21. Ranjang Usang
IMEL
Me:
Bude, temennya Bude masuk RS
Bu Andini yang bikin kue itu loh
Gue mengabari Bude Yayu, kakak dari Papa yang juga temannya Ibu Andini.
Aku berdiri diam di sudut ruangan, entah apa yang kulakukan di sini, aku bahkan menolak saat Pak Tara tadi ingin mengantarku pulang sebelum pergi ke rumah sakit.
Saat ini, Pak Tara dan Kakaknya ada di dalam ruang ICU, tadi sih keliatannya dipanggil sama suster, aku gak tau sih kondisinya gimana, tapi kalau diliat dari raut wajah Kakaknya Pak Tara, sepertinya kondisi Bu Andini tidak baik.
Tak berapa lama, Pak Tara dan kakaknya keluar dari ruangan. Mata Pak Tara terlihat kosong dan entah kenapa aku bisa merasakan kalau tubuhnya kaku. Sedangkan kakaknya wajahnya sembab, air mata mengalir deras di pipinya.
Oh no!!
Pak Tara dan Kakaknya menghampiri seorang pria yang tak kusadari keberadaannya, mereka bertiga berpelukan dan detik berikutnya kudengar suara tangisan pecah dari Kakaknya Pak Tara.
Seketika aku membeku di tempat, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Tapi entah kenapa kesedihan yang mereka rasakan menular.
"Gue ngurus Ibu dulu ya," kudengar suara Pak Tara.
Tak bisa mengalihkan pandangan darinya, kulihat Pak Tara mengecup puncak kepala kakaknya sebelum berjalan, aku makin membeku ketika Pak Tara berjalan ke arahku.
"Pulang, Mel. Masalah kita nanti diselesaikan," ucapnya pelan, terasa sekali ada kepedihan dalam suaranya.
Aku mengangguk kecil sebagai jawaban. Pak Tara menatapku dengan tatapan letih, ia mengulurkan tangannya untuk mengelus pipiku, dan detik berikutnya ia pun berjalan menjauh.
Kutarik napas panjang beberapa kali, sampai akhirnya ponselku berdenting.
Bude Yayu:
Kamu tahu dari mana, Mel?
Belum sempat aku membalas, seseorang menepuk bahuku.
"Kamu temennya Tara?" Kakaknya Pak Tara menyapaku.
"Sa-saya mahasiswanya Pak Tara, mbak. Yang-- yang kemarin ditemenin Pak Tara ambil sample penelitian," jawabku.
"Ohh okay, saya Mega, kakaknya Tara,"
"Imelda, Mbak. Panggil Imel aja,"
"Kamu ke sini naik apa?" tanya lelaki di belakang Mbak Mega.
"Ta-tadi bareng sama Pak Tara, begitu akses kalan dibuka, langsung otw sini," kataku.
"Kita mau persiapkan acara pemakaman Ibu, kamu mau ikut?" tanya Mbak Mega lembut.
Aku mengangguk kecil dan mereka pun mengajakku keluar dari tempat ini.
"Imel, kamu bisa bawa mobil?" tanya Mbak Mega.
"Bisa, mbak Mega, kenapa ya?"
"Kamu bawa mobilnya Tara ya? Nanti ikutin kita aja dari belakang, ke rumah,"
"Ehh? Te-terus Pak Tara gimana, mbak?"
"Tara nanti pulang naik ambulance sama Ibu, dia ikut mandiin Ibu dulu di rumah sakit sini, abis itu pulang, saya harus duluan ke rumah untuk persiapkan tamu yang mau melayat,"
Aku mengangguk, jadi kuterima saja kunci mobil yang diberikan Mbak Mega. Kami pun langsung bergegas ke parkiran.
Mengikuti mobilnya Mbak Mega dan suaminya, kami sampai di sebuah perkomplekan yang menurutku lumayan sepi, lalu, sekitar jarak 20 meter, terpasang sebuah tenda dari terpal di depan rumah bercat abu-abu, rumah itu juga terlihat ramai.
Aku parkir persis di belakang mobilnya Mbak Mega, kemudian turun menyusul Mbak Mega yang sudah berjalan duluan.
Bisa kulihat beberapa orang yang hadir langsung mengerubungi Mbak Mega, menyampaikan dukanya.
Aku diam di dekat pagar, bingung mau ikutan masuk atau engga.
"Imel, ayok masuk!" suaminya Mbak Mega mendatangiku.
"I-iya, Mas. Di sini dulu aja,"
"Masuk aja, nanti malah penuh banyak tamu kamu gak bisa kemana-mana,"
"O-oke, Mas!" aku akhirnya menurut, masuk ke dalam.
Di bagian dalam rumah, kulihat Kak Mega menangis, berpelukan dengan seorang perempuan tua. Melihat itu, aku jadi ingin menangis, tapi ku tahan.
Aku memutuskan duduk di lantai, agak sedikit ke pojok biar gak menghalangi jalan, bingung aku harus ngapain.
"Neng?" aku tersenyum pada Ibu tua yang menyapaku, terlihat sekali ia sangat sedih.
"Iya, Bu?"
"Neng Imel ya?"
Aku mengangguk.
"Tadi Mbak Mega bilang ke Bibi siapin baju buat mahasiswinya Mas Tara, Neng Imel mau ganti baju?"
"Eh?"
"Neng Imel mau ganti baju?"
Aku diam, mau banget lah, anjir udah dari kemarin aku gak ganti baju, mana abis nyebur sawah juga kan? Kalau gak mandi tadi pagi, pasti bauku udah kaya orang-orangan sawah.
"Boleh Bi," akhirnya aku menjawab.
"Yuk, ganti di kamarnya Mas Tara aja," ajaknya.
