo."
"Nyambungnya di mana?"
"Ya, kan, biasanya nyanyiin itu."
Sam mengalihkan pandangan dan mengangguk. Apa yang Lena katakan tak sepenuhnya salah, walau alasan ia menyimpan lagu itu tidak ada hubungannya dengan demontrasi apa pun.
"Lagian, gue udah lama nggak ikut aksi, jadi udah lama juga nggak dengerin ini. Gue nggak segabut itu buat tiba-tiba muter lagu perjuangan."
"Em, gue tau. Terakhir lo ikut pas demo buruh, kan, ya?"
"Kok tau?"
"Iya, soalnya …."
Kalimat itu tak segera diselesaikan. Sam menanti dengan mata yang menatap lekat. Duduknya juga sudah bergeser sedemikian rupa hingga bisa menghadap Lena. Jarak mereka yang sedari tadi memang tak begitu jauh makin terasa dekat saat tensi antara keduanya mulai menanjak. Gadis yang masih menggigit bibir hanya menelan ludah dan berkedip konstan, menyadari kebodohannya yang hampir keceplosan.
"Soalnya?"
"Soalnya," Lena terus mengulur waktu dengan mengganti posisi dari berbaring menjadi duduk, "itu terakhir gue liat anak Pelita Bahasa ikut demo. Kalau ternyata masih ada demo lagi, ya, berarti gue ketinggalan."
Sam masih menautkan alisnya. Ia juga bersedekap dan mengamati gerak-gerik Lena, barangkali ada yang coba disembunyikan. Namun, gadis itu tampak biasa saja setelah mengucap demikian. Mungkin, yang singgah dan meninggalkan tanya hanya sekilas firasatnya. Lagi pula, tidak mungkin Lena mengetahui kesialannya dulu, bukan?
"Terus, lo ngapain masih di sini? Nggak balik?"
Lena menggeleng. Ia menunjukkan jam tangannya pada Sam dan berkata, "Bentar lagi jam enam. Kalau gue balik, bisa-bisa ketiduran terus telat."
"Ini masih jam empat."
"Iya, kan, dua jam lagi. Mending gue tidur di sini."
"Lo nggak berniat mandi, ganti baju terus dandan gitu?"
Lena yang baru saja kembali berbaring sontak duduk lagi. "Sejak kapan lo secerewet ini?"
Lelaki yang merasa terpojok karena Lena cukup dekat dengannya lekas mundur hingga membentur dinding. Ia juga mendorong wajah gadis itu menggunakan telunjuknya. Kemudian mengembuskan napas panjang dan menggeleng perlahan. Sepertinya, apa pun yang ia lakukan tetap akan dipertanyakan oleh Lena.
"Gue cuma mau ngobrol."
"Masak?"
"Kalau nggak mau jawab, ya, udah. Tidur, sana!"
Lena terkikik sambil menutup mulut. Kalimat datar Sam sungguh cocok dengan wajahnya yang kaku, seperti tak ada pergerakan otot sama sekali. Ia lantas memakai headset yang masih memutar lagu asing, tetapi cukup menenangkan, lalu memejamkan mata tanpa berniat benar-benar tidur karena cukup berbahaya.
"Gue bisa mandi di kamar mandi SC kalau lo keberatan sama bau badan gue. Ada baju ganti, kok, di jok motor. Dijamin aman."
"Bukan pemandian umum."
"Kan gue bilang 'kalau'. Misal lo nggak ada masalah, ya, gue nggak perlu repot-repot. Tinggal pakai parfum dan touch up gincu."
Sam masih tak habis pikir dengan pola pikir sang ketua. Atau lebih tepatnya, apa yang muncul dari Lena tak pernah terlintas di benaknya. Ia kira, keberlakuan itu cukup saat masalah OSPEK dan hal-hal bersifat formal lainnya, tetapi ternyata dalam keseharian pun Lena tetaplah Lena yang ada-ada saja. Sampai-sampai, Sam tanpa sadar tersenyum tipis dan mengusap wajah untuk mengusir pikiran tersebut.
"Jagain gue, ya. Ngantuknya beneran, lagu lo lullaby."
Permintaan Lena membuat Sam tersentak dan refleks mengangguk, padahal yang mengajak bicara tak melihatnya sama sekali. Ia segera mengiakan dan membiarkan Lena memakai kedua headset-nya. Juga memberikan jaket hitam yang selalu ia pakai untuk menutupi bagian atas gadis itu.
"Jangan makan gue, ya," ucap Lena terakhir kali sebelum benar-benar terlelap.
Sam tersenyum sambil mengamati garis wajah gadis di sampingnya. "Iya, tapi kalau yang lain, gue nggak janji."
3 Desember 2021
1385 Kata
F4 bakal tayang sebentar lagi.
Can't wait to see Nani 😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top