1 ~ Anak Sebelah

"Sekarang mungkin jadi lawan, tapi suatu saat bisa aja jadi kawan, kan, apalagi kalau kepentingan dan kekuasaan udah ikut campur."

📢📢📢

Hampir seminggu berlalu, hening menjadi hal yang cukup langka di sekitar lorong-lorong kampus, khususnya yang menghubungkan kantin dengan Student Center. Beberapa mahasiswa yang (tampaknya) luar biasa aktif tengah berkoar-koar menggunakan megafon, sebaliknya tak sedikit pula yang memilih antre sebelum gorengan dua ribuan ludes diserbu orang lain. Keduanya saling cibir di dalam hati atas kelakuan masing-masing. Si A yang menyayangkan sikap bodo amat kaum pemburu nasi kucing dan si B yang turut memaki sikap pengganggu ketenangan perkuliahan. Apa pun masalahnya, Lena hanya peduli dengan dokumentasi siang ini.

"Kayaknya kita telat, deh, Kak," ucap salah satu junior yang kewalahan membawa dua kamera.

"Iya, gue tau. Mulainya dari jam sepuluh tadi."

"Lah, kalau gitu, kenapa kita baru nyamperin sekarang?"

Lena menyeringai lalu menggeleng sekilas. "Emang negara kita pernah ontime? Paling telatnya nggak parah-parah amat. Santai aja, lah."

Gadis yang baru saja membenahi ikat rambut itu lekas bergegas membelah kerumunan. Ia berkali-kali meneriakkan kata 'PDD' agar kadar kepekaan mahasiswa di sana dapat bermunculan, meski sebenarnya Lena bukan bagian dari apa yang disebutkan dan mereka telah memakai atribut LPM. Setelah menemukan tempat strategis untuk mengabadikan debat antar-calon di pemilihan raya tahun ini, ia segera mengatur posisi kamera dan tripod.

"Lo stay di sini, ya. Gue mau nanya-nanya dulu."

"Jangan lama-lama, ya, Kak. Takut soalnya kalau sendirian."

Mendengar hal itu, gadis yang tengah mengantongi ponselnya lantas tertawa. "Ini debat intelek, Dek, bukan tawuran suporter. Dah, lah, gue cabut."

Lena tak benar-benar setega itu karena sebelum enyah, ia telah menghubungi anggota lain untuk ikut meliput. Lagi pula, hal-hal seperti ini bukanlah sesuatu yang mengharuskannya terjun langsung. Gadis itu memilih untuk menghampiri kumpulan lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.

"Akhirnya nongol juga lo, Len."

"Semua akan nongol pada waktunya, Bang," jawabnya seraya menyalami satu per satu lelaki di depannya. "Sori telat, tadi harus ke Lab. Komunikasi dulu."

"Halah, belum ketinggalan banget, kok, baru satu sesi."

Dahi Lena mengerut dan ia pun bersedekap. "Ngapain aja selama itu?"

"Biasa, kelamaan ngumpulin massa."

"Pembahasan anak SEMU juga ada yang nggak fokus, sih. Banyak argumen di luar topik yang disangkutpautin. Mana begonya diladenin semua lagi, jadi ke mana-mana, deh," tambah seniornya yang lain.

"Nggak kaget."

Lena mengalihkan pandangan ke panggung debat yang mulai diisi para orator beralmamater. Ia mendengkus dan memutar bola matanya malas. Kalau bagian ini saja belum selesai, sudah dipastikan acara puncaknya akan mundur sampai besok. Melihat pemandangan yang sama sebanyak tiga kali membuatnya cukup hafal dengan huru-hara yang terjadi.

"Aw!" Lamunan Lena berantakan saat seseorang menjentik dahinya. "Bang Zaki, kenapa, sih?"

Lelaki bermasker hitam tersebut lekas terkekeh-kekeh. "Lo mikir apa? Nyesel karena nolak tawaran buat nyalon?"

"Nggak sama sekali, lah."

"Nggak usah membohongi diri sendiri gitu, Len. Gue paham, kok, kalau setelah lengser dari Lestari, lo pasti gabut banget."

"Sialan lo!"

Mereka semua tertawa, tak terkecuali Lena. Ia tidak salah, Zaki apalagi. Pernyataan itu memang benar dan berhasil menembus relungnya. Terbiasa sibuk di organisasi lantas menjadikannya pengangguran saat jabatan harus ditanggalkan. Namun, bergelut dengan undang-undang bukanlah gayanya. Ia lebih suka beraksi dan lari ke sana-sini, seperti meliput berita, misalnya.

