40. Daruprada
TARA
"Ayok, apa lagi yang mau dibawa?" tanya gue.
Bi Isma lagi sibuk banget. Anaknya lagi liburan kuliah, dan Bi Isma maksa anaknya balik. Padahal tadinya anaknya gak mau karena ongkosnya mahal. Namun Bi Isma bersikeras kalau anaknya harus ada pas gue nikah.
"Udah Mas, orang barang-barangnya Bibi cuma sedikit,"
"Iya Umi, udah gak usah bawa barang banyak-banyak," ucap Zahra.
"Berangkat nih?"
Bi Isma dan Zahra mengangguk.
Kami bertiga pun berangkat. Well, ini sih gue ngater Bi Isma dan Zahra ke rumah lama. Kata Bi Isma, selama Zahra ads di sini, dia mau ngabisin waktu berdua sama anaknya.
Ya gue sih oke-oke aja, itu haknya Bi Isma, dan sayang juga kalau rumah dari gue gak ditinggalin, karena Bi Isma tinggalnya bareng gue terus.
Hampir setengah jam menyetir, akhirnya kami sampai di rumah lama, rumah yang penuh dengan berbagai macam kenangan.
Membantu Bi Isma dan Zahra angkut barang-barang, setelahnya gue langsung masuk ke kamar gue di rumah ini.
Ya ampun, suasananya masih kaya dulu.
Di meja kerja gue juga masih terpajang 2 bingkai foto. Yang satu foto gue dan Merida. Satu lagi foto gue, Ibu, dan Kak Mega beserta keluarganya.
"Bu... I miss you!" bisik gue pelan.
Kalau Ibu masih ada, pasti Ibu seneng... Tara mau nikah loh Bu! Sayangnya Ibu udah gak ada, maaf ya Bu! Tapi semoga, Ibu bisa liat yaa dari atas sana.
Menghembuskan napas panjang, bersamaan dengan itu pintu kamar gue diketuk.
"Ya?" sahut gue dan Zahra mendorong pintunya.
"Mas, kata Umi makan ayok,"
"Oh iya, siap, bentar lagi ke sana, ini ada yang mau diberesin dulu,"
"Oke Mas," Zahra pun menutup pintu kembali.
Gue membersihkan 2 bingkai ini dari debu, lalu memasukkan foto gue bersama Merida dan Missy ke dalam laci.
Ya, gue sudah selesai dengan Merida. Gue sekarang punya Imel dan gue harus fokus sama dia.
Ya kan?
I'm so sorry, Merida.
***
***
"Akhirrrnya ya Tar!" hanya itu ucapan Kak Mega ketika gue cerita soal semuanya.
Gak, dia gak marahin gue karena ngehamilin anak orang. Agak sableng emang. Malah bilang 'akhirnya' seolah-olah ini lah yang ia tunggu selama ini.
"Lo setuju kan?"
"Lo nikah sama ubur-ubur aja gue happy Tara! Apalagi ini, cewek beneran, udah hamil pula, mantap!"
"Ada gila-gilanya lu, Kak!" ucap gue.
"Cukup gak ini waktunya buat bikin seragam? Lo mau undang temen-temen Ibu, apa gimana?"
"Waduh, kayanya kalo gue ngundangnya orang terdekat aja deh Kak, sama beberapa petinggi di kampus, sisanya gak usah. Tamu kan bukannya banyakan dari pihak cewek ya?"
"Emmm, iya sih biasanya gitu! Tapi kan ini elo Tar yang nikah!"
"Emang kenapa kalo gue yang nikah?" tanya gue bingung.
"Satu dunia harus tau, adek gue... Akatara Chaidar akhirnya nikah, gosh!" Mega emang agak gila, cuma kebahagiaan gak bisa dia sembunyikan dari wajahnya.
Ia terlihat antusias dan gue membayangkan ekspresi serupa jika Ibu masih ada.
"Yaudah, gue balik yaa, lo kalo mau jait seragam sama keluarga, sama Bi Isma, bikin sendiri, nanti kasih tau gue aja abis berapa, oke? Gue bagian transfer-transfer aja gak mau ngikut pusing,"
"Ehh bentarrr!" seru Kak Mega.
"Apa lagi sih Gaa?" tanya gue kesel.
"Keluarga kita gak ada acara ketemu keluarganya Imel gitu? Maen nikah aja gitu lo berdua?"
"Ada, nanti gue kasih tau, oke? Gue juga belum nanya-nanya rentetan jadwal ke bapaknya Imel, sabar, oke?"
"Siap adikku!"
Mega mengantar gue sampai di luar, sampai mobil gue menjauhi rumahnya.
Menyetir dengan kecepatan standar, gue sedikit membuka HP yang seharian ini gue diamkan. Eh ternyata ada chat dari Imel.
Imel Tuyul:
Aku di rumah kamu tau
Kok kamu gak ada?
Kemana?
Baca itu gue langsung buru-buru tancap, sambil melakukan panggilan ke Imel.
