24. Ardra
IMEL
"Bude ada kerjaan sama Pak Tara?" tanyaku.
"Eh kamu tahu Tara?"
"Lha kan aku pernah bilang sama Bude, Pak Tara dosen di kampusku, terus dia juga jadi pembimbing utama penelitian,"
"Owalaah, iyaa deng kamu pernah bilang, Bude lupa,"
Aku mengangguk.
"Terus kenapa? Kamu ke sini kenapa?" tanya Bude.
Oh iya, aku jadi lupa nih tujuan utamaku datang ke sini. Menyampaikan pesan Papa terkait pernikahan Kak Lia yang kurang dari dua minggu lagi.
"Okee, siap, aman itu sih Mel,"
"Asikk, makasih Bude!"
"Makan dulu, ayok!"
"Iya Bude, ayok!"
Aku tidak pernah menolak kalau Bude Yayu ngajak makan, asli sih, masakannya enak-enak. Best!
Well, masakan mamaku di rumah tuh enak-enak juga sih, cuma masakan Bude tuh next level deh. Hahahah!
Selesai makan, aku, Bude, Kak Isal dan Pakde mengobrol santai seputar pernikahan Kak Lia yang berkonsep outdoor.
"Cuaca sih lagi bagus, tapi better pasang tenda, biar jaga-jaga aja," ujar Pakde.
"Iya Pakde, emang pasang tenda kok, tapi yang model transparan gitu loh, jadi dekorasinya makin cakeup," jelasku.
"It's good but jadi panas gak sih nanti?"
"Waduuw, belum tau tuh kalo itu,"
"Nikahnya sore-sore, gak akan sepanas itu," sahut Bude.
"Abis Lia yang nikah, Isal juga yaa Bu?" ucap Kak Isal.
"Emang kamu udah punya calonnya?" tanya Bude.
"Gampang lah itu!"
"Kamu tahu gak kenapa Ibu gak recokin kamu suruh nikah buru-buru padahal kakak dan adekmu udah nikah duluan dan kamu udah umur 33 belum nikah?" ujar Bude.
"Kenapa??" aku dan Kak Isal bertanya berbarengan.
"Karena milih pasangan hidup itu harus bener-bener, gak boleh asal. Masa kita mau beli barang aja nyarinya detail tapi milih pasangan hidup yang asal ada aja? Gak bisa gitu, namanya nyari kan pasti nemu jenis-jenis orangnya, karakternya, nanti kesaring sendiri kok yang sreg yang mana," jelas Bude panjang dan lebar hahahaha.
"Tapi... gimana mau dapet? Kak Isal kan gak pacaran, gak nyari pacar manual, malah maen tinder," ceplosku.
Yaa, aku tahu Kak Isal main tinder, soalnya aku pernah iseng install tinder, hehehhe eh masa match sama sepupu sendiri? Terus aku dimarahin Kak Isal, disuruh menurunkan range age yang kupilih biar gak dapet om-om.
Kocak!
"Tinder itu apa?" tanya Bude.
"It's a dating apps," jawab Pakde.
"Yaa apalah, nyari lewat jalur apa aja, kan namanya juga nyari, semakin banyak jalan semakin banyak kemungkinan dapetnya," sahut Bude, membuatku dan Kak Isal bertepuk tangan kecil.
Sedang asik mengobrol, terdengar suara dering ponsel, ternyata miliknya Bude.
"Tara ngapain nelepon malem-malem gini?"
Ya, ini sudah pukul 11 malam. Aku gak pulang tentu saja, gak dibolehin sama Bude dan Pakde karena aku gak bawa mobil dan Kak Isal sedang malas mengantarku.
"Heee? Pak Tara?" tanyaku, Bude Yayu mengangguk, kemudian menjawab panggilannya.
Karena Bude angkat teleponnya gak loudspeaker aku jadi gak tau ngomongin apa, padahal aku kepo banget.
Gimana ya? Kalau gak ditahan Dini, kayanya udah dari kemaren-kemaren aku bales chat-nya Pak Tara. Karena gimana pun juga, aku butuh ngobrol sama Pak Tara. Entah soal di penginapan waktu itu, ataupun soal penelitianku.
