33. Korek Api
TARA
Sambil berbaring gue memutar-mutar korek api di jari-jari tangan. Bukan, ini bukan zippo kesayangan gue. Tapi korek api kayu yang ada nama penginapan tempat gue dan Imel menginap. Korek yang ada namanya Imel lengkap beserta tanggal dan keterangan di mana gue tidak memakai pengaman.
Gue menghitung tanggal, sudah 78 hari sejak malam yang hangat itu terjadi.
Gue kepikiran, berapa minggu usia kandungan Imel saat ini? Gue pengin tahu.
Kenapa dia susah dihubungi? Tak hanya sama gue tapi juga teman-temannya tak bisa menghubunginya.
Teman-temannya Imel takut terjadi sesuatu, gue pun begitu.
Meletakkan korek di bantal sebelah gue rebahan, gue lalu menarik laci, membuka selembar kertas, surat perpisahan dari Merida.
"Gosh! Mer... aku kangen kamu!" bisik gue pelan pada surat tersebut.
"Gimana ini Mer? Ada cewek yang hamil anak aku dan itu bukan kamu, bingung aku, Mer,"
Gue diam, menyadari betul sejak Ibu pergi, gue merasa hidup gue makin gak karu-karuan.
Tak terasa, air mata gue menetes. Gue langsung mengamankan surat ini, mengembalikannya ke laci. Gue gak mau surat ini basah.
"Buuu, this world scare me without you!" ucap gue pelan.
Menenangkan diri, gue pun memejamkan mata. Sambil berjanji besok pagi gue akan melakukan sesuatu, entah apapun itu. Karena bagaimana pun gua harus bertindak.
Baru sebentar terlelap langsung masuk ke alam mimpi. Di mimpi ini, gue berada di sebuah lorong yang kalau dilihat ini seperti lorong rumah sakit.
Gue berjalan menyusuri lorong dan sampai di sebuah ruang tunggu luas dengan jendela kaca yang besar memperlihatkan keadaan luar. Gue mendekati jendela tersebut, entah gue ada di lantai berapa, karena dari sini gue hanya bisa melihat kalau gue ada di ketinggian tertentu.
Satu yang membuat gue yakin ini mimpi adalah hujan salju yang terjadi di luar. Ya, gue tahu betul Bogor itu kota hujan, tapi ya bukan hujan salju juga.
"Pak!" gue menoleh ketika seseorang memanggil. Seorang perawat berdiri di belakang gue.
"Iya?"
"Pak Tara mau melihat anak bapak?"
Gue diam mendengar itu, tapi kemudian menguasai diri lalu mengangguk.
Mengikuti perawat ini, kami berjalan ke lorong sebelah utara, dan tak lama terdengar suara tangisan beberapa bayi. Gue sudah ada di ruang khusus bayi, entah ruang apa namanya.
"Mari, Pak Tara," ujar perawat tadi, membukakan pintu untuk gue.
Lalu, kami pun berhenti di sebuah box bayi. Gue tersenyum melihat bayi ini. Ia tenang, meskipun ruangan ini ramai oleh tangisan.
"Pak Tara mau gendong?" tanya perawat ini, dan setelah gue amati, Ibu lah sosok sang perawat yang sedari tadi menemani gue. Namun terlihat lebih muda dari yang gue ingat.
Lalu gue pun tersenyum dan sedikit mengangguk.
Ibu dalam versi yang lebih muda ini lalu mengambil bayi mungil berselimut merah jambu ini, lalu meletakkannya ke tangan gue yang sudah terlipat. Refleks, gue mendekap anak ini lebih erat, mengangkatnya sedikit untuk mencium aromanya.
Gosh! Aromanya adalah sesuatu yang lain. Gue gak pernah mencium aroma ini sebelumnya tapi gue suka aromanya, menyenangkan.
"Hey little girl, pleasure to meet you!" bisik gue pelan, anak ini hanya bereaksi sedikit.
"Can I call you Snow? Cause it's snowing outside," ucap gue lagi, dan anak ini sedikit tersenyum, membuat senyum gue mengembang dan hati gue tiba-tiba merasa penuh.
"Udah!!" gue mendongkak kaget ketika mendengar teriakan itu.
Imel, gue melihat Imel mendekat, dia berjalan ke arah gue, merebut anak ini dari gendongan gue.
"She's mine!" serunya lalu berbalik, dan Imel pun menghilang.
"Noo! Pleaseeee, nooo!" pinta gue sambil berteriak.
Lalu, gue pun terbangun.
Shit!!!
Gue mengatur napas, menyadarkan diri pada kepala kasur. Gak percaya sama apa yang baru saja terjadi di dalam mimpi.
Why? Kenapa mimpi itu datang?
Kenapa semuanya terasa nyata?
Gue melirik jam kecil di meja sebelah kasur, baru pukul 3 dini hari ternyata.
Gosh!
