10 ~ Outbound
"Nggak lulus, lah, kalau pas diklat nggak makin akrab. Yang baper sampai cinlok aja ada, masak yang ngambek doang nggak beres-beres."
📢📢📢
Hari masih gelap dan Lena sudah beranjak dari kasur. Bersama satu-satunya selimut yang membungkus tubuh untuk menghalau semilir angin, ia berjalan ke ruang tamu sambil berjinjit. Sesekali tubuhnya bergidik berkat dingin yang berhasil menembus kulit. Sial, memang, padahal vila ini telah tertutup rapat dan hanya menyisakan lubang ventilasi di atas pintu. Besarnya tidak seberapa, tetapi penderitaannya sungguh tak bisa dijelaskan.
Apa boleh buat? Mulutnya terlalu kaku untuk dibuka karena gigi-giginya bertarung tanpa henti. Jika ia memaksa membukanya, yang keluar hanya embusan dingin yang tak membantu apa pun. Ia lantas menyalakan lampu tengah, berniat untuk maraton Drama Korea di sofa. Pikirnya, kalau otak telah bekerja dan teralihkan oleh sesuatu yang menyegarkan, ia akan lupa betapa dinginnya tempat ini. Namun, belum sampai ia melanjutkan langkah, matanya terbelalak mendapati seorang lelaki telah meringkuk dan bergetar dalam tidurnya.
"Siapa, ya?"
Masih dengan mengendap-endap, padahal tidak ada yang akan menangkapnya hidup-hidup, Lena menghampiri sosok tersebut. Ia lekas mendengkus dan memutar bola matanya saat mengetahui bahwa Sam-lah yang tengah terlelap di sana. Ia pun duduk di sofa yang sama, tepat di sebelah wakilnya itu. Harusnya memang tidak muat, tetapi karena Sam menekuk kakinya hingga menyentuh dada, Lena kini mendapat tempat.
Mata gadis yang belum terbuka sempurna itu tak berpindah seinci pun. Ia masih memperhatikan lelaki yang terlihat tidak menikmati alam mimpinya. Ada beberapa pilihan, mulai dari efek lelah diklat seharian, tempat tidur yang lumayan keras, atau dingin yang tak tanggung-tanggung. Menurut Lena, yang terakhirlah jawabannya.
"Sok kuat banget," ucap Lena seraya menggeleng.
Perlahan, meski ragu, ia mencoba mengusap lengan Sam yang tak terbalut jaket. Tentu saja dingin, batinnya. Bahkan, ia sempat tersentak saat berhasil menyentuhnya.
"Dari jam berapa lo di sini? Kenapa nggak diambil aja, sih, selimutnya? Kan gue bisa nebeng ke anak cewek lain."
Siapa yang akan meresponsnya? Tidak ada, dan Lena tahu itu. Ia hanya menumpahkan uneg-uneg yang tak mungkin dikatakan secara langsung. Bukan tidak berani, hanya tidak penting, toh semuanya sudah telanjur. Ia lantas memindahkan jaket yang semula berada di kaki ke bagian dada--menutupi lengan hingga pinggang. Kemudian berbagi selimut yang ia gunakan. Kalau begini, Lena tak perlu merasa bersalah karena Sam tidak menderita dan ia tidak menolak tawaran sebelumnya.
"Lo jangan ambigu, dong. Susah bencinya kalau peduli mulu."
Setelah mengalihkan pandangan, Lena mengeratkan pelukannya pada lutut. Ia berdecak lalu mengusap wajah, sebelum menyalakan ponsel dan membuka aplikasi streaming. Episode demi episode pun ia tonton sampai matanya tertutup tanpa sadar. Ponsel yang semula digenggam erat juga tergeletak begitu saja, sebab tangan yang memegangnya telah luruh. Sejoli se-kementerian itu menghabiskan hari dan akan menyambut pagi di sofa yang sama.
Sam terbangun terlebih dulu. Ia menggeliat dan hendak meregangkan tubuh yang cukup kaku karena tak berganti gaya semalaman. Namun, aksinya tertahan saat kakinya menyentuh sesuatu. Ia sontak membuka mata lebar-lebar dan menoleh, bahkan bangkit untuk mendekati dan mengenali sosok tersebut.
"Lena?"
