7. Party La La La
IMEL
Malam hari, kamar kost Dini sudah penuh oleh anggota geng Himabo. Aku, Prima, Dini, Ulfa, Wira dan Didi.
Ya, geng kami hanya ber-6, tiga cewek dan tiga cowok. Semuanya mantan anggota himpunan divisi humas. Kita nih orang paling sibuk deh kalo himpunan bikin acara. Nyari media partner lah, nyari sponsor lah, segala rupa deh kita cari pokoknya demi lancarnya acara. Dan di geng ini, hanya aku dan Didi yang satu angkatan, lainnya senior semua.
"Cuss, berangkat gak kita?" ajak Dini yang tampilannya udah heboh banget. Seharian di depan laptop bikin dia mau beraksi malam ini.
"Hayo, di mobil Prima aja ya? Satu mobil aja biar gak ribet," usul Kak Ulfa.
"Ahh jangan, yang bawa kendaraan ya bawa aja, kan kali aja baliknya pada urusan masing-masing," ujar Prima.
Aku tahu sih, anak satu ini biasanya kalau habis party, mabuk-mabukan pasti udahnya nyari warung tenda jualan bubur buat angetin perut. Dan anak-anak banyak yang gak suka, menurut mereka mending langsung tidur daripada makan bubur.
"Yaudah hayu deh, Mel, Dini, lo mau ikut siapa?" tanya Didi, karena memang hanya aku dan Dini yang gak bawa kendaraan.
"Eh si Imel sama gue, dari berangkat juga sama gue," ujar Prima.
"Yaudah gue juga sama Prima deh," ucap Dini.
"Laris euy gue!" seru Prima senang membuat kami semua tersenyum.
Setelah sepakat, kami pun pergi meninggalkan kostan, tak lupa Dini menyelipkan kunci kost-nya di pot tanaman yang ada di teras kamarnya. Kebiasaan Dini banget, gak mau bawa kunci kostan karena takut lupa nyimpen, dan biar gampang aja kalau ada yang mau mampir sementara dia ada di luar.
"Gas!!" seru Dini yang duduk di depan ketika kami sudah berada di mobil Prima.
"Biar yang laen jalan duluan, kita beli kacang rebus dulu ya?"
Prima banget sihh ini, banyak iklannya dia tuh, doyan nyemil juga.
"Gak mau ah, nanti kentut gue bau," kataku.
"Kentut bau tuh makan ubi sama telor rebus ya, Neng. Bukan kacang,"
"Kacang juga, bikin jerawatan pula," timpalku.
"Dah lah, kalo si Prima mau beli ya beli aja, kita kaga usah ikutan makan," ujar Dini menengahi.
"Hemm, yaudah gitu,"
"Ihh bete banget gue makan sendiri?" ucap Prima.
"Jangan banyak tingkah lu, kalo mau yaudah, kalo gak mau ya bagus!" kataku.
"Yaudah deh, beli sepuluh ribu aja," ucapnya pasrah.
Prima mengemudikan mobilnya bukan ke arah club tujuan kami, tapi ke arah jalanan kecil yang biasanya suka ditongkrongi oleh para penjual kacang dan jagung rebus di malam hari. Karena sudah tau posisi pastinya, gak susah kami menemukan penjual kacang. Gak pakai basa-basi, Prima langsung beli satu bungkus.
"Gue mau makan, Mel lo yang nyetir yaa?"
Demi keselamatan dan keamanan kami yang mau party ajep-ajep, ya aku mau-mau aja nyetir, membiarkan Prima menggantikanku duduk di jok belakang sambil makan kacang.
"Mel lo sejak putus sama cowok lo kaga ada cowok lagi ya?" Dini sepertinya membuka obrolan, biar gak sepi karena Prima sudah sibuk sendiri.
"Ya kalo gue punya cowok gue diusir dong dari geng? Gak mau gue, geng ini terlalu berharga," jawabku santai.
Aku tahu, pertemanan ini gak cuma buat yang single aja, seandainya salah satu dari kami punya pacar pun kami pasti bakal berteman. Alasan kami bikin HIMABO dengan embel-embel jomblo, supaya orang luar gak sok asik ikut gabung.
"Hahaha tai, bilang aja lu gak bisa move-on dari si Oji!" sambar Prima dari belakang.
Oji, atau Fauzi, dia adalah mantan pacarku. Kami pernah pacaran dari aku kelas 2 SMA sampai aku semester 3 kuliah. Lama memang, tapi LDR beda pulau bikin hubungan kami retak. Jarak bukannya melahirkan percaya tapi malah memupuk subur prasangka atas satu sama lain. Dan, dari pada ada di hubungan seperti itu, aku memilih pisah.
Aku gak mau dicurigain tiap main sama temen, dan aku juga gak mau isi kepalaku dipenuhi pikiran negatif tentang apa yang dilakukan Oji di sana. Dan, ini lah jalan terbaik. Hidup kami aman setelah kami putus, meskipun kadang aku merindukan dia, sesekali.