"Ehh? Gak di kamar mandi aja?" tanyaku.
"Di kamarnya Mas Tara ada kamar mandi kok Neng, lebih enak juga, gak banyak orang lewat kaya di belakang,"
"Gak apa-apa emang, Bi? Masuk kamarnya Pak Tara?"
"Gak apa-apa, tadi Mbak Mega sendiri kok yang nyuruh,"
"Yaudah kalau gitu, Bi!"
Bibi yang gak kutau siapa namanya ini membawaku ke lantai dua rumah, sambil naik tangga, si Bibi bercerita.
"Kita baru setahun tahu, Neng, pindah ke rumah ini, Mas Tara beli rumah ini buat Ibu, eh tapi Ibu gak lama nempatinnya,"
Aku hanya mengangguk, bingung merespon apa.
"Ayok, Neng, masuk." Bibi membukakan pintu, dan aku pun melihat kamar Pak Tara yang... entah kenapa terasa dingin.
"Bibi temenin di sini ya?" pintaku,
"Eh jangan, kan Neng Imel mau ganti,"
"Ya gak apa-apa, Bi. Saya gak enak ada di kamar orang begini,"
"Gak apa-apa, ini bajunya Neng, semoga muat yaa!"
Kuterima baju itu, lalu Bibi tadi keluar dari kamar sambil menutup pintu.
Aku diam di tempat selama beberapa saat. Asli, kamarnya Pak Tara jauh dari kata nyaman. Ini kaya ruang kerja yang dikasih kasur, udah gitu doang.
Mendekati kasurnya, kuletakkan baju gantiku di atas kasur, lalu duduk di pinggir kasur. Benar tebakanku, ranjangnya dingin, padahal AC di ruangan ini gak menyala.
Tak betah berlama-lama, segera kulucuti pakaianku, menggantinya dengan baju yang tadi diberikan si Bibi.
Yaah, walau pun agak kebesaran tapi seenggaknya aku ganti baju, pakai baju yang bersih dan wangi.
Kukumpulkan baju kotorku, memasukkannya ke totebag yang tadi berisi baju ganti, dan saat aku akan keluar, mataku menangkap sebuah pigura di atas nakas, terpajang foto Pak Tara dengan seorang wanita.
Kalau di ruangan Pak Tara, aku gak pernah lihat jelas, tapi di sini, aku bisa melihat jelas pacarnya Pak Tara yang bernama Merida ini.
Buset Pak Tara, cantik amaat ceweknyaaaa!!
Aku berbalik, dan ketika aku berbalik, kaget aku liat kucing ada di dalam kandang, entah kenapa kucing ini terlihat sedih.
"Hey, kamu Missy?" ucapku pada kucing ini. Ya, dia kucing yang semalam kulihat di ponselnya Pak Tara.
Aku duduk di lantai di depan kandang kucing, dan satu yang kukagumi, kaga ada sedikit pun bau kucing di ruangan ini.
"Missy? Kamu kok dikurung sih? Dari kapan? Udah makan belum?"
Missy gak menjawab, ia hanya mendekatkan diri, jadi kumasukan jari-jariku melalui celah kandang untuk mengelusnya.
Missy mendekati tanganku, kaya ndusel-ndusel gitu.
"Sabar yaa, kamu kayanya dikurung gara-gara di bawah lagi riweh, coba deh nanti aku tanya Bibi, kamu udah makan apa belum, oke??"
Missy lagi-lagi mengendus tanganku.
Terlarut menghibur Missy dengan mengelus-elusnya, aku bahkan mengeluarkan kucing ini dari kandangnya, memangkunya sambil membelai lembut bulu-bulunya yang halus sementara ia dengan tenang tiduran di pangkuanku. Tiba-tiba saja, pintu kamar terbuka dan aku tersentak, membuat Missy loncat dari pangkuanku.
"Kamu ngapain di sini?" Pak Tara masuk ke dalam kamar, wajahnya sama sekali tidak terbaca. Ia langsung membungkuk, menggendong Missy yang tadi loncat dan langsung berjalan ke arah Pak Tara.
"Anu... itu... apa sih? Ta-tadi, disuruh, ituuu!" aku tergagap, gak bisa jawab pertanyaan sepele barusan.
"Mel, kamu gak perlu nguber-nguber saya kaya gini, sampe menyelinap ke kamar saya segala. Kan saya udah bilang, saya ngurus Ibu saya dulu, saya gak bakalan kabur,"
Hah? Apa barusan yang Pak Tara bilang?
Aku nguber-nguber dia?
Allahhuuuuuu, kaga!
"Bu-bukan itu, Pak. Aduhhh! Saya gak gitu kok!" kataku.
"Kamu mau nyulik Missy?" tuduhnya.
"Hah? Engga!"
"Mel, please... saya gak ada waktu buat main-main gini, for God's sake, Ibu saya meninggal Mel, please... jangan recokin saya dulu,"
Aku diam mendengar itu. Pak Tara nih ngusir? Padahal dia bahkan belum denger penjelasan aku kan?
Akhirnya aku berdiri, kupungut tas berisi baju kotorku, lalu berjalan ke arah Pak Tara.
"Ini Pak, kunci mobil Pak Tara, makasih!"
Kutinggalkan Pak Tara, aku bergegas turun menuruni tangga, memesan ojek online untuk membawaku pergi dari sini.
Sakit hati aku!
*****
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
Ps; yang satu cewek, baperan. Yang satu lg lagi kacau ibuknya meninggal. Serba salah 💔
Pss: siang2 gini di bogor hujan, jadi update aja deh.
Gimana keadaan langit kota kalian??
*****
Yang mau baca cerita Tara dr awal boleh langsung download Tante Mer di apps/play store yaaa
Tersedia jg cerita lainnya ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top