Percakapan mereka terusik saat lelaki dengan kemeja tak berkancing dan celana jin sedikit robek berjalan mendekat. Tampak dua orang yang turut mengikuti dari belakang. Kalau dilihat dari panjang rambut dan cara berpakaian mereka yang di luar selera Lena, nama 'teknik' segera terlintas di pikirannya. Akan tetapi, satu sosok di antara mereka sangatlah putih dan jauh dari stereotip yang ia anut.

"Siang, Bang, masih di sini aja?" sapa lelaki yang membawa gantungan kunci akrilik berbentuk rantai.

Nah, kan, anak teknik, pikir Lena.

"Iya, nih, lagian baru mulai juga. Kalian mau ke mana?" Zaki menanggapi.

"Ngopi dulu di sekret. Duluan, ya, Bang."

"Oke, oke."

Lena hanya tersenyum saat mereka berpamitan. Ia tidak menyalami siapa pun karena selain belum kenal, anak-anak teknik itu juga tidak menjabat tangannya terlebih dulu. Namun, yang lebih penting, tatapannya sampai sekarang tak beralih dari lelaki yang sedikit gondrong dan mengucir rambutnya.

"Siapa, Bang?" tanya Lena penasaran.

"Anak partai sebelah. Kenapa? Yang putih cakep, ya?"

"Gue bego, sih, kalau bilang dia jelek."

Zaki tertawa terbahak-bahak, sedangkan Lena hanya memandang sinis dan berdecak. Ia kembali memandang ke arah lelaki yang kini hanya menampakkan punggungnya.

"Kok kayak nggak asing, ya."

"Siapa?"

"Yang putih tadi."

"Oh, Sam. Dia Wagubma Teknik tahun kemarin. Tahun ini nggak nyalon lagi. Lo pernah ketemu pas aksi kali. Dia sering demo di luar."

"Mungkin," jawab Lena sekenanya. "Dah, lah, ngapain jadi bahas dia? Mending fokus nonton, toh nggak bakal berurusan lagi."

"Jangan gitu, Len. Sekarang mungkin jadi lawan, tapi suatu saat bisa aja jadi kawan, kan, apalagi kalau kepentingan dan kekuasaan udah ikut campur."

Lena menepuk jidatnya. "Iya, deh, Bang. Ngeri lama-lama kalau dengerin lo ngomongin politik."

Lena mengakhiri percakapan tersebut dan kembali ke jalan yang benar, yaitu menanyakan hal-hal yang ia lewatkan sebelum menginjakkan kaki ke sini. Walau otaknya masih penasaran dan cukup mleyot dengan sosok bermata tajam tadi, ia harus lekas sadar. Tanggung jawabnya belum selesai.

📢📢📢

Dua gelas kopi hasil malak panitia KPRU lekas dibawa ke ruang kelas yang letaknya di ujung gedung lantai empat. Sam tampak membawanya dengan sangat hati-hati. Bukan karena takut tumpah, melainkan ogah diomeli sahabatnya yang belum makan dari pagi. Berulang kali ia mengerutkan kening karena ponselnya terus-menerus berdering. Bener-bener nggak sabaran, batinnya.

Lelaki yang telah sampai itu lekas menendang pintu yang ada di depannya. Tentu, tangannya tengah penuh, jadi ia tidak bisa mengetuk dengan baik-baik. Namun, agaknya kalau bebas pun, Sam tetap memilih cara itu agar urusannya cepat selesai.

"Lama banget, mampir ke mana dulu?"

"Siapa suruh lo milih tempat yang mojok begini."

Sam segera memberi dua gelas kopi tersebut ke Riki, sahabatnya. Ia tidak berniat mencicipi salah satunya karena sosok di depannya jauh lebih memerlukan itu.

"Kalau di sekretariat malah nggak enak, Sam, ntar kita dikira ada deal apa-apa."

"Malah yang sembunyi-sembunyi begini lebih mencurigakan, lagian lo kenapa nggak nyari makan dulu?"

"Nggak nafsu. Pikiran gue nggak sinkron."

Meski bersahabat, Riki masuk kuliah setahun lebih lambat dari Sam sehingga mereka berbeda angkatan. Sebagai orang yang pernah bergelut di ranah yang sama, Sam pun mendekat dan menepuk bahu lelaki itu, berusaha menenangkan.

"Wajar, kok. Malah aneh kalau lo nggak kepikiran ke mana-mana. Pasti senior banyak cerita yang nggak-nggak, kan?"

Riki menoleh dan mengerutkan kening. "Kok tau?"