Lha? Kenapa ni anak kaga bilang dulu kalo mau ke rumah.
"Hallo?" sapa gue.
"Kamu di mana?"
"Eh? Lagi di jalan, tadi abis anter Bi Isma, terus mampir ke rumah Kak Mega, kamu kenapa gak bilang kalau mau keluar? Kan aku bisa jemput,"
"Dih, aku gabut di rumah, yaudah deh keluar, mampir sini,"
"Kamu masih di rumah?"
"Masih lah, ini duduk di teras, ada Missy di balik jendela nemenin,"
"Ya ampun, oke, oke, wait ya! Sepuluh menit lagi sampe," kataku.
"Iya buruan!"
Panggilan terputus dan gue segera melajukan mobil, untung aja gak macet-macet banget jalanan sore hari ini. Dan sesuai janji gue ke Imel, sepuluh menit dan gue sampai di rumah.
Pas mobil gue masuk ke halaman rumah, gue liat Imel duduk di kursi teras, beneran... ditemenin Missy yang nongol di jendela.
"Sorry, lama ya?"
"Engga kok,"
"Kenapa tiba-tiba ke sini?" tanya gue.
"Pengin aja, kenapa? Gak boleh?" Imel balik bertanya.
"Ya gak gitu, maksudnya kan biar dijemput...."
"Aku lagi males di rumah, Dini gak ada di kontrakan, pulang. Jadi bingung deh mau kemana,"
"Yaudah, masuk yuk!" ajak gue, mengulurkan tangan agar Imel bangkit dari duduknya.
Lalu, kami pun masuk ke dalam rumah. Disambut Missy tentu saja begitu pintu terbuka.
"Sini Mel, kita di ruang tengah aja!" seru gue sambil berjalan, gue menengok ke belakang, Missy udah pindah loyalti aja nih, malah buntutin Imel.
Di ruang tengah ternyata ada Chamsae, lagi asik goler-goler di sofa. Ya, mereka memang gue lepasin, meskipun Bi Isma nyuruh mereka dikandangin aja, cuma gue lebih seneng kalau mereka aktif. Yaa paling minus di sofa gue banyak cakarannya aja.
"Sini!" gue memangku Chamsae, menyuruh Imel duduk di sebelah gue, ia pun menggendong Missy sebelum duduk.
"Gabut kenapa, kamu?"
"Kamu anter Bi Isma kemana?" ia malah balik bertanya.
"Ke rumahnya, kan anaknya pulang tuh, jadi katanya mau tinggal di rumahnya aja deh, quality time berdua ceritanya, kan udah lama gak ketemu,"
"Walaah, kamu sendiri di sini dong?"
"Emang kenapa?" tanya gue curiga, kali aja kan ya Imel mau nginep di sini, hehehehe!
"Terus makannya gimana?" lhaa malah itu yang dia tanyain.
"Ya kan bisa order online, gampang lah itu,"
Imel mengangguk, gue pun tersenyum padanya.
"Terus ke Kak Mega?" tanyanya.
"Ngasih tau dia aku mau nikah, seneng banget dia dengernya, terus nanya kapan keluarga kita ketemu, gitu,"
"Waduhhh!"
"Waduh kenapa?"
Gak ngerti kenapa, gue kaya ada feeling Imel nih masih maju mundur buat nikah sama gue. Yang bikin dia maju kayanya ya keluarganya dan tentu saja, fakta kalau dia sedang mengandung anak gue.
Kalau yang bikin dia mundur? Aseli! Gue gak tau, dan bingung juga cara nanyanya kaya gimana.
"Gak apa-apa, aku gak tau jadwalnya apa aja soalnya, Papa sibuk banget ngurus ini itu,"
"Yaudah gampanglah, nanti aku yang nanya langsung aja,"
Imel mengangguk.
"Kamu udah makan belum? Laper gak?" tanya gue.
"Udah, aku udah makan di rumah,"
Kini giliran gue yang mengangguk. Imel sendiri diam, tangannya sibuk membelai tubuh Missy yang anteng di pangkuannya. Chamsae? Cuma tahan 5 detik di pangkuan gue, tau deh itu bocah udah kabur ke mana.
"Mel aku boleh nanya sesuatu?" tanya gue, akhirnya berani juga nanya,
"Nanya apaan?"
"Kamunya sendiri nih beneran mau kan nikah sama aku?"
Imel gak langsung jawab, dia malah menunduk, makin fokus sama Missy dari pada sama gue.
Jadi ya gue diem, menunggu jawabannya.
Hening beberapa saat, akhirnya Imel mendongkak, menatap gue lembut.
"Kalau ditanya mau apa engga, ya jawabannya mau,"
"Tapi..." ucap gue.
"Tapi gak yakin kamunya juga gitu apa engga,"
"Maksudnya?"
