16. Baper

IMEL

Ya allah, aku naksir sama Pak Tara!

Kaga karu-karuan perasaanku ini.

Padahal baru sekali ngabisin waktu seharian bareng Pak Tara, eh aku baper kaga ketulungan ini. Help!

Gimana ya?

Pertama, Pak Tara on time. Janjian jam 7, jam 7 kurang udah sampe. Coba, happy banget kan ketemu orang yang menghargai waktu gitu??

Kedua, wangi banget! Aku di mobil berdua bareng Pak Tara serasa menghirup aroma surga. Kacau lah!

Pernah sih aku semobil sama Pak Tara sebelumnya, tapi itu malem-malem, wanginya dia udah kecampur sama keringet dan aroma club, jadi gak jelas. Lha ini, pagi-pagi, masih fresh, wangi banget. Dan setelah seharian kepanasan, pas sore juga dia masih wangi. Best lah!

Terus selanjutnya, ke berapa nih? Ketiga ya? Pak Tara profesional banget. Dia ngajarin cara ambil spesimen yang bagus gimana, biar gak menyakiti hewannya ataupun cara aman biar kita gak kecapit. Dan pas di lab, telaten banget dia ngajarin aku identifikasi, dari ciri yang paling umum sampe yang spesifik.

Top. Top. Top!

Tapi sayang, Pak Tara kan punya pasangan ya? Sedih banget nih aku.

Tapi gak apa-apa, aku mau menikmati kebaperan ini.

Mumpung besok Pak Tara mau nemenin lagi, aku harus memanfaatkan hari-hari bersama Pak Tara sebelum takdir memisahkan kami.

Hahahaha! Lebay banget aku!

"Besok jam 7 juga, Pak?" tanyaku, Pak Tara mengantarku pulang sampai depan rumah.

"Besok kita agak jauh, jadi pagian deh biar ke kejar sore sampe ke kampus, jadi sehari beres, sehari beres, kaya tadi,"

"Jadi jam berapa Pak?"

"Jam 6 siap ya? Jangan lupa sarapan," katanya.

"Siap, Pak!"

Pak Tara mengangguk, jadilah aku pamit, turun dari mobilnya lalu masuk ke dalam rumah.

Asli, seharian ngerjain ini itu badanku remuk. Aku harus tidur supaya besok punya tenaga. Kalau besok Pak Tara gak mau nemenin, pasti aku besok mangkir sih hahahaa sayangnya Pak Tara mau nemenin, jadi aku harus semangat!

Yuk ah bisa yuk!!

*****

Kami ada di sebuah desa di kaki gunung, ini kali pertama aku ke sini karena sebelumnya memang belum sempat datang ke sini. Eh, malah ke sini sama Pak Tara.

Pemandangan Desa ini asri banget, udah kaya lagu Pemandangan ciptaan Pak A.T Mahmud, sungai tampak berliku, sawah hijau membentang. Ajib lah!

Target utama kami di kampung ini ya sawah, jadi kami izin ke pejabat setempat untuk mengambil sampel.

Pak Tara orangnya persuasif banget, enak gitu dengerin dia ngobrol sama Pak Kepala Desa. Bingung aku, ada gitu topik obrolannya.

"Iya, mangga Pak, langsung aja ke sawahnya,"

"Siap Pak Asep, hatur nuhun pisan yaa," ucap Pak Tara lembut.

Setelah izin dan lain sebagainya, kami pun berjalan menuju daerah pesawahan. Ketika di pinggir sawah, langsung aja aku buka sepatu, biar gak kotor kan mau nyebur ke lumpur.

"Mel?!" seru Pak Tara ketika aku hendak turun.

"Eh? Kenapa Pak?"

"Kamu gak bawa sepatu boot?"

"Ehh? Engga, Pak. Kan kemarin juga begini,"

"Yee, kemarin kan elu nyemplung ke sungai, keliatan kaki lu nyebur ke mana, ini masuk ke sawah, dipatok uler lu yang ada," omel Pak Tara.

Aku kaget dong anjir, tiba-tiba di elu-elu-in sama Pak Tara.

"Ehh? Te-terus gimana Pak?" tanyaku bingung.

Pak Tara gak menjawab, ia berbalik, berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tak lama ia kembali dengan sepasang sepatu boot karet.

"Nih pake, Mel!"

"Ini punya Pak Tara?"

"Punya Pak Lurah!"

"Pak Lurah minjemin?"

"Ya kaga lahhh cantikkk! Punya gue itu, udah pake dulu sana sebelum nyebur!" serunya dengan nada suara kesal.

"Ohhh, oke oke, siap! Makasi Pak!" kataku.

