IMEL

Aku masih gemeteran. Sejak tiba di rumah, lalu liat Pak Tara ada di ruang tamu, dan Papa memasang raut marah di wajahnya, aku beneran gak bisa tenang.

Bahkan sekarang, Mama dan Papa membawaku ke kamar untuk bicara langsung. Mau ngompol aku rasanya.

"Itu yang dia omongin bener, Mel?" tanya Papa.

Aku gak bisa jawab sumpah! Bingung aku mau ngomong apa. Akhirnya ya aku cuma bisa nangis. Lalu Mama pun mendekat, memelukku.

"Mel, ayolah, bicara, kalau gak mau ngomong ya gimana Papa sama Mama tahu benernya gimana?" tuntut Papa.

Tangisanku makin kencang dan Mama pun mempererat pelukannya.

"Udah ah Pah, jangan dipaksa anaknya,"

"Ya masa mau kaya gini? Mau diberesin gak?!" seru Papa.

Aku bingung, sumpah aku bingung banget ini. Kenapa sih Pak Tara segala dateng ke rumah? Dia tau dari mana coba? Kan kalau gini jadi runyam semuanya.

Huh!!

"Mel, jawab Papa, bener apa engga? Cuma jawab doang satu kata, bener apa engga, susah banget sih Mel?"

Aku terus terisak, gak bisa ngomong aku, karena sesenggukan membuat tenggorokanku tercekat.

"Kamu gak ngomong, cuma nangis gini berarti Papa simpulin yang diomongin Tara di depan tadi bener ya Mel?" ucap Papa.

Aku gak menjawab, menyembunyikan wajahku di pelukan Mama.

"Kamu dipaksa Mel sama dia apa gimana? Papa butuh kejelasan Mel! Gak bisa Papa cuma dengerin cerita dia doang!"

"Pa, udah, anaknya jangan dipaksa, biarin tenang dulu,"

"Sampe kapan? Terus itu Tara di depan mau diapain? Kita sebagai orang tua ya harus ambil keputusan Ma!" ucap Papa.

"Udah Papa keluar aja, suruh Tara pulang, bilang kita mau ngobrol sama Imel dulu, rapat keluarga dulu,"

"Kalo dia kabur gimana?"

"Gak mungkin Pa, dia dateng ke sini ngasih tau kita aja itu udah bukti dia bakal tanggung jawab, kalau dia mau kabur ya ngapain dia kesini?" ujar Mama.

"Yaudah, Papa keluar, Mama tenangin tuh Imel, abis Tara pergi kita ngobrol, kalo perlu suruh Lia sama Rendy ke sini, biar sekalian,"

"Iya, Pa, iya," hanya itu sahutan Mama.

Begitu Papa keluar, Mama melepas pelukannya, duduk di kasur bersamaku.

"Dek, kamu ngomong atuh, kamu diem-diem gini mah mana mama sama papa ngerti?" ucap Mama sambil mengusap air mataku.

"Ma-maaf, Imel, Imel ngecewain Papa sama Mama," kataku sambil terisak.

"Kenapa gak bilang? Kenapa Mama sama Papa harus tau dari orang?"

"Yaa, ya Imel kan malu, Ma,"

Kulihat Mama menarik napas panjang, Mama terlihat tenang, gak kaya Papa yang ngomong aja udah pake nada tinggi.

"Ya mau malu segimana juga kan kita tetep orang tua kamu, Mel. Mama gagal ya jadi Ibu yang baik sampe kamu gak berani cerita sama Mama? Sampe kamu milih cerita sama Dini dan lain-lain dibanding Mama?"

"Gak gitu, Ma,"

"Ya terus apa?"

"Imel gak tau kalau bakal hamil,"

"Kamu dipaksa sama si Tara itu?" tanya Mama, aku menjawab dengan gelengan kepala. Ya, meskipun aku mabuk, dan Pak Tara mabuk, aku yakin gak ada unsur pemaksaan dari apa yang terjadi waktu itu.

"Kamunya juga mau?"

Aku diam, malu kalau bilang iya.

"Huhhh, terus gimana ini, kamu hamil berapa minggu?"

