2. Bimbingan

IMEL

Berkat arahan dari Pak Daru, sehabis dari ruang dosen aku berjalan menuju area depan kampus, gedung Rektorat adalah tujuanku.

Lumayan juga jalan ke depan soalnya kan gedung Fakultas MIPA memang posisinya agak ke belakang. Jadi jalan ke depan tuh PR banget.

Begitu aku tiba di gedung Rektorat, aku langsung menghampiri resepsionis yang stand by di lobby. Tersenyum ramah pada mbak-mbak yang ternyata sedang asik bermain ponsel.

"Permisi, Mbak!" sapaku.

"Oh ya, ada perlu apa?" tanyanya.

"Mau tanya Mbak, ruangan Pak Aktara di mana ya?"

"Pak Tara? Wakil Rektor III? Bagian Riset dan Inovasi?" ujarnya lengkap.

"Iya, betul Mbak, Pak Tara," aku mengulangi ucapannya.

"Udah ada janji?"

Aku menggeleng pelan. Waduh, ribet juga nih kalau mau ketemu dosen pembimbing harus ngobrol sama resepsionis dulu, terus harus bikin janji dulu. Ini gak ada yang senasib sama aku apa ya? Senasib maksudnya pembimbing-nya Pak Tara juga.

"Hemm, susah kalau belum ada janji, tapi coba aja deh, tuh ruangannya, belok kiri, lurus terus, ruangannya paling ujung, ada namanya kok di atas pintu," jelas resepsionis yang bernama Tati ini.

"Oke, Mbak! Makasi banyak ya!" seruku.

Menarik napas panjang, aku berjalan sesuai dengan arahan Mbak Tati. Tiba di ujung koridor aku mendongkak ke atas, aku tersenyum melihat nama Pak Tara berteger di atas pintu.

Akatara Chaidar
Wakil Rektor III

Wihh, keren juga nih jabatan pembimbingku.

Kembali menarik napas panjang, aku memberanikan diri mengetuk pintu ruangannya, agak sakit yaa, pintunya keras banget, mahal nih kayaknya.

Tak terdengar sahutan dari dalam, jadi aku mencoba mengetuknya kembali, kali ini pakai tenaga tentu saja, abisnya pintunya keras banget, kan kali aja gak kedengeran sampe dalem gitu ya?

Gak ada sahutan juga, kembali kuketuk pintu tersebut, lalu aku sedikit melonjak, kaget ketika pintu itu terbuka dari dalam.

Ketika melihatku, Pak Tara langsung memasang tampang kesal.

"Sabar kek, saya denger kok pintunya diketuk!" omelnya.

"Ma-maaf, Pak!"

Tobat ya Lord! Kenapa aku dapet pembimbing pada killer begini sih? Takut!

"Masuk!" titahnya, beliau membuka pintu lebih lebar membuatku bisa memasuki ruangan yang luas itu.

Asli, ini ruangan beneran luas, dua kali lebih besar dari ruangan dosen yang tadi kudatangi.

Di ruangan ini terdapat meja yang lumayan besar dan panjang, nama Pak Tara beserta jabatannya tertera dalam papan nama yang berbuat dari akrilik di atas meja. Dan yang paling menyita perhatian adalah bendera berbagai negara kecil-kecil yang digantung di atas dinding belakang meja Pak Tara. Keren parah!

"Duduk!" Pak Tara mengulurkan tangannya, menunjuk ke sofa yang ada di tengah ruangan.

Aku duduk, agak miring biar keliatan anggun dan Pak Tara pun duduk di single sofa yang ada di sebelah kiriku.

"Kenapa Mel?" tanyanya.

Wah? Pak Tara tahu namaku? Keren juga dia, di antara ratusan atau mungkin ribuan mahasiswa ajar-nya, eh dia tahu namaku.

Tersanjung nih aku.

Hehehehe!

"Ini, Pak, mau kasih surat pengantar untuk bimbingan," kataku.

"Ohh kamu udah mulai skripsi? Kamu kan baru mau semester 6?"

Ah gila, makin tersanjung aku, dia tahu aku mahasiswa semester 6. Aduhh, jadi gemes, Pak Tara tahu apa lagi ya soal aku? Hehehe!

"SKS-nya udah cukup, Pak. Dibolehin juga kok sama Pak Gusti," jawabku.

"Tapi kamu ada mata kuliah lain yang diambil?" tanyanya.

"Emm, semester 6 ini cuma ambil kewirausahaan doang Pak, yang lainnya sudah saya ambil di semester bawah,"

"Okee, good! Jadi beban kamu gak banyak," katanya ramah.

Ya ampun Pak Tara! Baik banget dah sumpah! Beda banget sama Pak Daru tadi.

"Iya Pak, semoga sih saya gak keteteran," kataku.

"Mana suratnya?"