Aku gak mau penelitianku keganggu gara-gara masalah kemarin. Beneran pengin berjalan selayaknya aja gitu. Tapi karena kejadian di penginapan, aku tahu pasti ada hal yang berubah.
"Sal, kamu jemput anaknya temen Ibu gih," ujar Bude.
"Siapa Bu?"
"Tara! Yang tadi ke sini,"
"Pak Tara kenapa, Bude?" tanyaku.
"Mabuk dia, kayanya gara-gara cerita Bude dia jadi begitu,"
Kayanya Pak Tara nih hobi yaa mabuk.
"Jemput di mana, Bu? Terus bawa ke mana? Kok Ibu yang ditelepon?" tanya Kak Isal, kritis seperti biasa.
"Apanya? Chamatkara-chamatkara gitu namanya, kontak Ibu ada di-list recent call-nya dia, makanya Ibu yang ditelepon,"
"Hadeeh, nganter Imel aja males, ini segala jemput orang asing," keluh Kak Isal.
"Yaudah, aku aja Bude, sekalian pulang," entah kenapa, sotoy banget aku menawarkan diri.
"Ehh jangan ahh,"
"Itu Imel mau, Bu. Ada sukarealawan masa ditolak?"
"Adekmu ini cewek, udah malem gini, takut ahhh!"
"Gak apa-apa Bude, lagian aku kan tahu rumahnya Pak Tara, cincai laaah," kataku.
"Bener Mel?"
"Bener dong Bude!"
"Yaudah, Bude izinin,"
"Sipp, makasi Bude! Bagus nih aku nolong Pak Tara, kali aja skripsiku dipermudah," aku menambahkan alasan lagi supaya beneran dapet lampu ijo dari Bude Yayu.
Sudah mendapat izin, aku segera bersiap-siap, pesan ojek online kalau usul dari Kak Isal, soalnya kan Pak Tara bawa mobil ya? Biar gak ribet. Jadi langsung saja aku menentukan destinasiku.
Sebuah coffee bar bernama Kaphi Camatkara.
Hanya beberapa menit saja, aku sampai ke kedai kopi yang masih ramai ini. Asli aku gak pernah kesini sebelumnya, jadi amaze aja karena ternyata kafenya bagus.
Aku melihat mobil Pak Tara terparkir, jadi langsung saja aku masuk dan karena tahu Pak Tara mabuk, aku menuju meja bar di pojokan, bukan counter di depan yang untuk memesan kopi.
Benar saja, kulihat ada Pak Tara sedang duduk di salah satu sofa, matanya terpejam.
"Kak!" aku diserobot cowok bertato, ia langsung mendekati Pak Tara, terlihat juga ia khawatir.
"Emm, sorry, abangnya nih siapa ya?" tanyaku.
Cowok tatoan ini melihat aku bingung, ia juga terlihat sebal karena diganggu.
"Lo siapa?" Ia balik bertanya.
"Emmm, saya yang mau jemput Pak Tara, tadi Bude saya ditelepon sama bartender sini,"
"Walaah, si Diki kenapa nelepon orang lain lagi?"
"Sorry boss, tadi telepon boss kan sampe 3 kali gak diangkat, jadi liat recent call-nya si Mas Tara deh," aku menoleh, ternyata di belakangku ada orang.
"Emm, ini kalian semua kenal nih sama Pak Tara?" tanyaku.
"Yaps, dia temen gue, sering nongkrong di sini. Dia juga dosen, sama kaya kakak gue," jawab si cowok bertato.
"Terus ngapain dah aku ke sini?" keluhku pada diri sendiri.
"Udaah, kalian jangan rebutan gue gitu ahhh," kami semua menoleh, Pak Tara masih sadar ternyata.
"Kak? Lo oke kak? Lu dicekokin apa aja sama si Diki?"
"Kaga, gue yang minta kok, the best emang bartender elu, Dra!" sahut Pak Tara.
"Haduuh, kalo gini yaa aku balik aja yaa?" kataku, sepertinya kedatanganku ke sini gak berguna.
"Jangan Mel! Kita... kita perlu ngobrol,"
"Ya nanti aja ngobrolnya, tunggu Pak Tara sadar,"
"Kalian berdua nih ada something ya?" tebak si cowok tatoan.
