11 ~ Jenguk Saja

"Cowok juga bisa sakit. Lemah, cengeng, atau apa pun itu yang kesannya rendah dan disematkan ke cewek, bukan sebuah dosa kalau gue juga gitu."

📢📢📢

Tiga pos terlewati saat matahari tepat di atas kepala. Mulai dari air, tepung hingga tanah basah telah beradu dengan keringat yang menempel pada kaus oblong peserta diklat. Tampang mereka ada yang masih bisa dimaklumi, ada pula yang tak bisa dikenali. Ajaibnya, banyak riasan anggota perempuan yang masih utuh tak ternodai. Strategi penghindaran mereka patut diacungi jempol, tidak seperti para lelaki. Boro-boro mau mengelak, tak salah pun tetap kena tuah. Katanya, satu untuk semua. Tidak ada yang keberatan dan hanya tawa yang menjadi tanggapan.

Mungkin, kecuali Sam. Meski sempat wara-wiri menebar senyum dan pesonanya, ia tak dapat berlarut-larut memaksa tubuh untuk ikut berlari dan bermain secara brutal. Ia lebih memilih menepi dan beristirahat terlebih dulu, tanpa berkeinginan membantu bagian perlengkapan untuk membersihkan lapangan. Sekali ia mengucap maaf dan menjelaskan situasi, selebihnya ia menyingkir dan mengamati mereka dari kejauhan.

Lelaki itu memijat tengkuk dan kepala belakangnya dengan perlahan, mencoba mengusir lelah yang merambat ke atas dan membuat pening. Badannya juga terasa dingin dan menggigil, padahal ia tak sedang berlindung dari terik matahari. Nyeri yang membuatnya agak sesak juga mengganggu sedari tadi. Bodoh, memang, ia tak membawa obat sama sekali dan menyiksa diri seperti ini.

"Istirahat dulu, yuk. Makan siang terus lanjut packing. Check out-nya sekitar jam enam."

Seruan dari presma yang ditujukan untuk bagian perlengkapan dapat Sam tangkap dengan baik. Namun, bukannya beranjak menuju dapur seperti yang lain, ia justru duduk di teras sambil bersandar pada dinding.

Tatapannya kosong, memperhatikan tanaman yang cukup jauh dari jangkauan. Ia tak tahu bunga apa itu. Bukan karena asing, melainkan pandangannya sedikit kabur dan berwarna hitam kehijauan. Ia belum benar-benar bisa melihat sampai sebotol minuman menutupi pemandangan di depannya. Semua berubah ketika putih kebiruan mulai mendominasi. Sam pun mendongak lalu tersenyum tipis, sebelum akhirnya menunduk dan menggeleng pelan.

"Kok nggak makan?"

Tanpa izin, Lena langsung duduk di samping Sam. Setelah outbound dan bersih-bersih dirinya selesai, ia langsung mengelilingi dapur, kamar cowok, dan ruang tamu, tetapi tak kunjung menemukan lelaki yang tampak loyo sejak permainan kedua itu. Ternyata, yang dicari memang belum masuk vila selangkah pun. Malah duduk beralaskan lantai dingin yang berdebu, padahal rona dan auranya saja terlihat mengenaskan.

"Nggak nafsu."

"Minum dulu, gih. Kayaknya lo dehidrasi," tebak Lena asal.

"Gue boleh minta sesuatu, nggak?" Sam bertanya sambil menoleh, menatap gadis yang tersenyum ke arahnya. Meski tipis, sudah lama ia tak melihatnya sedekat ini.

"Apa?"

"Minjem pundak bentar, boleh?"

Tanpa bersuara, Lena mengangguk. Ia lantas menghadap depan dan mendekatkan duduknya. Sam pun segera menyandarkan kepalanya pada pundak gadis di sampingnya, sebelum yang bersangkutan berubah pikiran. Ia kemudian memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan getaran yang membuatnya lemas luar dalam.

Kaku. Lena tak dapat bergerak sedikit pun. Sebenarnya bisa, tetapi ia takut mengusik lelap yang sepertinya sudah cukup dalam. Deru napas yang terdengar teratur membuatnya cukup lega, walau hawa panas yang berasal dari kening Sam terus menusuk lehernya dan itu sangat menyebalkan.

