38. Bye

TARA

"Tumben lu pagi-pagi dah di sini!" ucap Daru ketika ia memasuki ruang dosen.

Gue cuma senyum, emang sih, kalau gak ada ngajar pagi, jarang banget gue jam segini udah nongkrong di Gedung MIPA.

"Gue masuk ruangan gue di rektorat, anjirrrr, banyak banget kerjaan numpuk di meja, ya gue tinggal!" jawab gue.

"Kacau emang lu!"

"Gak ngajar lu?" tanya gue.

"Nanti jam sepuluh, gue mau bikin soal dulu buat UAS,"

Gue mengangguk. Daru nih rajin banget. Dan yang gue suka dari dia, dia tuh beda jauh banget sama adiknya; Ardra.

Kalau Ardra anaknya rame, kepo dan julid nomor wahid. Kalau Daru anaknya kalem, terus udah, gak banyak basa-basi.

"Buset, udah mau UAS aja ya?"

"Hemm," hanya itu jawabannya.

Daru udah sibuk sama laptopnya, gue jadi gak ada temen ngobrol sampai akhirnya Pak Lutfi datang dan duduk di kursinya.

Hanya basa-basi sebentar, Pak Lutfi keluar karena sudah ada jam mengajar. Gue pun bengong lagi memandangi HP gue.

Melirik sedikit, Daru kelihatannya serius sekali, gak bisa diajak ngobrol. Jadi yaudah deh, gue memandangi plan yang dibikin bapaknya Imel.

Gak sampe 2 bulan, gue dan Imel akan menikah. Pak Ali gak mau usia kandungan Imel terlalu besar. Dan seperti pernikahan anak pertamanya, nikahan gue sama Imel juga akan dirayakan di gedung, tapi gak tau di mana, lagi nyari dulu, katanya sih kalau gak dapet yaudah, di rumah aja acaranya.

Ngerti juga kalau mepet gini waktunya bakal susah nyari gedung.

Pak Ali juga nanya soal berapa uang yang bersedia gue keluarkan untuk acara ini, ya karena punya tabungan yang lumayan, gue bilang aja semua biaya pernikahan ditanggung sama gue. Itu sebagai bentuk tanggung jawab gue karena udah menghamili Imel, gue gak mau keluarganya Imel repot ini itu.

"Heh!! Bengong lu! Kesambet tau rasa!" seru Daru menyadarkan gue dari lamunan.

"Heheheh, dah kelar soal-soal?" tanya gue, Daru pun mengangguk sambil membereskan meja kerjanya.

"Dar, lo tau gak?"

"Apaan?"

"Gue mau nikah sama Imel!"

"Imel siapa?" tanyanya bingung.

"Imel anak bimbingan kita!" jawab gue.

"Welcome to the club, brother!" ucapnya bikin gue bingung.

"Club apaan?"

"Lo dulu ledekin gue, istri gue masih muda banget gara-gara beda umur 10 tahun. Nah sekarang giliran elu kena tulah! Lo mamam noh!"

Heu, kalo gini dia mirip sama Ardra.

"Gue belum bilang siapa-siapa tau,"

"Wah? Gue pertama tau nih? Anjir lah, suatu kehormatan, thanks Tar!"

Gue mengangguk kecil.

"Tapi... si Imel kaga ada tampang jadi anak kebelet nikah deh. Apa skripsian sama lo semengerikan itu sampe dia memutuskan buat nikah aja?" nyebelin juga nih anak satu.

"Imel hamil, Dar,"

"Astagfirullahalazim, Taraaa! Gue kira elu udah berubah, eh ternyata... diem-diem anak orang lu hamilin!"

Gue diem, bingung juga jawab apaan.

"Jadi... lo nikah cuma sekadar buat tanggung jawab?"

Gue diam lagi sebentar, kali ini berencana menjawab pertanyaan Daru.

"Engga kok, gue sayang juga sama Imel,"

Daru mengangguk.

"Yaudah Tar, nasehat gue nih ya... nikah yang penting komit sama komitmen aja. Cinta mau semembara apa, selang tiga sampe lima tahun juga anyep. Tapi kalo lo berkomitmen, yaa it will last,"

Gue mengangguk.

"Lo jangan gampang kawin gampang cere kaya artis-artis infotaiment ya Tar!" seru Daru.

"Anjir gue kaga begitu!"

Gila aja, gue sebelumnya gak kepikiran nikah. Dan sekarang saat mau menikah, ya gue maunya sekali seumur hidup dong yaaa.

"Bagusss! Dah ya, nanti kita sambung lagi, gue udah harus masuk kelas nihh!" ujar Daru. As simple as that, gak ada judge macem-macem dari dia. Cuma ledekin sedikit dan sisanya malah ngasih nasehat.

Gue pun mengangguk, lalu Daru menenteng hardisk dan sebuah tempat pensil berjalan keluar dari ruangan.

Ruangan pun sepi kembali, gue pun bengong kembali.

*****
*****

Gue menarik napas panjang ketika kami sampai di Tempat Pemakaman Umum di mana Merida beristirahat untuk selama-lamanya. Rasanya berat sekali menginjakan kaki ke sini.

"Ayok!" ajak Imel, gue sendiri hanya mengangguk, lalu melepas seatbelt dan turun dari mobil.

Menggandeng Imel, kami berjalan menuju pusara Merida. Jujur gue hanya pernah sekali ke sini, saat Merida di makamkan, dan sejak saat itu, gue gak pernah ke sini lagi.