Begitu Pak Tara meminta surat pengantar bimbingan, lagi, aku membuka map yang kubawa-bawa, mengeluarkan amplop berisi surat bimbingan dan tentu saja, draf proposal penelitianku.

"Ini Pak!" kataku mengulurkan dua dokumen tersebut padanya.

Pak Tara menerimanya, ia tidak membuka amplop berisi surat, langsung fokus pada propsalku. Dahinya langsung berkerut, membaca judul proposalku.

Seketika aku deja vu, ekspresinya sama banget sama Pak Daru tadi. Huhuhu, apa sih yang salah dari judul penelitianku.

"Ke-kenapa, Pak?" tanyaku memberanikan diri.

Pak Tara tersenyum, ia lalu mengambil bolpoin dari saku kemeja yang ia kenakan, terlihat olehku ia mencoret tulisan kepiting dalam judul.

Waduh? Aku harus ganti objek penelitian nih? Apa gimana? Tuhan, tolongin aku! Aku gak punya back-up plan kalau-kalau ganti judul soalnya.

"Kamu bedain ya, kepiting, ketam, rajungan sama yuyu!" ucapnya pelan.

Eh? Apa tadi? Bukannya itu sama-sama aja ya?

"Emang beda ya Pak? Saya kira sinonim mereka tuh, terus yang paling familiar ya kepiting," kataku sotoy.

"Ya beda lah Mel, mereka punya nama dan sebutan masing-masing ya karena punya arti sendiri,"

Aku mengangguk. Terpesona dengan pembawaan Pak Tara yang tenang.

3 tahun lebih jadi mahasiswa Biologi, aku tahu banget loh gimana ramahnya Pak Tara, dan gimana anehnya beliau ketika tiba-tiba berubah menjadi sosok yang dingin. Namun kali ini, aku merasakan kehadiran sosok lain. Pak Tara yang ramah, tapi juga agak judes. Ngerti gak sih? Kaya perpaduan dua sifat yang ia miliki sebelumnya.

"Saya baca sebentar ya? Kalau ada revisi biar bisa langsung sekalian bimbingan aja, oke?" ujar Pak Tara.

"Siap, Pak!"

"Kalau gak gini gak bakal kepegang soalnya Mel, saya sibuk,"

"Baik, Pak!" kataku.

Pak Tara tak menyahut, ia fokus pada draf proposalku, matanya yang memakai bantuan kaca mata terlihat teliti sekali membaca semua tulisan yang ada dalam draf tersebut. Bolpoin di jari tangannya sesekali bergerak, mencoret dan menuliskan sesuatu. Ketika kembali fokus membaca, bolpoin itu diketuk-ketukan oleh Pak Tara ke kertas yang ada di genggamannya itu.

Asli, Pak Tara kalau begini charming banget deh, sumpah. Tiba-tiba aku jadi mengingat kembali Pak Daru yang beberapa saat sebelumnya juga membaca proposalku.

Aku jadi bingung nih, di antara dua dosen pembimbingku ini, siapa ya yang lebih ganteng? Hehehe!

Astaga, Imel! Apa-apaan dah? Mau bimbingan kok ya yang dipikir malah ketampanan dosen-dosen pembimbingku?

Sadar Mel, sadar!
Mereka berdua udah pada tua. Umurnya di atas kepala tiga semua.
Jangan gila-gila mikirin dua dosen ini.

Aku menasehati diri sendiri dalam hati sementara Pak Tara masih fokus pada draf proposalku.

Mengalihkan perhatian dari Pak Dosen, aku memerhatikan ruangannya yang luas ini. Di sisi kiri ruangan, di bagian di dindingnya tertempel banyak piagam penghargaan atas nama Pak Tara. Lalu di atas meja panjang yang menempel pada dinding, banyak sekali plakat, sama seperti piagam, plakat tersebut juga bertahtakan namanya.

Gila, Pak Tara nih sukses banget ya?

Semoga, selama beliau jadi pembimbingku, aku bisa dapat menyerap banyak ilmu. Amin!

Lalu, pandanganku teralihkan ke sebuah foto kecil di meja kerja Pak Tara, sebenernya foto itu agak gak terlalu keliatan, cuma karena aku duduknya agak miring, aku bisa liat.

Foto Pak Tara sedang berpelukan dengan seorang wanita cantik.

Yhaaa, ternyata dosen gantengku ini sudah dipatenkan hak miliknya oleh orang lain.

Huh!

***

TBC

Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

Ps: doain update tiap malem jam 8 yaa sehari satu #bismilahkonsisten

Pss: mari kita ingatkan kalian akan visualnya Pak Tara dan Pak Daru (dan Imel tentu saja)

Tara dan Missy (kucing kesayangannya)

Tara dan Chamsae (anaknya Missy)

**

Pak Daru
(Buat yg nanya, Daru nih kakaknya Ardra ya, dia ada di cerita Tante Mer, Rush-Uh dan Berburu R-Estu)

***

Imelda Prajna

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top