9. Lontong Sayur
TARA
Gue terbangun karena kepala gue sakit sekali. Seperti ditusuk ribuan jarum pada saat bersamaan, plus nyut-nyutan.
Ketika gue membuka mata, gue berusaha fokus karena ruangan ini agak gelap. Namun, stiker Winnie The Pooh di bagian langit-langit terlihat sangat jelas.
Gak tau kenapa, gue tiba-tiba bangkit begitu saja dan terduduk. Gue sadar gue gak kenal sama ruangan tempat gue berada, makanya gue meneliti ruangan ini, mengedarkan pandangan.
Pertama, gue kaget saat melihat Imel tidur di lantai beralaskan karpet. Asli, kok gue bisa sama Imel? Gimana ceritanya? Gak mungkin kan kalau gue main sama anak didik gue sendiri? Emm, well, mungkin aja sih kalau itu Tara beberapa tahun yang lalu. Tapi sekarang kan engga!
Dohh! Oke lanjut ke persoalan kedua.
Kalau dilihat dari ruangan yang ukurannya gak terlalu besar, sepertinya sih gue ada di kost-kostan.
Ketiga, kok gue bisa lihat jelas? Padahal kan gue gak pake kacamata.
Shit! Itu artinya, gue tidur pake soft-lens. Ah gila, bahaya banget ini!
Gue bangkit kembali, kali ini berdiri, agak sedikit melangkahi Imel, gue berjalan ke arah belakang, pintu yang gue yakini adalah kamar mandi.
Begitu pintu tersebut terbuka, dugaan gue benar, kamar mandi. Jadi langsung saja gue mencuci muka. Untungnya, di kamar mandi ini ada kacanya walaupun kecil dan tergantung rendah. Atau gue yang ketinggian?
Menekuk lutut untuk menyamakan posisi dengan cermin, gue pun melepas lensa kontak yang gue kenakan, membuangnya ke closet. Ya, buang aja, softlens buat gue cuma satu kali pakai. Karena menurut gue, gak higienis aja kalau dipakai berulang-ulang. Toh murah juga kan.
Setelah keduanya lepas dari mata gue, tentu saja pandangan gue jadi buram. Maklum, mata gue minus 3.75 yang kiri dan minus 3.50 yang kanan. Tapi gak apa, mata gue jadi lega karena gak harus ketempelan benda tipis tadi.
Kembali mencuci muka, kali ini minta pembersih wajah yang tersedia di kamar mandi ini, gue pun bebersih, sekalian buang air kecil juga.
Keluar dari kamar mandi, gue merasa sedikit lega, kepala gue bahkan gak sesakit tadi. Gue kembali ke kasur, tapi kali ini duduk, memandangi Imel yang masih terlelap.
Kepala gue sibuk memikirkan bagaimana pagi ini terjadi. Gue inget semalem di club gue ketemu Imel, dan satu temen ganjennya yang gue lupa namanya. Tapi, gue gak inget dia atau gue saling menggoda sampai bikin kita ada di kamar yang sama begini.
Ahh shit!
Gue melirik Imel, dia masih pake baju, rapi. Lalu gue melihat pakaian gue sendiri, semuanya masih berada di tempat yang tepat. Agak kusut memang, mungkin karena dipakai tidur, tapi gak ada tanda-tanda gue abis lepas baju terus dipake lagi.
Oke, mungkin ini artinya aman. Gue sama Imel gak ngapa-ngapain.
Gue diem sebentar, mau bangunin Imel gak enak, tapi bingung juga ini posisinya. Akhirnya gue memilih rebahan lagi. Madep langit-langit dan berusaha untuk gak nengok ke Imel. Takut tergoda gue.
Gue melamun, pikiran gue saat ini cuma tertuju pada: kenapa gue bisa berakhir di sini? Semalem gue kenapa? Kebanyakan minum kah?
Gosh! Kapan ya gue akan berhenti mengkonsumsi alkohol? Gue sadar betul itu gak baik, tapi... gue sudah bersahabat dengan alkohol untuk rentang waktu yang sangat lama. Dan, alkohol membantu gue dalam menjalani hari-hari terburuk gue dulu.
Asik melamun, gue menoleh ketika Imel bergerak. Akhirnya dia bangun juga.
"Pak? Pak Tara? Bapak udah bangun?" tanyanya.
Gue menghebuskan napas, agak gak suka dipanggil Bapak di luar kampus tuh. Gue berasa tua.
"Udah Mel, ini kita di mana? Kok bisa?"
Gue sudah bangkit, duduk di kasur karena posisinya Imel juga sudah duduk di karpet.
"Bapak mabuk semalem, terus bartendernya nyuruh saya jagain Pak Tara. Saya mau anterin Bapak, tapi gak tau rumah Pak Tara di mana, yaudah saya bawa ke sini, ke kostan Dini," jelasnya.
"Dini temen kamu yang semalem?"
Imel mengangguk pelan.
"Pak Tara laper? Mau saya beliin makanan?" tanyanya.
"Boleh deh, sama obat pusing dong, kepala saya nyut-nyutan banget ini,"
"Oke Pak, sebentar yaa," katanya, ia lalu berdiri. Gak langsung keluar tapi beranjak ke kamar mandi dulu.