"Tapi emang si Oji ganteng ye? Pinter juga kan dia?" ujar Dini, aku hanya menjawab dengan anggukan.
"Tipe lu banget sih dia. Tapi kenapa pas Krisna deketin elu, elu kaga mau?" tanya Prima.
Krisna itu kakak kelas, satu angkatan juga sama Prima. Orangnya cakep, mantan ketua himpunan dan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, potensial banget, tapi sayangnya aku gak suka gara-gara dia kurang tinggi. Hahahaha!
"Pendek dia ih, sepantaran gue, gue kan suka cowok tinggi,"
"Paling tinggi di MIPA kayanya Pak Tara deh, sono lo sama Pak Tara aja," ceplos Dini.
"Idih ogah, ngapain gue sama bapak-bapak tua macem dia?"
"Pak Tara kayanya umurnya baru 34 atau 35-an deh, gak tua-tua banget!" Prima bener-bener ya, bukannya fokus makan kacang malah jadi kompor.
"Heh, tetep aja bedanya 10 tahun lebih dari gue, ogah!"
Mereka berdua tak menyahut, kami sudah sampai di club dan sudah terlihat juga mobil yang lain berada di parkiran.
"Cuss!" seru Prima ketika aku menarik rem tangan.
Setelah memastikan parkir dengan baik, barulah aku turun, digandeng Dini yang udah mulai jingkrak-jingkrak gak jelas.
Begitu masuk tentu saja mata kami jelalatam mencari, ya nyari siapa lagi kalau bukan Ulfa, Wira dan Didi. Itu anak bertiga kemana coba?
Belum nemu mereka, eh Prima udah open table aja, mana pesen minumannya banyak banget.
"Cheers! My treat!" serunya senang.
"Ada angin apa lu?" tanya Dini, aku ikutang mengangguk, kami berdua cheers sebelum menenggak wiski bourbon yang dipesan oleh Prima.
"Gabut aja gue, pengin buang-buang duit," jawab Prima.
Aku hanya mengangguk. Lagi, aku dan Dini menenggak gelas kedua, soalnya kalau satu tuh kurang gitu.
"Turun yuk!" ajak Dini.
"Cuss!"
"Heh? Masa kalian ninggalin gue sendiri?" seru Prima tapi tepat saat itu, datang Wira dan Didi.
"Nih ada temen lo! Eh Ulfa mana?"
"Ke toilet dia," jawab Wira.
"Okee, ayok Mel!" ajak Dini lagi.
Kami pun beranjak menuju lantai dansa, bergerak sesuai dengan irama musik yang mengalun.
Berkat minuman yang tadi sempat kutenggak, tubuhku jadi sedikit rileks, membuatku berjoget tanpa beban.
"Mel!" Dini tiba-tiba saja menarikku, berbisik pas di telinga.
"Kenapa Din?" tanyaku.
"Ada Pak Tara, anjirrr cakep banget tu orang pake baju casual!"
Aku mengikuti arah pandang Dini, dan ya... dia benar, Pak Tara cakep banget. Well, ini bukan kali pertama aku liat Pak Tara berdandan casual. Sebelumnya, aku sempat terpana saat tahu kalau Pak Tara adalah anak dari Bu Andini, pemilik usaha kue yang enak banget itu.
Syok banget aku pas tahu kurir yang nganter kuenya ganteng banget sekaligus dosen pembimbingku.
"Asli, kalo lagi begitu kaya abang-abang ganteng yaa, gak bakal percaya kalo dosen," kataku, soalnya ya, Pak Tara gak pakai kacamata, bikin ekspresi seriusnya berkurang dikit.
"Samperin sana, kan lo anak bimbingannya,"
"Ihh ogah, ngapain gue nyamperin dosen di tempat hiburan malem begini, disangka minta dibungkus gue,"
"Lo mau dibungkus?" ujar Dini.
"Ogah,"
"Hahahaha iya sih, lo kan belum pernah ngapa-ngapain ya? Bandel aja kebawa kita-kita,"
Dini benar. Sejak SMA, aku selalu jadi anak baik-baik yang kerjaannya belajar. Saat memutuskan pacaran sama Oji, itu biar aku gak dibilang kutu buku aja. Ya, Oji pacar pertamaku dan mantan satu-satunya. Makanya move-on dari dia tuh susah.
Sekarang sih aku memilih menghayal idol korea aja lah udah, aman.
"Dah ah apaan sih,"
"Samperin yuk? Kayanya dia terlalu ganteng buat sendirian duduk di Bar," ajak Dini, emang ni anak, bibit gatelnya tumbuh subur banget.
Tanpa persetujuanku, Dini langsung menarik tanganku, lalu kami berjalan mendekati Pak Tara yang sedang asik minum di meja bar.
