25. Bicara

TARA

"Bi, Imel belum keluar kamar?" tanya gue ketika turun dari kamar gue.

Jadi ceritanya, semalem gue kemabokan, as always, dan gak ngerti gimana Imel dateng buat jemput gue. Pas sampai rumah, Bi Isma yang tau kalau Imel bakal balik naik ojek pun memaksa dia buat nginep, gak baek katanya pulang sedini hari itu.

Akhirnya, Imel pun mau, dan saat ini dia ada di kamar tamu rumah gue.

Asli, seminggu ini berusaha kontak dia, eh malah bisa begini, semoga sih ada kesempatan buat gue ngobrol sama dia.

"Ini masih jam 7 Mas, semalem Mas Tara kan balik jam 2, masih tidur kali, biarin aja. Mas Tara kan udah biasa tidur cuma bentar, si Neng Imel engga kayanya,"

"Okaay!"

"Mas Tara hari ini ngajar?"

"Ya ngajar dong, Bi,"

"Okee deh, Mas Tara cepet sarapan gih, Bibi mau ke pasar. Seminggu ini gak belanja, kulkas kosong, Mas,"

"Okeeh, okeee... dah, Bi Isma berangkat aja gak apa-apa, entar ini meja Tara yang beresin,"

"Janji?"

"Janji doong!"

"Oke, Mas Tara baek-baek ya di rumah, itu si Neng Imel jangan diapa-apain,"

"Astagfirullah, suuzon banget Bi Isma sama Tara yang baik hati ini,"

"Ya kan emang Mas Tara begitu. Baik hati sih baik hati, tapi kelakuannya kadang bikin istigfar,"

"Parahh, aku selalu minus di mata Bi Isma," ucap gue dengan nada becanda.

Bi Isma hanya geleng-geleng kepala sebelum akhirnya pamit berangkat ke pasar.

Gue mulai sarapan ketika Bi Isma pergi, gak sendirian tentu saja karena gak lama setelah Bi Isma berangkat, Missy turun buat nemenin gue sarapan.

"Entar, aku makan dulu, baru aku siapin makanan kamu," ucap gue ketika Missy mulai ndusel-ndusel kaki gue sambil mengeong.

Gak sabar, Missy loncat ke kursi sebelah gue, masih ngerengek. Untung anak ini ngerti kalau dia gak gue bolehin naik ke meja makan.

"Sabar napa, kucing sabar disayang babu,"

Seperti mengerti, Missy duduk di kursi, mulai menjilat-jilati badan dan kakinya: mandi pagi kali yee maksudnya dia.

Selesai makan, sesuai janji gue ke Bi Isma, gue merapikan meja, membawa semua piring kotor ke dapur, sekalian ambilin makanannya Missy.

"Heh cantik! Sini kamu!" gue memanggil Missy, biar dia makan di halaman samping aja, sekalian gue rokokan gitu.

"Makan yang banyak, kamu kan aktif gangguin aku kalo lagi kerja," entah kenapa ya, menurut gue ngobrol sama Missy sambil rokokan gini tuh healing banget tau.

Waras aja gitu berasanya walaupun obrolan ini satu arah.

"Anak kamu mana? Itu si Chamsae kaga pulang-pulang, heran aku tu, punya anak cowok bandel banget gak ketulungan,"

Ya, gue punya 2 kucing sebenarnya. Missy dan anaknya; Chamsae.
Dulu sih gue ngotot pengin punya kucing satu aja, si Missy aja, eh tapi si Missy keduluan diewe kucing garong saat gue belum sempat bawa dia steril ke vet. Ngeselin banget kan ya??

Lalu, Missy melahirkan 4 anak, yang 3 gue give away ke dokter hewan yang membantu Missy lahiran, yang satu gue bawa, noh si Chamsae, turunan garong yang doyan kelayapan. Hih, tydac terdidik dengan benar dia tuh.

"Mau ikut aku gak? Gangguin cewek," tanya gue ke Missy ketika ia selesai makan.

"Ikut yuk sini!"

Gue meraup Missy ke dalam gendongan gue, lalu berjalan masuk ke dalam rumah, menuju kamar tamu.

Di depan kamar tamu gue berhenti lalu mengetuk pintunya beberapa kali. Tak lama setelah pintu diketuk, eh terbuka dan gue langsung senyum kepada Imel.

"Pagi, hehhehe, kamu baru bangun Mel?"

"Engga, udah dari tadi,"

"Lha kenapa gak keluar?"

"Ya malu lahh,"

"Ayok sarapan gih, abis itu saya anter kamu balik sebelum saya ke kampus,"

"Hee??" ucapnya sambil bengong.

Ya allah, gue cipok juga deh ni bocah atu.

"Ayok sarapan,"

Gue gendong dulu nih si Missy pake satu tangan, biar tangan satunya bisa sedikit mendorong Imel untuk berjalan ke arah meja makan.

"Mau nasi goreng telor ceplok apa roti tawar pake telor dadar?" tanya gue.

"Terserah, Pak,"

"Hadeeh, woman,"

Gue letakkan Missy di kursi kosong, lalu berbalik untuk cuci tangan di washtafel, setelah itu gue mengambil piring, menyendok nasi goreng dengan porsi lumayan. Soalnya gue tau, ni si Imel Tuyul nih makannya banyak.