Ketika sampai, ternyata makam Merida sudah dipugar jadi lebih bagus, gue dan Imel pun duduk di kursi yang terbuat dari semen.

Dari dalam tasnya gue melihat Imel mengeluarkan dua buku yasin. Astaga... gue aja kaga kepikiran bawa yang begituan.

"Ini," Imel memberikan satu ke gue, dan gue pun menerimanya.

Ini gue baca dalem hati aja kali ya?

Ternyata, Imel baca duluan, dan dia bersuara, gue terpana sumpah... ini anak ngajinya bagus banget!!

Karena gak enak kalau gue merusak suara merdunya Imel ngaji, yaudah deh, gue lanjutkan baca di dalam hati sampai akhirnya Imel menyelesaikan bacaannya, dan tentu saja, gue ikutan bilang amin.

"Nih, tabur gih," titah Imel, ia memberikan bunga tabur yang tadi sempat kami beli beserta air mawarnya.

Gue pun menabur bunga di makam Merida, dan menyisakannya setengah untuk Imel.

"Baru sadar loh aku," ucap Imel tiba-tiba.

"Sadar kenapa?" tanya gue.

"Iyaa, ternyata 2 meter bisa sejauh ini ya? Ya kan? Mbak Merida ada di dekat kita, jaraknya cuma 6 kaki, tapi jauh banget... gak bisa ngobrol, gak bisa peluk, gak bisa--" Imel bahkan tak meneruskan kalimatnya, ia terlihat berkaca-kaca dan gue pun langsung menariknya ke dalam dekapan gue.

"I'm so sorry for your loss," bisiknya pelan.

"It's okay, I already move on, because of you,"

Gue rasakan Imel menarik napas panjang, lalu ia melepaskan diri dari pelukan gue. Kini Imel yang menaburkan bunga dan menyiram air.

Refleks gue mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya Imel, membuatnya menoleh sedikit dan tersenyum.

Dan, di sini, di pusaranya Merida, gue merasa utuh kembali, gue merasa sembuh, seolah-olah gak pernah ada rasa sakit yang gue alami selama ini.

Semua berkat Imel.

"Udah, mau di sini apa langsung pulang?" tanya Imel.

Gue diam sejenak sampai Imel menyikut gue pelan.

"Jangan bengong heh! Di kuburan loh kita nih, kalo kesurupan berabe!"

Gue tersenyum.

"Yuk udah, pulang aja. Aku udah selesai sama masalahku di sini,"

Imel mengerutkan keningnya, bingung, tapi gue gak menghiraukannya, gue langsung berdiri, mengulurkan tangan ke Imel untuk membantunya berdiri.

Kami pun berjalan menjauhi pusara Merida. Dan gue melangkah dengan mantap.

Bye Merida, terima kasih untuk semua perubahan yang kamu lakukan di hidupku. Kamu pernah nyuruh aku melanjutkan hidup kan? Well, here I'am, berusaha menata hidup setelah badai yang menerpa dengan orang yang mau menerimaku apa adanya.

Merasa tak perlu menoleh lagi ke belakang, gue dan Imel pun langsung berjalan menuju mobil yang terparkir.

"Baru kali ini aku ke makam terus leave with a heavy heart," ucap Imel saat gue masuk ke dalam mobil.

"Jangan gitu dong, aku jadi gak enak,"

"Engga, maksudnya... aku jadi tahu ternyata Mbak Merida seberpengaruh itu, aku paham apa yang kamu rasain," jelasnya.

"Udah, kamu jangan sampe merasa terbebani untuk hal apapun,"

"I know," ucapnya.

Gue mengangguk, mendekat untuk memeluk Imel lagi.

Kami diam beberapa saat sampai tiba-tiba gue teringat satu hal.

"Kamu tahu?"

"Apaan?" tanya Imel.

"Aku pernah ngomong kalau, aku akan berhenti mencintai Merida jika ada orang Bisu yang bisa mengatakan kepada Si Tuli, bahwa si Buta baru saja melihat seseorang yang lumpuh berjalan di atas air. Aku dulu ngomong karena kupikir gak bakal bisa aku berhenti sayang sama dia, but here you are, bikin aku move on, tanpa hal-hal yang kusebut di atas tadi terjadi. You are the miracle, Mel, my micracle! Makasi udah hadir meskipun jalannya harus begini,"

Imel tersenyum pelan, ada raut jahil di wajahnya.

"Iya lah, kalo kaga begini, aku cuma anak kecil yang naksir sama dosen pembimbing skripsinya. Tapi bukan berarti aku mau ya hamil duluan begini, cuma yaaa... kalo kata temen aku mah, udah kejadian gini, gak ada jalan lain selain dijalani dan diterima," jelas Imel panjang.

"Kamu naksir aku?" hanya itu yang bikin gue tertarik.

"Udah gak usah nyebelin! Ayok pulang!" serunya menyikut rusuk gue, yang ini beneran, kenceng banget, sakit.

"Adawww!"

"Ayok balik!" serunya dengan nada sebal yang dibuat-buat.

Gue tersenyum kecil lalu menjalankan mobil, meninggalkan tempat pemakamakan umum.

Once again, bye Merida.

******
******

TBC

Thank you for reading
Dont forger to leave a comment and vote this chapter

Ps: 40 chapter cukup kan yhaaa~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top