Perlahan, Lena mencoba menyentuh lengan yang dekat dengan pahanya. Namun, ia urungkan saat lelaki itu sedikit menggeliat. Ia tersentak sekian detik seperti tengah terpergok melakukan kecurangan, padahal ia hanya ingin mengecek suhu tubuh Sam. Tidak lebih. Karena kalau memang benar-benar panas-dingin dan mengkhawatirkan, ia ingin izin pulang lebih dulu bersamanya. Lumayan, bukan? Terbebas dari urusan vila secara halus.

"Lo kalau anteng gini ganteng juga, ya."

Lena menautkan alis lalu menepuk mulutnya berkali-kali setelah refleks berbicara demikian. Kesurupan apa sampai-sampai kalimat itu keluar dari lisannya? Ia lantas menampar pipi dan jidatnya pelan. Sial, siapa sangka kalau apa yang terjadi di outbound dapat membuatnya kelabakan begini. Saling tatap dan berbagi tawa ternyata memang semenyeramkan itu.

Ia pun menyandarkan kepala pada dinding. Dilakukannya dengan hati-hati agar Sam tetap dapat menikmati tidurnya. Bosan, Lena mengeluarkan ponsel yang dibawa dari kamar. Sebelum memutar sebuah lagu, ia membagi salah satu headset ke telinga kiri Sam dan yang lain dipasang ke telinga kanannya sendiri. Sampai Jadi Debu dari Banda Neira menjadi pilihannya sebelum memutuskan mengikuti jejak sang wakil, menyelami alam mimpi dan beristirahat santai di bawah sana.

Tak banyak yang ia ingat setelah bangun dari tidur tersebut. Sam memang masih di sebelahnya dan menunggu untuk beranjak bersama, tetapi saat pulang dan mengantar sampai indekos, tidak ada aktivitas khas yang membuat Lena terngiang-ngiang. Semua terkesan terburu-buru, seolah Sam ingin meninggalkannya secepat mungkin.

Hal itu pula yang membuatnya enggan mengirim pesan terlebih dulu. Membahas kementerian saja tidak, apalagi sekadar bertanya kabar, sedang apa, dan sudah makan atau belum. Ia menunggu dan terus menunggu sampai senja dua kali berganti.

Akhirnya Lena berinisiatif menghubungi Sam. Bukan berbasa-basi, melainkan ia harus membahas agenda kementerian yang semestinya sudah mulai berjalan. Anggota mereka harus segera diberdayakan untuk memudahkan jalan menuju proyek besar di paruh semester.

"Lagi di mana? Malam ini bisa ngopi, nggak? Pengin bahas sesuatu," ucap Lena sambil mengetik.

Tak lama kemudian, sebuah pesan balasan masuk. Namun, Lena malah mengernyit dan mendekatkan ponselnya untuk memastikan kebenaran. Sungguh? batinnya tak ingin percaya.

Ini temannya, Kak. Sam masih tidur. Dia lagi nggak enak badan.

Kadar trust issue Lena meninggi. Jangan-jangan, Sam tengah menjailinya? Tidak jarang, bukan, orang berpura-pura menjadi orang lain agar dikasihani atau bertameng sakit untuk mengundang simpati. Keduanya dikolaborasikan supaya bisa menghindari suatu tugas tanpa harus beralasan murah, seperti malas, misalnya.

Ia segera membalas dengan menanyakan alamat indekos Sam dan bermaksud untuk menjenguk. Hanya sekadar mengantar bingkisan karena tak mungkin menyelonong masuk ke kamar cowok. Kebetulan, mereka berada di jalan yang sama dan gangnya pun berdekatan sehingga Lena tak harus berlama-lama berada di atas motor.

Setelah sampai dan memastikan nomor rumah yang ada pada tembok, Lena segera mengirim pesan. Tak lama, seorang lelaki bercelana pendek tergopoh-gopoh menghampirinya dan membuka gerbang. Ia mengajak Lena untuk masuk dan duduk di teras karena ruang tamu telah dipakai pasangan muda-mudi lain.

"Saya Riki, Mbak."

"Lena aja."

Riki mengangkat tangannya setara dada dan menggeleng cepat. "Adik tingkat."

"Oh gitu, oke."

Hening, gadis yang memakai setelan hitam-putih masih celingak-celinguk, mengamati hunian yang tak seburuk pikirannya. Lena pikir, bentuknya akan sebelas-dua belas dengan komisariatnya--sedikit bersih dengan tempat sampah dipenuhi kertas bungkus dan styrofoam. Ia lantas menyerahkan bingkisan berisi buah dan vitamin yang baru dibeli sebelum berangkat.