"Gue dulu juga digituin."

"Sial, jangan nakut-nakutin gitu, lah."

"Ya, gue nggak bisa bilang santai, Ki, yang jelas omongan mereka nggak mutlak terjadi. Tapi, nggak ada salahnya lo jaga-jaga. Besok debat presma, tiga hari lagi pemira, abis itu semua hal bakal ketauan baunya."

"Iya, sih, tapi--"

Obrolan tersebut terputus ketika dua lelaki berkemeja putih--persis seperti Riki--membuka pintu yang setengah tertutup. Dua orang tersebut menghampiri mereka dan membuat Sam beranjak dan menepuk pundak kawannya.

"Gue balik, ketemu di kos aja."

"O-oke," jawab Riki gugup. "Makasih, ya, kopinya."

Sam mengangguk. Ia segera beranjak seraya menatap tajam ke arah adik tingkat yang tak tahu adab tersebut. Sudah masuk tanpa salam dan izin, mereka tak menyapanya pula. Andai masih berkuasa di BEMFA, ia pasti akan mengunyah dua makhluk super-songong itu.

Langkahnya melambat saat menyadari keberadaan seniornya berlalu lalang di lorong. Ia tidak ingin buru-buru bertemu karena masih sakit hati dengan apa yang didapatnya beberapa waktu lalu. Namun, lelaki bergigi rapi itu tetap tersenyum lebar saat namanya dipanggil dan diminta untuk mendekat.

"Lho, Sam, dari mana? Perasaan tadi masih nyimak debat."

"Nyamperin temen, Bang."

Sam terperanjat saat kakak tingkat beda jurusan itu merangkul dan berbisik, "Kok nggak ikut keliling sama Haris?"

"Udah, Bang, dan itu bagi gue juga udah cukup."

"Nggak gitu. Kalau lo masih tersinggung, gue nggak naikin lo ke presma karena calon dari sebelah tahun ini lebih punya nama."

Sam masih terdiam. Sungguh, ia sangat malas dengan pembahasan ini. Namun, ia tak memiliki pilihan lain, selain mendengarkan.

"Makanya gue pengin lo rajin nongol di sebelah biar mereka tau kalau lo itu ada dan kepikiran buat rekrut ke kementerian nantinya."

"Paham, Bang. Makasih. Gue cabut dulu. Mau makan."

"Eh!"

Telinga Sam benar-benar tak mengindahkan seniornya yang masih ingin berbicara. Lelaki itu tetap melenggang pergi karena perutnya memang keroncongan sejak tadi. Ia lantas merapatkan jaketnya dan memakai masker hitam. Namun, sorot mata dari kejauhan yang tampak sedang memperhatikan membuatnya membeku.

Gadis dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, lagi.

Sosok yang mengotak-atik kamera tersebut sedikit tersenyum dan sekilas membungkuk saat Sam membalas tatapannya. Lelaki yang masih kelaparan itu melakukan hal yang sama sebelum melanjutkan langkah dan bergegas menuruni tangga. Telapak tangannya sontak terkepal sempurna setelah berhasil menemukan identitas yang dicari-cari. Tentu, ia masih ingat dan akan selalu ingat dengan apa yang tertulis di halaman depan majalah Lestari beberapa bulan lalu.

1 November 2021
1470 kata

📢📢📢

LPM: Lembaga Pers Mahasiswa; Lembaga pers yang dijalankan dan dikelola oleh mahasiswa di lingkup kampus.
Pemira: Pemilihan Raya; Mekanisme demokrasi yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil di perguruan tinggi.
SEMU: Senat Mahasiswa Universitas (Dewan Legislatif Mahasiswa); Organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang legislatif tingkat Universitas.
Wagubma: Wakil Gubernur Mahasiswa; Gubernur adalah istilah yang dipakai untuk pemimpin atau ketua BEM Fakultas.
KPR: Komisi Pemilihan Raya; Penyelenggara pemira. KPRU di lingkup universitas dan KPRF di lingkup fakultas.

📢📢📢

Hai, aku datang membawa kisah perkuliahan lagi, nih. Pelan-pelan kita kenalan dengan Sam-Lena, ya 😍

Sebelumnya, aku mau menekankan meski sebagian plot memang benar² terjadi di dunia nyata, cerita ini tetaplah fiksi yang sudah kubumbui untuk berbagai kepentingan. Jadi, bagi kalian yang tahu asal almamaterku, kuharap nggak ada tendensi negatif ke sana, ya.

Sampai jumpa di bab selanjutnya 😘

Ciyeee, kompakan 😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top