Tidak salah lagi, lelaki itu lantas melirik selimut yang menutupi kakinya dan juga Lena. Ia segera memundurkan badan dan memandangi sang ketua dengan senyum tipis di wajahnya. Jadi, tadi malam ada yang repot-repot memberinya perhatian seperti ini? Ck, Sam menutupi rona mukanya yang memerah. Hal yang justru memperlihatkan betapa lebar senyumnya sekarang. Bukannya apa, dari kemarin-kemarin ia cukup kalang kabut karena menjadi musuh rekannya sendiri. Namun, agaknya ia tak perlu khawatir lagi.
Sam pun bangkit dan membiarkan Lena memakai selimut seutuhnya. Ia juga memindahkan sosok yang awalnya tidur dalam posisi duduk menjadi berbaring. Jaket yang ia pakai lekas diletakkan di bawah kepala gadis itu sebagai pengganti bantal. Ia kemudian duduk di kursi sebelah sambil mengangkat kaki. Kopi yang hendak disantap langsung diabaikan saking dinginnya. Setelah itu tak ada yang ia lakukan, selain mencuri pandang ke arah Lena dan bermain ponsel.
"Wih, udah bangun, Bang!"
"Sstt," Sam meletakkan telunjuknya di depan bibir saat salah satu dari anggota kemenlu berjalan dari dapur dan menghampirinya, "dia masih tidur. Pelan-pelan ngomongnya."
"Eh, sori, sori."
"Kopi, Bang?" tawar gadis yang Sam tahu bernama Rini. Ia sering mendapati Lena berbicara dengannya.
"Masih baru?"
"Iya, baru gue bikin."
"Makasih." Sam menerimanya tanpa basa-basi lagi.
"Sama-sama. Oiya, boleh nanya nggak, Bang?"
"Apa?"
"Kalian berantem, ya?"
"Hah?" Sam mengerutkan kening, "siapa?"
"Bang Sam sama Kak Lena. Gue liat akhir-akhir ini jarang ngumpul bareng. Pas rapat juga berangkat sendiri-sendiri. Duduknya jauhan juga."
"Kenapa nanya ke gue? Kan lo deket sama Lena."
"Kalau Kak Lena udah jawab, ngapain nanya lagi ke lo? Gue nanya karena kemarin nggak dapet jawaban yang memuaskan."
Sam menelan ludah dan menggeser duduknya agar bisa langsung menghadap Rini. "Dia jawab gimana?"
"Nggak ada apa-apa, nyatanya pas ke sini masih boncengan, gitu katanya."
Tidak salah dan seratus persen bisa dipastikan Lena benar-benar mengatakannya. Sam berdecak dan mengacak rambut yang meski panjang, tak tampak berantakan. Ia lantas mengangguk saat Rini menatap seolah menunggu tanggapannya.
"Ngambek dikit, tapi keterusan sampai sekarang. Gue juga nggak ngerti kudu gimana lagi biar dimaafin," jawabnya jujur pada gadis yang juga kader IMP, tetapi berbeda komisariat.
"Masalah apa?"
"Kalau itu, privasi kementerian."
"Oh, sori lagi."
"Nggak apa-apa."
"Em, saran gue, mending cepet dikelarin, Bang. Biar nggak ganggu kewajiban juga."
Sam mendengkus dan menatap langit-langit. "Kalau segampang itu pasti udah aman dari kemarin. Sayangnya, yang bersalah nggak punya kendali apa-apa."
"Iya, sih, tapi nggak lulus, lah, kalau pas diklat nggak makin akrab. Yang baper sampai cinlok aja ada, masak yang ngambek doang nggak beres-beres."
"Bukan kemauan gue. Semua tergantung dia," ucap Sam seraya menatap Lena.
Percakapan itu berhenti setelah secangkir kopi tak lagi mengepulkan asap. Mentari yang mulai naik dan menembus gorden juga mengantar mereka untuk beranjak dari sofa. Akan tetapi, tidak dengan Lena. Ia hanya membuka mata dan menggigit bibir. Sam telah pergi dan ia benar-benar sendiri. Hanya satu yang tertinggal, yakni kalimat terakhir yang tak sengaja terdengar.
Gadis itu melipat selimut dan jaket, lalu menyimpannya di kamar. Kemudian melanjutkan rutinitas setiap pagi sebelum mengikuti arahan presma untuk agenda outbound. Kali ini, menteri dan wakil menteri juga ikut berpartisipasi.
