26. Mabu terusss
TARA
Gue baru saja menceritakan semua rahasia Ibu ke Kak Mega dan Suaminya. Tentu saja Kak Mega menangis sejadi-jadinya. Gue pun pengin nangis, tapi anehnya, air mata gue gak keluar.
"Pantes aja, Tar. Waktu gue mau nikah dan minta Bapak buat menikahkan gue, bapak gak mau," ucap Kak Mega sambil terisak.
"Gue juga sedikit menyesal Kak, selama ini gue membenci orang yang salah. Well, Bapak mungkin emang ninggalin Ibu dan itu jahat. Tapi yang si Mathieu ini lakuin, lebih jahat dari Bapak," kata gue.
"Kita berdua pernah mikir, kok Bapak tega ninggalin kita. Apa kita gak cukup kuat jadi alasan buat bapak stay sama Ibu. Ternyata kita emang bukan siapa-siapanya," isak Kak Mega.
Gue mengangguk.
"Tara, are you okay?" tanya suaminya Kak Mega.
"I'm good,"
"You look not,"
Gue tersenyum kecil.
"Ya kalau dipikir pake logika, mau gimana lagi Kak? Semuanya udah lewat kan? Gue nangis-nangis sampe banjir bandang pun gak bakal ubah keadaan kan? Tapi ya... gue gak cuma punya logika, gue punya hati dan hati gue sakit tahu ini semua," jelas gue pada kakak ipar gue ini.
Kami bertiga hening, sesekali gue mendengar isakan Kak Mega, sampai akhirmya mereda dengan sendirinya.
"Kak, soal warisan Ibu, rumah lama kita, Ibu warisin buat gue, lo sama Bi Isma, mau digimanain itu pembagiannya?" tanya gue.
"Harus ya Tar ngomongin warisan dari sekarang?"
"Ya bukannya yang kaya gini tuh harus cepet diberesin ya? Apalagi Ibu udah ada wasiat, ya harus lebih cepat diselesaikan," kata gue.
"Tara bener, sayaang,"
"Yaudah Tar, kalau emang gitu. Jual aja rumahnya, kita bagi 3."
"Jual berapa?" tanya gue.
"Rumah lama kita gak besar, kamar cuma 3, terus kamar mandi 1. Kalau liat lokasi, kayanya dapet 600 jutaan, Tar."
"Fix lo mau jual rumah harga segitu?" tanya gue.
"Iyaa, orang gak luas-luas banget. Laku segitu juga udah bagus kayanya," ujar Kak Mega.
"Oke sip, gue yang beli. Nanti gue transfer ke elu 200 juta, Kak. Rumah itu mau gue kasih ke Bi Isma," ujar gue.
Ya, gue pengin kasih sesuatu ke Bi Isma. Dia adalah orang yang menemani Ibu mengurus gue dan Kak Mega. Jasa-jasanya beliau buat keluarga gue tuh besar sekali.
"Tar, lo seriusan mau kasih rumah buat Bi Isma?" tanya Mega mengkonfirmasi.
"Iya, kenapa emang?"
"Bi Isma kan gak ada saudara, Tar. Gak ada suami, gak ada anak. Kalau Bi Isma gak ada, itu rumah statusnya gimana nanti?"
"Kata siapa lo Bi Isma gak ada anak?"
"Lha? Bukannya emang iya?"
Gue tersenyum. Mega sudah 12 tahun menikah, 12 tahun gak satu atap sama gue, Ibu dan Bi Isma. Dia gak tahu banyak tentang Bi Isma ternyata.
"Bi Isma punya anak, selama ini anaknya diambil sama keluarga mantan suaminya. Pas anaknya lulus SMA, dia dateng nyari Bi Isma. Sekarang, anaknya Bi Isma lagi kuliah Bahasa Arab di Al Azhar," jelas gue.
Gue tahu betul karena gue lah alasan anak Bi Isma bisa berangkat ke Mesir.
"What? Kok gue gak tahu?"
"Ya lo gak serumah sama kita," jawab gue santai.
Mega hanya mengangguk.
"Jadi lo mau kasih rumah lama kita buat Bi Isma?" tanya Kak Mega lagi.
"Iya, nanti kita bertiga ke notaris. Well, notarisnya Ibu aja, toh dia udah tau juga isi wasiatnya Ibu, dan tinggal balik nama. Kalau udah kelar, baru gue transfer jatah lo. Oke?"
Mega mengangguk lagi.
"Yaudah Kak, gue pamit yaa,"
"Gak nginep Tar?"
"Gak deh, gue masih banyak yang harus diurus," jelas gue.
Kak Mega dan suaminya pun mengantar gue sampai ke teras. Ketika mobil gue keluar dari pekarangan rumahnya, gue lihat Kak Mega menutup pagar.
Sambil menyetir, gue berusaha menenangkan diri. Asli, gue masih gak ngerti perasaan gue nih kenapa.