"Oiya, nitip ini, ya."

"Makasih, Mbak."

"Em, kalian satu kamar?" Lena mencoba membuka percakapan karena tak enak kalau langsung pulang begitu saja.

"Sebenernya saya nggak kos di sini, tapi karena kemarin harus ngantar Sam ke rumah sakit, jadi nginep sini dulu."

"Dirawat maksudnya?"

"Enggak, kok. Masuk UGD aja, tapi setelah infusnya abis boleh pulang."

"Ooh," Lena manggut-manggut, "emang sakit apa?"

"Anu, itu--"

"Berisik lo, Ki."

Sang empunya nama sontak menoleh ke sumber suara. Ia yang tanpa izin membuka dan membalas pesan Lena seketika berdiri menghadap sahabatnya, Sam. Tatapan lelaki itu menyaratkan ketidaksukaan, membuatnya menelan ludah dan menggigit bibir. Sadar kalau lama-lama di sana akan ditelan hidup-hidup, ia pun berniat masuk ke kamar dan meninggalkan sepasang ketua-wakil itu untuk berbicara empat mata. Namun, sebelum enyah, Riki sempat berbisik kalau apa yang ia lakukan adalah salah satu bentuk kepedulian.

Ingin Sam memukul kawannya tersebut dengan keras, tetapi sangat diurungkan karena Lena masih menatapnya lekat-lekat. Ia lantas duduk di kursi bekas Riki dan membuka kresek hitam yang ditinggalkan lelaki itu.

"Makasih, ya," ucapnya seraya menatap Lena.

Gadis yang diajak bicara mengangguk. "Udah enakan?"

"Lumayan."

"Ternyata lo bisa sakit juga, ya."

"Menurut lo? Cowok juga bisa sakit. Lemah, cengeng, atau apa pun itu yang kesannya rendah dan disematkan ke cewek, bukan sebuah dosa kalau gue juga gitu."

"Emang lo sakit apa?" tanya Lena setelah mendapat kesempatan.

"Flu."

"Flu sampai dibawa ke UGD?"

"Nggak boleh? Jangan diskriminasi penyakit gitu, lah."

"Maksud gue bukan gitu, tapi--"

"Gue udah baca chat lo," potong Sam sebelum pembahasan Lena ke mana-mana. Ia memang tahu maksud kedatangan gadis itu dari ponselnya yang belum dikunci.

"Iya, terus?"

"Ya mau bahas apa?"

"Oh iya," Lena menepuk jidat lalu mengeluarkan catatan kecil berisi hasil obrolan bersama presma, "gue pengin mulai sidak infrastruktur. Dari kampus satu dulu, baru ke kampus dua dan tiga. Tadinya, gue mau minta bantuan lo buat bikin denah, tapi karena lo sakit jadi--"

"Gue bisa, kok. Udah bikin timeline-nya?"

Tanpa menanyakan keputusan yang diambil secara sepihak, Sam lekas mengiakan dan melanjutkan pembicaraan ke hal yang belum disinggung. Jujur, kening Lena sampai berkerut saat Sam menyentuh catatannya dan membaca tiap kalimat yang ia tulis dengan saksama. Ini bukan mimpi, kan? relungnya bertanya-tanya.

"Baru yang minggu depan. Lo nggak ada sanggahan atau apa gitu?"

Sam beralih menatap Lena. "Emang harus didebatin dulu?"

"Ya barangkali. Tumben, soalnya."

"Gue juga pengin cepet sidak, kok, jadi nggak ada masalah."

"Bener?"

"Kalau enggak?" Sam malah menantang karena Lena tak kunjung percaya.

"Berarti lo nyusun rencana yang enggak-enggak lagi di belakang gue."

Sam tak segera menjawab. Ia hanya tersenyum dan mengangkat bahu. Dua respons yang membuat Lena mengernyit dan menghela napas. Kalau sudah seperti ini, apakah saatnya ia yang harus meningkatkan skala kepekaan.

Rumit.

2 Desember 2021
1510 Kata

Kalau boleh, aku minta teman-teman buat nggak komen 'next' dan semacamnya, ya. Aku pasti lanjut nulis ini, kok. Makasih 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top