"Dihh, apaan sih," sahutku.
"Kok lo belum curhat ke gue sih Kak?"
"Yeee kan gue lagi berduka yaa, anak monyet!" seru Pak Tara.
"Oh iya, sorry, hehehehehe, jadi ini gimana dah? Lo mau ngobrol sama cewek ini?"
"Imel, Abang Tato! Aku namanya Imel," kataku.
"Abang Tatooo.... dikata gue preman apa ya?"
"Dah, Dra, lo anterin si Imel balik gih,"
"Lha? Kok jadi anter ni cewek balik? Terus lo gimana Kak?" tanya si Bang Tato.
"Gampang lah gue,"
"Udah, Pak Tara aku anter balik aja sini," kataku.
"Jangan Mel, kasian kamu, terus dari rumah kamu baliknya gimana? Sendirian?"
"Ya emang kenapa?"
"Jangan ah, kasian. Kecuali kamu mau nginep,"
"Anjir lu Kak, nyawa sisa separo aja masih bisa yeeee godain cewek begini, mantap!"
"Godain apaan sih lu? Bang Tato!" ledek Pak Tara.
"Babi, nape lu jadi manggil gue Bang Tato juga dah? Ardra wey, nama gue Ardra! Catet yaaa adik kechil!" si Bang Tato ini menunjukku.
"Andra? Oke, noted Bang Tato!" kataku.
"It's ARDRA! A R D R A!" ia bahkan sampai mengejakan namanya.
"Kata gue juga apa, nama lo suseh!"
"Udah lah anjir ini jadi gimana? Lo mau balik sama siapa Kak? Gue di rumah punya istri yang butuh pelukan kasih sayang gue nih, tidak bisa gue sia-siakan waktu gue dengan obrolan unfaedah with bocil dan pak tua, mending gue sayang-sayangan sama istri,"
"Idiwwww Bang Ardra, tatoan tapi bucin," ceplosku.
"Ihh mending gue bucin, daripada si Pak Tua ini... ngenes banget hidupnya,"
"Kok jadi gue yang kena?" ujar Pak Tara.
"Yaudah, yaudah, ini mau gimana?" tanya Bang Ardra.
"Pak Tara mau aku anter balik gak?" tanyaku.
"Boleeh dehh," hanya itu jawabannya.
"Yaudah ayok deh, bisa jalan gak lu?" tanya Bang Ardra.
Akhirnya, Bang Ardra membantu Pak Tara berjalan ke luar, menuju mobilnya yang terparkir di depan.
Setelah Pak Tara aman di kursi penumpang depan, Bang Ardra menutup pintu, memberikan kunci mobil padaku.
"Hati-hati yaa nyetirnya, makasi loh udah mau bantuin Kakak gue," ucapnya lembut.
Aku mengangguk kecil.
"Pak Tara kakaknya Abang?" tanyaku.
"Bukan, dia temennya kakak gue. So, temennya Daru, yaa itungannya kakak gue juga,"
"BANG TATO ADEKNYA PAK DARUPRADA?" seruku syok.
"Berisik woy! Udah tengah malem banget ini,"
"Yaaa... kaget akutu Bang,"
"Iyee gue adeknya si Daru, kenapa gitu?"
"Beda banget,"
"Ya kalo sama jadinya kembar dong, Neng Geulis!"
"Iya juga sih, yaudah Bang Ardra, aku pamit yaa!"
"Sipp, hati-hati yaa, makasi banget lohh Imel,"
Aku mengangguk, lalu aku pun masuk ke mobil, menyalakan mesinnya, barulah aku menjalankan mobil ke arah rumah Pak Tara.
Aku sekilas menoleh ke samping, melihat Pak Tara. Ini orang masih sadar apa udah tidur yaa? Kok diem.
Sedang fokus menyetir, aku kaget karena tangan kiriku tiba-tiba dipegang, Pak Tara ternyata sedang menatap ke arahku.
"Imel, maaf ya Mel," katanya pelan, permintaan maafnya terdengar tulus.
"Nanti aja Pak, ngobrolnya gak sekarang,"
*****
*****
TBC
Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
**
Pengin share fotonya Bang Tato ahh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top