Tak perlu bertanya pun, jawabannya sudah jelas. Beberapa ember yang terisi air, gelas bekas air minum kemasan yang sudah dibersihkan, tali rafia yang dipotong-potong kecil, dan kayu berukuran sedang yang membagi lapangan menjadi lima bagian. Hah, Lena refleks mengembuskan napas panjang. Permainan baru dimulai dan mereka sudah dihadapkan dengan dinginnya air.
"Silakan berkumpul sesuai kementerian masing-masing. Untuk sesi pertama dari yang jumlahnya sepuluh dulu. Kemendagri, kemenlu, kemendikbud …."
Lena segera berjalan ke sisi yang ditunjuk Zaki selaku wakil presma. Ia juga mengajak anak-anak kementeriannya untuk turut merapat, kecuali Sam. Ia masih berusaha mengabaikannya. Gadis itu lantas membagikan gelas bekas yang sudah dipasang tali rafia ke seluruh anggota, kali ini termasuk Sam. Namun, ia tak memberikannya secara langsung.
"Jadi, tugas kalian memindahkan air dari ember di depan ke ember belakang secara estafet."
Mampus, batin Lena. Rugilah ia yang telah memakai segala macam skincare karena setelah ini akan diguyur tanpa henti. Bagaimana tidak? Gelas bekas itu diikatkan ke kepala dan mereka harus menuangnya dari atas. Sial, bukannya ember terisi penuh, yang ada malah ia yang bakal basah kuyup.
"Dimulai dari … sekarang!"
Lena menunggu dengan sabar karena ada di baris kelima. Sebelum mulai, ia sempat berganti tempat dengan anggota di depannya. Hal yang justru tak ia duga adalah Sam turut mengganti posisi menjadi tepat di depannya. Sayup-sayup ia dengar kalimat simpatik yang intinya lebih baik paling depan karena hanya tidak menerima air dari siapa pun. Ck, sok jantan sekali, gerutunya dalam hati.
"Len?"
Sang empunya nama tersentak dan mendongak. Terlalu lama bermonolog membuatnya lupa akan permainan. Ia lekas menatap Sam yang sudah setengah berdiri dan bersiap memberinya air. Refleks, Lena memejamkan mata dan mencengkeram rerumputan.
Namun, detik terus berlalu dan tak setetes air pun jatuh ke wajahnya.
"Maaf, ya. Ini pelan-pelan, kok. Lo tenang aja. Percaya sama gue."
Lena memberanikan diri untuk membuka mata. Ia sedikit terkejut dengan gelasnya yang hampir terisi penuh. Senyumnya mengembang setelah Sam enyah ke depan untuk menerima gelas berikutnya. Ia berubah antusias dan menikmati permainan.
"Maaf, ya."
Sam selalu mengawali estafet tersebut dengan kata maaf. Ia makin gencar mengucapnya ketika tak sengaja membasahi wajah Lena. Namun, bukannya marah, gadis itu malah cengar-cengir dan menertawakan kepanikan wakilnya tersebut.
"Gantian lo yang di sini, Sam. Gue yang di depan lo," tawar Lena yang ada-ada saja.
"Oke."
Lena berseru dalam hati karena bisa berkesempatan mengguyur Sam, meski ia tak bersungguh-sungguh menginginkannya. Ia hanya mau balas dendam setelah sedari tadi ditatap dari atas. Sekarang, gantian. Hitung-hitung melatih fokus agar tak mengacaukan segalanya.
"Diem, Sam. Gelas lo gerak terus. Meleset mulu, nih."
"Ini udah diem."
Sam merem-melek saat Lena tak henti menyiramnya. Entah sengaja atau tidak, ia tetap diam dan membiarkan kesenangan gadis itu berlanjut.
"Ayo! Ayo!"
Semangat Lena kian terpacu ketika presma mengatakan waktu mereka kurang sedikit lagi. Ia bahkan tak ragu untuk mempercepat tuangannya yang membuat wajah Sam makin tak karuan. Senyumnya sontak berganti tawa saat lelaki di hadapannya ikut terkikik. Tak dapat dipercaya, ia bisa menikmati outbound ini tanpa paksaan.
Sampai akhirnya Lena sadar bahwa seharusnya ia tak pernah menawarkan untuk berganti posisi.
2 Desember 2021
1534 Kata
Akhirnya sepuluh bab juga 🤧
Semoga setelah ini bisa konsisten
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top