"Hay Pak!" sapa Dini dengan suara manisnya. Pak Tara langsung menoleh.
Anjir, cakep banget dia kaga pake kacamata gini, kayanya dia pake softlens deh, bagus pula warnanya abu-abu, ini orang jadi keliatan kaya bule banget.
"Ehh, hay, Imel... kamu namanya siapa, saya lupa?" ucap Pak Tara.
"Ihh masa ingetnya sama Imel doang? Dini, Pak, Dini," ujar Dini, sekarang dengan nada manja.
Asli, aku beneran kaga bisa lohh ngomong kaya begitu. Like... buat apa??
"Ohh iya, Dini. Berdua doang kalian?"
"Engga sih, banyakan sama anak-anak, Pak Tara sendiri?" Dini balik bertanya.
Aku diam, sumpah bingung mau ngomong apaan.
"Sendiri, minum doang ngapain rame-rame, udah kaya orang mau tawuran aja,"
"Hahahah, Pak Tara lucu deh,"
Dini pun duduk di bangku samping Pak Tara, aku juga ikutian duduk di sebelah Dini. Dan anak ini pun langsung pesen minuman ke bartender, padahal minuman kami masih ada di meja Prima tadi.
Kubiarkan Dini dan Pak Tara mengobrol ngalor-ngidul, sampai akhirnya ada seorang cowok yang terang-terangan ngajak Dini kenalan. Kulihat Pak Tara hanya tersenyum melihat itu. Pamit ke Pak Tara, Dini pun digondol cowok itu.
"Mel diem aja Mel, kenapa? Sariawan?" aku menoleh ketika mendengar suara Pak Tara yang seolah mengajak bicara.
"Ya kan tadi Bapak lagi ngobrol sama Dini," kataku pelan.
"Itu dia sama cowok, kamu sama siapa dong?"
"Kan saya ke sini gak sendiri, Pak, sama temen-temen," aku menjawab pertanyaannya.
"Ohhh," balasnya santai.
Aku hanya mengangguk kecil, lalu kami berdua diam lagi, suara musik keras di tempat ini emang bikin gak asik buat orang ngobrol.
"Pak, saya balik ke Prima ya!" seruku,
"Okeh!" sahut Pak Tara singkat.
Kutinggalkan dosen pembimbingku itu, kembali ke meja Prima yang ternyata di kiri kanannya sudah ada cewek-cewek yang gak kukenal.
Buset, baru ditinggal bentar aja ini anak udah dapet cewek dua orang. Mantap amat!
"Di, Ulfa mana?" tanyaku pada Didi yang duduk di pinggitan sofa, asik dengan minumannya.
"Sama Wira dia, turun, gue mendadak pusing anjis," jawab Didi, kemudian ia meminum minumannya.
"Lhaa? Pusing sakit kepala apa pusing kenapa nih?"
"Pusing sakit kepala, Mel,"
"Walaah, mau balik aja lu?" tanyaku.
"Pengin, tapi gak enak, Prima baru tambah minuman,,"
"Yailah, Di. Dia pasti ngerti kali kalo lu sakit,"
"Huh, coba deh gue chat group aja, kali aja dia baca,"
Didi kemudian mengeluarkan telepon genggamnya, aku pun mengeluarkan milikku dari saku celana, ternyata sedari tadi group lumayan ramai.
Ada Dini yang pamit balik duluan, dibungkus cowok tadi dan berpesan kalau kamarnya boleh ditempati siapapun. Ada Prima yang ngoceh gak jelas, dan baru saja, Didi yang mau pamit pulang.
"Heh? Sakit lu?" Prima langsung meninggalkan kedua wanitanya, menghampiri kami.
"Iyaaa, kepala gue sakit ih," jawab Didi,
"Yaudah balik aja, gue juga minuman abis mau balik kok," ujar Prima.
"Cewek yang mana yang mau lo bungkus?" tanyaku iseng.
"Dua-duanya lah anjay, hahahaha!"
Aku mengangguk-angguk kecil.
"Yaudah Mel, lo temenin Didi gih, sakit gitu tuh bocah,"
Lagi, aku mengangguk. Kemudian aku dan Didi berdiri, kami meninggalkan meja Prima, berjalan ke luar parkiran. Kutemani Didi sampai ia berdiri di samping motornya.
"Bisa sendiri?" tanyaku.
"Bisa Mel, thanks yaa!"
"Siap!"
"Lo balik sama siapa?" tanyanya,
"Gampang, gue mau ketemu Ulfa sama Wira dulu, kalo mereka balik baru dah gue balik," jelasku.
Didi mengangguk kecil. Setelah memastikan Didi bisa bawa motor, aku menyempatkan diri untuk diam sejenak, menikmati keheningan kawasan parkiran sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam untuk lanjut berpesta.
****
TBC
Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Ps: double up, mau triple up juga tp izin besok libur yeee, update lg senin 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top