Gue harus pergi menemui Imel. Harus! Gue gak mau Imel membawa pergi anak dalam gendongan gue itu.
Atau lebih parahnya, Imel membunuh anak itu.
Gak!
Gak bisa!!!
*****
"Mas Tara kenapa kusut banget, Mas?" tanya Bi Isma ketika gue sarapan pagi ini.
"Gak bisa tidur, Bi,"
"Owalaah, udah cuci muka? Masa mau ngajar kaya begitu? Gak sedep banget diliatnya,"
"Iyaa, nanti sekalian mandi," jawab gue.
"Okee, abis makan Mas Tara mandi aja, nanti Bibi bikinin wedang jahe biar enak perutnya, oke?"
Gue mengangguk.
Tidak menghabiskan sarapan, gue naik ke kamar, langsung masuk ke kamar mandi. Karena kalau mau ke rumah Imel, gak bisa nih penampilan gue acak-acakan kaya yang dibilang Bi Isma.
Selesai mandi, gue pun berpakaian yang rapi, lalu menyemprotkan parfume sebagai final touch.
Turun lagi ke ruang makan, di meja sudah ada secangkir minuman, gue mengangkat cangkir tersebut lalu meminum jahe hangat bikinan Bi Isma.
Gue pun mencari Bi Isma, mau pamit, dan dari suaranya sepertinya sih ada di kamar kucing.
"Bi!" panggil gue, Bi Isma sedang mengganti bak pasir.
"Eh Mas? Udah diminum belum? Itu Bibi simpen di meja,"
"Udah Bi, makasi yaa, ini Tara mau berangkat,"
"Oke Mas, hati-hati! Missy, Samse salim dulu sana sama Sugar Daddy kalian!" seru Bi Isma, gue nyengir mendengar itu.
Gue masuk ke kamar kucing, menghampiri Missy dan Chamsae untuk mengelus mereka berdua.
"Bye jangan nakal ya kalian!" seru gue.
"Mas Tara hati-hati!" ujar Bi Isma ketika gue sudah berjalan ke luar.
Menarik napas panjang untuk menguatkan diri, gue pun menjalankan mobil menuju arah rumahnya Imel.
Bismilah deh, semoga anaknya ada di rumah. Atau minimal orang tuanya.
Sekian menit menyetir, akhirnya gue sampai di depan rumahnya Imel. Tapi gue gak langsung keluar dari mobil. Gue mengumpulkan nyali gue dulu.
Gosh!
Kuatin please, kuatin!
Menarik napas panjang, akhirnya gue memberanikan diri turun dari mobil, berjalan ke pintu pagar dan menyerukan salam.
Gue langsung melihat seorang pria yang mungkin kisaran umurnya mungkin sekitar 50 tahun lebih, masih terlihat sehat dan gagah. Kalau diliat dari wajahnya, kayaknya ini bapaknya Imel, garis muka mereka mirip.
"Selamat pagi, Pak!" sapa gue.
"Oh iyaa, ada apa ya?" bapak ini membukakan pintu pagar, dari yang gue liat sepertinya beliau mau berangkat.
"Imel ada, Pak?" tanya gue.
"Eh? Imel gak di rumah, lagi nginep di rumah bude-nya,"
Gue mengangguk kecil.
"Bapak ini ayahnya Imel?"
"Iyaak, saya Ali, Papanya Imel,"
Gue menarik napas sesaat, sebelum bicara.
"Pak Ali ada waktu? Saya bisa ngobrol sebentar sama Bapak? Dan Ibu mungkin, kalau berkenan," pinta gue.
Pak Ali terlihat bingung, tapi kemudian ia mengangguk dan mempersilahkan gue masuk ke rumah.
"Silahkan duduk, Mas,"
"Oh iya, saya Akatara, dipanggil Tara aja, Pak," ucap gue sembari duduk.
"Oke, Mas Tara. Saya panggilkan istri saya dulu,"
"Baik Pak, terima kasih,"
Pak Ali masuk ke bagian dalam rumah, membuat gue duduk diam sembari melihat-lihat foto yang terpajang di ruang tamu.
Kalau dari yang gue liat, Imel nih sepertinya anak bungsu, dia punya kakak cewek satu, yang bulan kemarin menikah sepertinya.
Tak lama, Pak Ali kembali bersama seorang wanita yang seumuran dengannya, gue inget pernah liat Ibu ini, pas nganterin Ibu bawa kue.
Jujur, gue makin deg-degan ini, tapi gue tahu kalau gak ada jalan lain selain menghadapi ini semua.
Ketika mereka mendekat, gue pun berdiri, menunggu kedua orang tuanya Imel.
"Duduk aja Mas Tara," ucap Pak Ali.
"Iya, makasi banyak Pak," sahut gue, duduk berbarengan dengan mereka.
"Ada apa nih? Tumben banget kita pagi-pagi ada tamu," ujar Mamanya Imel.
Gue tersenyum kecil, bener-bener ngumpulin nyali untuk melakukan ini.