Membuka ponsel, gue melihat ada pesan singkat dari Ardra, sebuah ajakan minum, dan tentu saja tidak gue tolak.
Mengganti arah, gue gak jadi balik, tapi mampir ke kafenya Ardra.
Ketika gue sampai, gue agak kaget liat kafenya Ardra rame banget. Well, bagus sih rame. Cuma kaget woy, biasanya suasana kafenya tenang, lha ini kok jadi kaya semi-club gitu ya? Ada musik jedag-jedugnya.
Masuk ke dalam, gue langsung menanyakan posisi Ardra ke barista yang ada di depan.
"Bang Boss di lantai dua, Mas. Naik aja,"
"Thank you!"
Gue pun naik ke lantai dua, untungnya, di sini gak serame dan seberisik di bawah. Gue langsung menemukan Ardra, duduk di luar sambil rokokan. Di meja di hadapannya, sudah ada dua botol wiski.
Mantap!
"Hay adik kecil!" sapa gue.
"Hay pak tua!" balasnya membuat gue nyengir.
"Ada apaan tuh di bawah? Rame bener!" seru gue, tanpa basa-basi, gue menuangkan wiski ke gelas kosong yang masih baru, menenggaknya.
"Party, Kak. Biasa... apa sih namanya bachelorette party tapi buat cowok,"
"Lha, lu aja yang udah nikah kaga tau, apalagi gue?"
"Ya tapi kan pinteran elo, Kak!"
"Ya emang kalo pinter kudu paham istilah gitu-gitu?"
"Emm, engga sih!"
Gue mengangguk, menuang lagi minuman ke dalam gelas. Si Ardra gue liat dari tadi kaga minum, rokokan aja terus.
"Kenapa lu?" tanya gue.
"Gak apa-apa,"
"Kaga balik ke rumah?"
"Nares lagi sebel sama gue,"
"Lha?"
"Tau nihh, salah mulu gue dari kemaren, heran,"
"PMS?"
"Kaga, orang tiap malem minta mulu dia, jadi main terus deh, sirik gak lo?"
"Heh kancut, PMS itu kan P-nya Pre, yang artinya sebelum, paham kaga sih lo? Lagian, cewek mau haid kan biasanya sangean,"
"Ahh elu mah Kak, gue dimarahin terus,"
"Gue ngasih tau, Ardra. Ya wajar sih istri lu bete sama lu,"
"Kenapa? Gue kan pribadi yang menyenangkan!"
"Lo nyebelin!" seru gue, kembali menuangkan minuman ke dalam gelas.
"Huh! Coba lo cerita gih Kak, biar gue gak bermuram durja karena Nares sebel sama gue, ayokkk, pleaseee!" pintanya.
"Cerita apa?"
"Ya cerita masalah hidup lu, Kak. Biar gue bisa bersyukur atas hidup yang gue miliki,"
"Anak babi emang lu!" maki gue.
"Ayok ihh pleaseee!"
"Orang yang selama ini gue anggep Bapak, ternyata bukan bapak gue," ceplos gue begitu saja.
Tai emang nih si Ardra. Dia naro wiski 2 botol di meja nih pasti buat mancing supaya gue minum, terus gue cerita aja semua masalah-masalah gue ke dia.
"Hah? Gimana? Gimana? Coba jelasin!" serunya semangat, ia bahkan sampai menuangkan minuman ke gelas gue.
Kan, anak kupret emang ni bocah!
Gue ceritakan lah semua hal yang gue dengar dari Bude Yayu, semuanya, bahkan obrolan tadi di rumah Kak Mega gue ceritakan juga. Di depan gue, Ardra hanya bisa ternganga dan sesekali menggelengkan kepala.
"Gue curiga di kehidupan sebelumnya lu tuh teroris yang membunuh jutaan umat deh, Kak!" sshutnya ketika gue selesai bercerita.
"Bangsat! Karena hidup gue yang sekarang ngenes banget?"
"Yo'i!" serunya, fix ini anak jadi BNN (bagian nuang-nuang) dari tadi gelas gue yang kosong diisi terus sama dia.
"Gak tau Dra, pusing gue,"
"Misal gak dilarang, lu mau nyari gak tuh si Mathieu?"
"Engga sihh. Well, kalau gue emang niat nyari, pasti cuma buat gue gebukin, sialan banget tu makhluk!"
"Ajak gue ya Kak? Biar gue ikutan gebukin doi,"
"Siaapp, lo sama si Azmi sama sapa satu lagi temen lo geng A3? Kalian kan tukan gebug," ujar gue.
"Arvan, Kak. Sip, pokoknya kalo lu butuh kang pukul, siap dateng gue dan kawan-kawan,"
Gue mengangguk, meminum wiski yang sudah dituangkan oleh Ardra.
"Eh iyee, gimana kabar dedek gemes yang kemaren?" tanya Ardra.
"Hah?"