"Yaa, kalau aku gak hamil apa kamu bakal mau nikah sama aku? Bahkan... kalau aku gak hamil apa kamu 'ngelirik' aku? Kayanya engga, ya kan?"
Gue diem, bingung jelasinnya gimana ke dia.
"Gak gitu," ucap gue pelan, Imel gak lanjut ngomong, menunggu gue meneruskan ucapan gue.
"Mungkin iya... kalau kamu gak hamil kita gak bakal nikah. Mungkin iya... yang kamu omongin bener. But that's just happened, I told you, it's a miracle. You are the miracle! Susah jelasinnya kaya gimana, tapi ya emang gitu, kaya... tring... semua berubah dengan sendirinya. Kalau kamu tanya aku sayang sama Merida, yep... I loved her! Past tense. Kalau kamu tanya aku sayang kamu. Yakk... I loves you! Present continuous, sekarang dan berlangsung hingga entah. Susah aku jelasinnya, tapi ya emang gitu. Kalau kamu butuh diyakinkan, aku bingung cara meyakinkannya gimana karena emang ya terjadi gitu aja," jelas gue panjang.
"Pak Daru chat aku," ucapnya pelan.
"Hah?" gue melongo, anjir gue udah ngomong ini-anu, tiba-tiba jadi ke si Bucin Daru?
"Ini, kamu baca aja," Imel mengulurkan ponselnya, memperlihatkan roomchat dia bersama Daru.
Pak Daru Dospem:
Mel?
Kamu cuti kuliah ya?
Terus skripsi gimana?
Me:
Iya Pak Daru, cuti
Maaf gak bilang
Skripsi ditunda dulu Pak
Hasil sih sebagian sudah dibuat
Pak Daru Dospem:
Oke deh...
Eh iya, kamu cuti mau nikah ya?
Saya denger kabar burung
Me:
Kabar burung apaan Pak?
Pak Daru Dospem:
Burungnya Tara
Hahahahaha
Tara cerita ke saya kalau kalian mau nikah
Me:
Ehhh
Pak Daru Dospem:
Saya mau ngomong sesuatu boleh?
Me:
Boleh banget lah Pak
Pak Daru Dospem:
Saya kenal Tara udah lama
Dari kita berdua sama-sama jadi asisten profesor sampe sekarang si Tara karirnya udah sukses begitu
Dan bisa dibilang Tara tuh satu-satunya teman yang saya punya
Ya kurang lebihnya saya tahu dia gimana
Apalagi sobi curhatnya dia adek saya sendiri, dan Ardra tuh kan ember bocor ya?
Jadi bisa dibilang saya tahu semua ceritanya dia
Sekampret apa dia dulu, sesuci apa dia pernah berubah dan sekarang
Di penilaian saya, ngehamilin kamu tuh bukan kejadian 'kepleset'-nya Tara sama permainannya sendiri
It happened for a reason!
Mungkin kamu yang ditakdirkan buat 'ngademin' Tara dari sekian masalah yang dia punya. It's a very difficult lifetime job, I know. Apalagi modelan Tara ya?
Tapi liat profil kamu,
Saya yakin kamu bisa Mel
Kalau Tara sampe mau nikah sama kamu, itu artinya dia udah yakin sama kamu
Orang kaya Tara menyetujui komitmen pernikahan, it's a huge deal for him.
So, kalau misal kamu ragu sama dia
Yaa, wajar sih
Tapi itu gak perlu Mel
Okee?
You've got the support from the entire universe!
Hahahaha semangat ya
Maaf tiba-tiba chat kamu panjang lebar gini
Saya cuma ngerasa, I must say something to you about my bro
Byeee~
Me:
Makasi banyak Pak Daru
Gue diem baca percakapan itu. Syok berat pas baca chatnya Daru. Gue gak sadar kalau si Bucin sok cool itu sepeduli ini sama gue.
Anjir!!
Gue kembalikan ponselnya Imel, gak ngomong apa-apa karena masih gak percaya aja ada orang yang sebegitunya sama gue. Si Daru, orang yang cuek bebek, ngobrol seadanya kalau kita ada di ruangan yang sama.
"Pak Daru udah jelasin lebih dulu. Well, denger kamu ngomong tadi, itu memperkuat argumennya dia,"
"Argumen? Kita lagi debat pro-kontra soal nikah apa gimana?" tanya gue santai, berusaha membawa suasana biar gak tegang.
"Yaa paham lah maksud aku,"
"Terus kamu masih ragu?"
"Ya aku gak bisa liat dalem hati kamu kaya apa," ujarnya.
"Ya emang kaga bisa diliat, cuma kan bisa dirasain kan? Heheheh!"
Imel tersenyum.
Gue menarik napas panjang, lega. Gue tahu obrolan kami sudah berakhir dan Imel juga sudah yakin sama gue.
Sip, tinggal meresmikan semuanya.
****
****
TBC
Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxox
Ps: apakah kalian masih gregetan sama Tara?
Pss: udah 40 kok belom kelar ya? Hahahahahah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top