"Gak tau Ma, Imel lupa kapan haid terakhir,"

"Ya Allah, Dek!!"

Aku diam.

"Baru bulan kemaren Kakak kamu nikah, masa iya mama bikin hajatan lagi?"

"Ihhh, jangan ah Ma, malu," kataku.

"Terus kamu kaga mau dinikahin sama si Tara itu?"

Aku gak jawab, kalau ini sih 50:50 yaa, masih banyak pertimbanganku untuk menikah, tapi ya... mau sihhh.

"Entar kasian atuh anak kamu kaga ada bapaknya,"

Aku diam.

"Kamu kok bisa hamil sama dia? Kan pacar kamu mah siapa teh namanya? Cil cil kucil? Ya?"

"Acil, Ma,"

"Naah iyaa, kenapa bisa begitu? Pacaran sama siapa, hamil anak siapa. Mamah gak nyangka kamu jadi cewek begitu, Dek!"

"Ya emang gak begitu, Ma. Ya ampun, susah jelasinnya,"

"Terus gimana Mama mau ngerti kalo kamu gak mau jelasin?"

Ketika aku akan membuka suara, eh pintu kamarku terbuka, Papa masuk, jadi aku diem deh. Gak berani ngomong kalau ada Papa.

"Si Tara bilang, apapun keputusan kita dia terima, dia siap tanggung jawab, dan dia gak mau kalau Imel aborsi!"

"Hah? Kamu mau aborsi? Istigfar ai kamu dek! Astagfirullah, udah gila apa ya?" omel Mama.

Aku diam.

Ya, aku memang berencana melakukan itu. Tapi Dini gak mau bantu, ya mana aku tau cara menggugurkan kandungan coba?

"Udah, kita rapat dulu sekeluarga, ini Imel maunya gimana, yang jelas dari pihak cowoknya udah aman, Tara mau tanggung jawab,"

Aku diam.

Di kepalaku tiba-tiba terlintas pikiran sosok Pak Tara menjadi suamiku.

Ya allah.

Gemes!

*********
*********

TARA

"Ada masalah apa lagi sobat? Ngeri gue, lo tiba-tiba muncul di rumah gue," ucap Ardra.

"Pak Tara oke?" tanya Estu, istrinya Ardra.

"Pusing," jawab gue.

"Mau panadodol, Pak?"

"Bukan pusing yang itu pasti si Pak Tua ini mah sayaang, dia mah obat pusingnya cuma dua, kalau gak wiski, ya wik-wik," ujar Ardra, membuat Estu tersenyum, tapi gue gak bereaksi apa-apa.

"Kamu mah ihh, orang lagi begini malah dibecandain!"

"Ya kan menghibur ini tuh namanya,"

"Yaudah lah, aku tinggal kalian berdua, biar bebas ngobrolnya. Kalau mau wiski, pesen aja dari kafe, minta delivery ke sini,"

"Cerdas sekali istri hamba ya lord! Makasi sayaang, mwaaach!" seru Ardra ketika Estu turun ke lantai satu.

Ya, gue bertamu ke rumah Ardra, langsung disuruh ke lantai atas, entertaiment room-nya dia. Kata Estu sih ruang tengah atas emang buat menyambut temen-temennya Ardra.

"Kenapa Kak?" tanya Ardra, kali ini nada bicaranya serius, ia pun terdengar peduli.

"Imel hamil, Dra!"

"WANJINGGGGG!!!" seru Ardra syok.

Gue diam, mengusap wajah lalu mengambil segelas air mineral yang tadi disuguhkan oleh Estu.

"Jago juga lu Kak, sekali main langsung jadi! Mantap!"

"Gue bingung Dra, gue siap tanggung jawab, tapi perasaan gue belum jelas,"

"Belum jelas gimana?" tanya Ardra.

"Ya lo tau Dra, gue cintanya sama siapa,"

"Ya ampun, masih Kak? Coba deh, kasian sama diri lo sendiri, ini lo mau terus-terusan cinta ke orang yang gak akan bisa lo miliki nih gimana dah? Kalo Tante Mer masih ada oke lah Kak, seenggaknya ada harapan. Lha, ini... Tante Mer kan udah dimakan cacing, Kak. Terus... ni si Imel nih, daun muda, cantik, okeee, hamil anak lu, masa iya kaga lo sikat?"