"Ayok makan," kata gue, menyuguhkan nasi goreng buatan Bi Isma kepadanya.

"Pak Tara gak makan?"

"Tadi udah makan duluan,"

Imel mengangguk kemudian dia pun makan dalam diam, jadi gue bengong aja deh, liatin dia makan sampe akhirnya Missy loncat ke pangkuan gue, minta diperhatiin juga.

"Kamu nanti jangan repotin Bi Isma ya?" kata gue pelan.

"Eh? Kenapa Pak?" tanya Imel.

"Lagi gak ngomong sama kamu,"

"Ohhhh,"

Ngeri dianggap gila sama Imel, akhirnya gue urungkan niat gue menasehati Missy, jadi cuma elus-elus dia aja yang anteng di pangkuan gue.

"Pak Tara semalem ada urusan apaan sama Bude Yayu?" tanya Imel.

Seketika, gue langsung kepikiran permasalahan gue. Rasa sesak di dada saat tahu fakta soal bokap gue pun menyerang lagi.

"Pak?" panggil Imel karena gue diam tanpa respon apapun.

"Engga, gak ada urusan apa-apa, cuma soal wasiat almarhum Ibu,"

Imel mengangguk.

"Kamu udah beres makannya? Mau nambah gak?" tanya gue.

"Cukup kok, Pak,"

"Okay!"

Gue bangkit, membereskan piring bekas makannya Imel, bawa ke dapur biar meja makan bersih. Setelahnya, gue menutup makanan yang ada dengan tudung saji.

"Ayok, saya anter balik," ajak gue.

"Iya Pak," Imel mengangguk pelan.

Gue pun menggendong Missy, membawanya ke kamar khusus kucing miliknya.

"Kamu maen sini yaa, nanti kalau Bi Isma pulang kamu teriak-teriak aja ya biar dikeluarin, oke?"

Missy gak menjawab, dia udah sibuk manjat ke hamock tertinggi yang ada di ruangan ini, tiduran santuy.

"Yaudah aku berangkat kerja, jangan nakal, jangan repotin Bi Isma, aku gebug kalo kamu nakal!" ucap gue sebelum menutup pintu kamarnya Missy.

Berjalan ke luar, Imel membuntuti gue, sampai akhirnya kami masuk ke dalam mobil dan saling diam.

Sepanjang perjalanan benar-benar hening, gak ada satupun dari kami yang bicara. Gue sendiri bingung mau buka obrolannya gimana.

Ketika mobil berhenti di depan rumah Imel, gue sengaja gak membuka kuncinya, mencoba menarik napas panjang buat ngomong sama Imel.

"Mel?"

"Makasi Pak Tara, udah nganter aku balik," katanya.

"Saya yang makasi, kamu semalem mau jemput saya dari kafenya Ardra,"

"Sama-sama berarti, Pak,"

"Mel, kita belum ngobrol soal kejadian di penginapan,"

"Apa emang yang mau Pak Tara obrolin?" tanya Imel.

"Jujur, saya mabuk, tapi saya juga sadar, gak ngerti lah, tengah-tengah,"

Imel diam.

"Maaf kalau kamu anggep saya perkosa kamu, asli... dipikiran saya malem itu, ya kita sama-sama mau, jadi enjoy the moment," gue memberi pembelaan diri.

Imel masih diam, bikin gue bingung sendiri.

"Kamu mau saya apa? Bilang aja Mel," kata gue.

"Pak Tara gak ke kampus? Udah siang nih," katanya.

Gue melirik jam tangan gue, sudah pukul 9 memang, udah lah biarin, telat absen paling cuma potong uang makan.

"Saya pengin ngobrol sama kamu,"

"Ngobrol apa Pak?" tanyanya.

"Ya saya pengin tahu kondisi kamu gimana? Kamu mau saya gimana? Saya bingung seminggu ini kamu menghindar. Saya... saya kewalahan ngadepin situasi ini. Kejadian kita di penginapan lalu Ibu saya yang meninggal, terus kemaren, Bude Yayu bilang kalau orang yang selama ini saya kenal sebagai Bapak saya, ternyata dia bukan Bapak saya. Aseli Mel, saya gak tau harus apa. Makanya saya tanya sama kamu, kamu gimana keadaannya? Kamu mau saya gimana?"

Imel hanya sedikit menggeleng.

"Gak tau Pak, kaya belum siap aja bahas itu semua. Mungkin ya kita saling jauh aja. Take your time to mourn, you need it, Pak, urusan kita ya nanti aja Pak Tara, soalnya ya aku juga gak tau,"

"Okay, but let me know ya, if you want to talk,"

Imel mengangguk.

"Boleh pintunya dibuka?" pintanya, gue mengangguk lalu menekan tombol untuk membuka pintu mobil bagian Imel.

"Bye!" ucap Imel lalu ia pun masuk ke dalam rumahnya.

Asli, kenapa perasaan gue makin gak tenang ya?

****
****

TBC

Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

Ps: ini Imel mau tarik ulur Pak Tara sampe kapan nihhh???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top