"Pertama Pak, Buk, nama saya Akatara, saya dosen di tempat Imel kuliah, kebetulan juga saya pembimbing skripsinya," ucap gue memperkenalkan diri.
"Ohh, iya tau, yang waktu itu nemenin Imel ambil sampel penelitian ya?"
"Betul, Bu,"
"Okee, okee, terus ada apa nih?" tanya Mamanya Imel, bikin gue menelan ludah, sulit untuk berbicara.
Bisa gue rasakan, tangan gue mulai berkeringat, tegang.
"Emm, gini, Pak, Buk... sebelumnya saya minta maaf sekali menggangu Bapak sama Ibu pagi-pagi begini, kalau bukan hal yang penting, saya gak bakal begini," kata gue membuka obrolan.
Pak Ali mengangguk, begitu juga dengan istrinya.
"Kemarin, temen-temennya Imel dateng ke ruangan saya, mereka cerita kalau Imel hamil," ucap gue.
"Hah?"
"Gak mungkin!"
Keduanya terkejut bersamaan, dan gue sudah mengira ekspresi tersebut. Gak mungkin ada orang tua yang gak syok kalau denger berita kaya gini.
"Ini becanda kan Mas Tara?" ujar Pak Ali.
Gue tersenyum kecil sebelum menjawab.
"Engga, Pak. Ini gak becanda, kalau becanda, ya saya gak mungkin ada di sini. Saya sudah bicara sama teman-temannya Imel. Bicara dengan Dini, Didi, Prima dan Wira. Dini bahkan bilang kalau dia yang menemani Imel tespek,"
"Gak mungkin, Imel gak begitu! Dia emang sering main sama temen-temennya, sama pacarnya, tapi gak mungkin kalau Imel sampe ngelakuin hal yang gak-engga,"
Gue diam mendengar itu. Gue tahu, Imel memang anak baik. Walaupun dia doyan minum, main ke club, ya tapi tujuannya buat seneng-seneng, bukan buat bandel-bandelan.
"Ma, coba telepon Imel, suruh pulang!" titah Pak Ali.
"Ehh, jangan dulu! Kalo berita ini bener, bisa jadi dia ke rumahnya Mbak Yayu buat tenangin diri dulu. Ini saya masih penasaran, terus Mas Tara dateng ke sini cuma mau bilang itu doang? Apa gimana?" tanya Mamanya Imel.
Gue makin tegang.
Tapi asli, gue tahu ini harus diselesaikan. Gue gak mau mimpi gue jadi nyata. Gue gak mau Imel bawa pergi anak gue. Atau bahkan yang terparah...
"Sa-saya..." gue sengaja menarik napas panjang untuk mengambil jeda, "saya yang hamilin Imel, Pak, Buk," kalimat itu akhirnya keluar.
Pak Ali dan Istrinya makin syok, dan tentu saja, gue melihat sedikit kemarahan di raut wajah mereka.
Asli, liat itu gue langsung nunduk, gak berani menatap wajah mereka berdua.
"Kamuuu---"
"Pah jangan emosi!" gue sedikit mendongkak ketika mendengar itu.
"Maaf, Pak, Bu," hanya itu yang bisa gue ucapkan, ketika melihat Mamanya Imel sedang menahan suaminya, terlihat tangannya mengusap-usap tangan suaminya untuk menenangkan.
"Kamu manfaatin anak saya, apa gimana? Kamu bego-begoin dia?"
"Pah, sabar! Ini Mas Tara ke sini tandanya dia ada niatan baik kan Pa? Anak kita aja gak bilang sama kita,"
"Imel belum bilang siapa-siapa, Pak, Bu, kecuali sahabat-sahabatnya. Saya ke sini karena saya mau tanggung jawab. Apapun yang Bapak sama Ibu mau lakuin ke saya, saya terima," ucap gue.
Ya, gue merasa bersalah hal ini bisa terjadi. Meskipun kejadian itu saat gue dan Imel sedang mabuk, tapi tetep gue yang salah, gue lebih tua, harusnya gue bisa bertanggung jawab.
"Ya kalau itu terserah Imel, Mas Tara,"
"Tapi Bu, saya denger dari temennya Imel, katanya dia pengin mengugurkan kandungannya. Makanya saya datang ke sini, untuk mencegah itu. Temen-temen Imel juga gak setuju akan hal itu," jelas gue.
"Telepon Imel sekarang, suruh dia pulang!" ucap Pak Ali dengan nada tegas tak terbantahkan.
Gue lihat Ibunya Imel mengambil ponselnya, dan ya... gue cuma bisa diam.
******
******
TBC
Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
Ps: aku bakal double update, ntr malem
Tapi aku update lg hari senin tgl 26 yaaa
So sorry, krn ada hal yg kudu aku urus jd blm sempet nulis hehehe (sok sibuk akhir tahun byasaaa) ✌️🙃🙃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top