"Pusing gue Dra,"

"Kak, sini dah kita list, pros and cons lo sama Imel yaa?"

Gue mengangguk, Ardra pun turun ke bawah, lha? Kok gue jadi ditinggal?

Gak lama, Ardra balik, bawa selembar kertas dan sebuah pulpen. Pas nyampe, dia duduk di depan gue lagi, membuat tabel dengan dua kolom untuk Pros and Cons yang tadi dia bilang.

Di atas tabel itu, Ardra menulis Tara ♡ Imel.

"Nih bang, Pros!" ucap Ardra, gue diam menunggu.

Ardra pun menuliskan hal-hal yang dia anggap pros jika gue bersama Imel, dalam diam gue membaca tulisannya yang acak-acakan itu.

1. Imel hidup
2. Imel hamil, asik punya anak
3. Imel cantik, napsu terus dah lu
3. Bisa ngewe, mantap lu gak coli lagi
4. Kalo ngewe nanti anaknya banyak
5. Banyak anak banyak rejeki
6. Imel masih muda, lu udah tua, kalo lu mati ada yang jagain kucing-kucing lu
7. Kalo lu mati, warisannya buat Imel
8. PUNYA MASA DEPAN

Gue makin diem baca tulisannya Ardra, walaupun banyak ngaconya, tapi poin terakhir dia bener banget.

Lalu, beralih ke sebelah kanan, Ardra pun menulis di kolom Cons.

1. Kaga ada
2. Udah jangan ngeyel
3. Lu gak sadar kan poin 3 di Pros ada 2
4. Nikahin gihh si Imel
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

"Nih Kak, udah gue list! Mantap bukan?" ujar Ardra memberikan kertasnya ke gue.

"Ngaco emang lo ya,"

"Ya walaupun ngaco, tapi lo ngerti kan maksud gue?"

Gue mengangguk.

"Gini deh Kak. Lo inget gak gue pernah ngomong apa ke lo pas gue suruh lo buka hati lo buat si Tante Mer,"

Gue diam, mengulang memori lebih dari dua tahun lalu. Pas gue nongkrong di kafenya Ardra dan dinasehati habis-habisan oleh anak kecil ini.

Ya, gue ingat.

"One day, someone will walk into your life and make you see why it never worked out with someone else," jawab gue, mengutip ucapannya dulu.

"Naah!" serunya.

"Apa hubungannya ama situasi gue sekarang?"

"Lo udah berapa kali ngewe gue tanya?"

"Hah?" gue bingung arah pembicaraan Ardra nih kemana. Lagian, ni anak satu, bahasannya soal pokpok terus.

"Banyak kan pasti? Lo gak menghitung sudah berapa kali lo main sama cewek kan?" ujar Ardra. Gue pun mengangguk.

"Lo pikirin nih yaa Kak Tara my bestie! Lu udah tidur sama lusinan, bahkan puluhan cewek, kadang pake pengaman, kadang kaga. Dan dari sekian banyak itu, kaga ada kan yang hamil?"

Gue mengangguk lagi.

"Then sim salabim Ardra Pawaka ganteng.... lo main sama si Imel, eh hamil aja dia. Your tytyd memilih dia Kak!"

Kali ini gue menggeleng.

"Ngeyel mulu nih bujang atu! Percaya sama gue Kak!"

Gue menarik napas panjang, gak tau harus respon apa.

"Sekarang gue tanya, lo bilang lo mau tanggung jawab, gimana caranya lo bertanggung jawab ke Imel dan anaknya tapi lo gak mencintai mereka? Hah?!"

Untuk pertanyaan ini, gue beneran gak punya jawaban.

*****
*****

TBC

Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter

Ps: Ardra tiap muncul ngeselin terus

Pss: dah yaa aku udh double up

See you on December 26th ❤️

***

Buat yg ketinggalan cerita Tante Mer bisa dibaca di sini yaaa