Gue duduk di tempat.
"Ada duitnya Mel?" tanya gue memastikan ketika Imel keluar dari kamar mandi.
"Yailah Pak, lontong sayur doang paling 15 ribu, ada kok, lagian sama Si Ibu depan mah boleh ngutang kok, hehehehe!" jawabnya santai.
"Okee Mel, thanks,"
Imel tersenyum, sebelum keluar ia membuka gordyn jendela kamar ini, membuat matahari masuk dan mata gue langsung beradaptasi dengan sinarnya.
Imel pergi begitu saja, gak nutup pintu dulu, anjir bikin gue mati gaya ini harus gimana. Untungnya, tak lama menunggu Imel sudah kembali, bawa dua mangkok lontong sayur.
"Buset, keren amat langsung di mangkok?" ujar gue ketika Imel meletakkan kedua mangkok tersebut di karpet.
"Heheh kan yang jual Ibu kost-nya, ayok makan Pak," ajak Imel.
Gue beranjak dari kasur, turun ke karpet duduk depan-depanan sama Imel.
"Jaah," kata gue kecewa melihat kerupuk yang mengambang di atas lontong sayur, kaga suka gue kerupuk meleyot kena kuah begini.
"Kenapa Pak?"
"Kerupuknya kenapa disuruh berenang dah?"
"Pak Tara gak suka?" tanyanya.
Gue menggeleng.
"Yaudah, saya pindah ke mangkok saya aja boleh?"
"Kamu doyan?"
"Gak doyan sih, cuma ya dimakan aja daripada dibuang, sayang,"
"Sayang mah pacarin," ceplos gue.
Imel melirik gue sinis.
"Yaudah, ambil gih kerupuknya."
Imel mengangguk, ia lalu memindahkan semua kerupuk yang ada di mangkuk gue sebelum kami berdua makan.
Gak banyak suara saat kami makan, lontong sayurnya enak. Lontongnya kenyal kaya toket aktris bokep yang dioperasi, sayurnya bejibun kaya cewek-cewek di luar sana yang naksir sama gue. Dan, kuahnya anget, kaya pelukan kekasih.
Anjir, apaan banget ya gue?
"Ini Pak obat pusingnya," Imel merogoh saku celananya, memberikan gue satu strip obat sakit kepala, tak lama, ia memberikan gue segelas air putih.
"Thank you, Mel,"
Selesai makan, gue langsung minum obat, dan mungkin akibat perut yang sudah terisi makanan, gue merasa mendingan.
"Pak Tara mau pulang?" tanya Imel ketika kami berdua sempat hening beberapa saat.
"Saya diusir?" gue balik bertanya, becanda tentu saja, biar gak terlalu kaku.
"Ehh gak gitu, maksudnya-"
"Santai Mel, saya becanda," potong gue.
"Pak Tara ihhh!" serunya sedikit kesal.
Gue tersenyum.
Imel ini mahasiswa semester 6, terus dia nih pinter makanya udah skripsian, padahal dia masih harus magang setahu gue, tapi mungkin Pak Gusti selaku ketua prodi ngasih dia pengecualian kali ya? Jadi dia bisa magang sekaligus penelitian. Bisa jadi Pak Gusti menganggap dia mampu, makanya dibolehin ambil skripsi.
"Kamu balik ama siapa?" tanya gue, mau gak mau gue harus memastikan dia kan ya? Balas budi, dia semalem udah bawa gue ke sini.
"Ya sendiri Pak, paling nanti naik ojek online,"
"Bareng aja, mau?"
"Jangan ah, ngerepotin Pak Tara nanti,"
"Engga, ayok bareng, mau sekarang?" ajak gue.
"Emm gak apa-apa nih Pak? Beneran?" tanyanya memastikan.
"Bener dong, yok, balik!"
Imel mengangguk, lalu gue melihat ia berdiri, mengambil tas yang tergantung di belakang pintu, membukanya dan memberikan kunci mobil gue.
"Ini Pak, kuncinya Pak Tara,"
"Thank you, Mel," ucap gue sambil menerima kunci tersebut.
Gue berjalan keluar kamar duluan. Dan langsung dipandangi oleh beberapa pasang mata di luar sana.
Ini tuh komplek kost-kostan deket kampus ternyata. Jadi rata-rata penghuninya mahasiswa. Ada juga ibu-ibu yang jualan, asumsi gue, ibu kost penjual lon-say.
Gue mengalihkan pandangan ke Imel yang sibuk mengunci pintu, ia menyelipkan kunci kamar tersebut di sebuah pot kembang.
Asli, ini anak kalau diliat-liat cantik banget yaa? Kacau! Padahal gue kaga pake kaca mata, tapi tetep yee, bisa liat cewek bening.
Pas kami berdua berjalan ke arah mobil gue yang terparkir asal. Pandangan menghuni kost ini makin laen sama gue.
Gue jadi kasian sama Imel, pasti dia dipikir abis tidur sama gue. Padahalkan engga. Hiks!
****
TBC
Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote thus chapter xoxoxox
Ps: kalian pasti bangga kan sama Tara? Dia gak ngapa2in pdhl ada cewek di ruangan yang sama tidur sm dia 🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top