"Amel, apa siapa sih tuh namanya? Yang manggil gue Bang Tato,"
"Imel namanya, mahasiswa bimbingan gue itu,"
"Kampret tu bocah, masa gue dipanggil Bang Tato? Berasa gue temenan sama Bang Napi gitu vibes-nya,"
Gue nyengir denger Ardra ngedumel.
"Lu mau ngajak dia ngobrol, ada apaan emangnya Kak?" tanya Ardra.
Gue rasa, Ardra nih cocoknya jadi adeknya Feni Rose deh bukan jadi adeknya Daru. Mulutnya bocung abiss, kadar rumpi dan kadar keponya maksimal menembus langit ke tujuh.
"Ada tragedi gue sama dia,"
"Wanjay tragedi, bahasa lu Kak, kaya abis yang kena gempa aja!"
"Emang gue kejebak gempa, setan!"
"Hah?" Ardra terkejut.
"Lo inget yang gempa kemaren itu? Nah gue sama Imel lagi koleksi sample, gak jauh lokasinya sama titik gempa,"
"Anjay, terus lu oke kak?" tanyanya sok peduli.
"Ya menurut ngana? Gue masih stay alive minum wiski di depan lo, oke gak gue?"
"Oke banget Bang Bucin," ledeknya.
"Ya gitu lah, karena gak bisa balik, gue sama Imel nginep di penginapan gitu, sekamar,"
"Ngewe dong? Asikkk!" serunya senang, bahkan sampai menggebrak meja.
Kan, apa gue bilang, Ardra nih cungurnya barokah pisan!
"Babi emang lu, Dra!"
"Hehehhee tapi ngewe kan?" ledeknya.
"Masalahnya sekarang dia nuduh gue merkosa dia, Dra,"
"Waduhh! Penjara menantimu, Kakakku!"
Rese banget ni anak satu.
"Gue ngajak dia ngobrol tapi dia belum mau, jadi ya gue kudu menghargai dia kan ya? Cuma ya perasaan gue makin gak jelas Dra,"
"Tapi lu beneran perkosa dia, Kak?" tanya Ardra, kali ini dia serius. Ardra bahkan menuangkan wiski ke gelasnya juga.
"Seinget gue engga, aseli deh, ya yang sama-sama mau aja gitu,"
"Emm, pembelaan elu gak tuh?" tuduhnya.
"Ehh terong belanda! Gue udah 2 tahun kaga begituan, nahan diri, ya lo pikir aja masa gue tiba-tiba perkosa mahasiswi gue sendiri? Jaman dulu aja gak ada sejarahnya gue godain mahasiswa sendiri,"
"Terong belandaaa, buntet dong gue," hanya itu ternyata yang ditanggapi si kampret satu ini.
Gue gak menanggapi, memilih menuangkan minuman lagi ke dalam gelas, kali ini agak banyakan.
"Dra, es batunya abis, tambah dong," kata gue.
Dia lalu mengetikkan sesuatu ke ponselnya.
"Jadi lo belum tahu kejelasannya nih antara lo sama si Imel gimana, Kak?" tanya Ardra.
Gue menggeleng.
Kami berdua diam sejenak saat salah satu karyawannya Ardra menghampiri meja kami, memberikan semangkuk ice-cube.
"Thanks!" kata gue, mengambil 3 buah lalu memasukkannya ke dalam gelas gue.
"Sama-sama boss, mari," ucap si pelayan sambil pergi.
"Kak, ini gue tanya serius yaa. Lo beneran gak ada niat untuk menjalin hubungan serius gitu?"
"Menjalin hubungan serius apa? Sama siapa?" gue balik bertanya.
"Ya mungkin sama si dedek gemes itu, kan kalian udah ewe-ewean,"
"Tai, kalo sekadar pok-pok gitu doang mah, kan gue gak sama dia aja,"
"Ya itu kan sebelum si Tante Mer, setelah Tante Mer, dia doang kan?"
Gue mengangguk kecil.
"Imel masih muda banget, Dra. Umur segitu perjalanan hidupnya lagi seru-serunya. Masih banyak kesalahan yang belum dia coba. Misal gue serius sama dia, sama aja gue merampas masa-masa serunya kan?"
"Imel gak bakal ngerasa gitu kalau dia mikir lo orang yang tepat buat spending her life time,"
"Nah itu masalahnya, emang dia mau sama gue?"
"Mau sih kalo kata gue. Ngapain banget Kak dia maksa buat nganterin lo balik pas tengah malem kalo dia gak ada rasa sama lo? Naek ojek lagi dateng ke sininya, buat nyetirin lo doang, gilak sih lo Kak kalau lo gak peka!"
Gue kembali diam, masih belum tau harus jawab apa.
Gosh! Rasanya berat sekali memikirkan hubungan yang serius tapi pasangannya bukan Merida Purwani.
****
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxox
***
Bukannya fokus ngajar, doi malah fokus minum di bar-nya Ardra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top