Setelah memakai sepatu boot milik Pak Tara aku pun turun ke sawah, tanganku mulai mengobok-obok lumpur di pinggiran sawah, gak beberapa lama, aku dapet satu Yuyu, banyaknya keong di sini.

Seperti kemarin, Pak Tara standby membuka plastik sampel, ia bahkan menuliskan label koleksi di plastik tersebut, baik banget.

"Coba pindah Mel, jangan di satu titik," titah Pak Tara.

"Siap, Pak!"

Jalan di lumpur nih ternyata berat ya, apalagi sepatunya Pak Tara kegedean di kakiku. Jadi berasa jalan di Mars nih aku, serasa gravitasinya beda.

Selama beberapa menit, kami mengambil sampel di beberapa titik sampai akhirnya Pak Tara nyuruh aku pindah sawah.

"Cukup nih," ujar Pak Tara, entah sudah berapa Yuyu yang aku kumpulkan.

"Oke Pak, letsgooo!" seruku.

Setelah membersihkan kaki, kami pamit kembali ke Pak Kades, kemudian melanjutkan perjalanan karena langit mulai terlihat mendung.

Di jalan pulang, aku baru sadar kalau di desa ini banyak villa gitu, yaa cocok sih, desa ini adem, jadi beneran bisa jadi pilihan untuk liburan melepas kepenatan kota yang sibuk.

Ketika sedang bengong memandangi jalan, tiba-tiba mobil bergoyang dan kulihat Pak Tata menarik rem tangan mobilnya, kakinya juga seperti menginjak rem sekuat tenaga, membuat suara decitan karena mobil berhenti mendadak.

Untung jalanan sepi, kalau rame bisa-bisa tabrakan ini.

"Kenapa Pak?" tanyaku panik.

"Gempa ya Mel?"

Aku diam, jadi tadi tuh mobil tiba-tiba goyang tuh gempa?? Dan beberapa detik setelahnya mobil pun bergoyang kembali sebelum akhirnya berhenti.

Wajah Pak Tara sama paniknya denganku, ketika merasa keadaan aman, Pak Tara menepikan mobilnya, ia langsung membuka ponsel dan sibuk.

Aku ya ikutan juga, kubuka ponselku, mencari berita terbaru soal apa yang baru saja terjadi.

"Bener, Mel. Gempa, pusatnya gak jauh dari sini lagi,"

"Terus gimana, Pak?" tanyaku.

"Lanjut aja kali ya?"

Aku mengangguk setuju.

Pak Tara biasanya menyetir dengan kecepatan standar, tapi kali ini jadi lebih pelan, mungkin masih syok karena gempa tadi kali ya?

Tak berapa lama menyetir, mobil berhenti kembali, untungnya gak dadakan kaya tadi. Di jalan depan kami, kira-kira jarak 30 meter, terlihat sekumpulan orang berkumpul menghalangi jalan.

"Ada apaan lagi sih?" oceh Pak Tara seraya melepas seatbelt-nya, ia langsung keluar, mendekati kerumunan warga.

Memilih tetap berada di mobil, aku memperhatikan orang-orang di depan, tak lama Pak Tara berjalan kembali ke arah mobil dengan wajah kesal.

"Kenapa Pak?" tanyaku ketika Pak Tara masuk ke mobil.

"Jalanannya ambles karena gempa tadi, ada pohon tumbang juga, gak bisa dilewatin,"

"Lhaa terus??"

"Kita disuruh cari penginapan daerah sini,"

"Heeee??" aku terkejut mendengar itu, Pak Tara tidak meresponku.

"Kalo Yuyunya mati lagi, gimana Pak?" tanyaku panik.

"Lagi gini ada kemungkinan kita yang mati, Mel. Bukan cuma Yuyu,"

Aku jadi deg-degan denger Pak Tara bilang gitu. Jadilah aku cuma bisa diam dan bengong saat mobil berputar arah.

Mobil berhenti di parkiran sebuah vila, melihat parkiran yang penuh oleh kendaraan, aku punya asumsi ada orang lain juga yang menginap di sini.

Pak Tara meninggalkanku di dalam mobil, ia sudah masuk ke bagian dalam vila tersebut.

Memerhatikan vila ini, vila ini kaya bukan vila-vila rumah yang tadi kulihat di dekat desa. Ini kaya lebih ke mini cottage, gitu. Soalnya ada kaya meja resepsionisnya juga, walaupun kecil.

Aku turun dari mobil, mendekati Pak Tara yang sedang berbincang dengan resepsionis.

"Sisa satu? Kasurnya twin apa double?" tanya Pak Tara.

"Double bed Pak, kita gak sedia kamar dengan kasur twin,"

Kudengar Pak Tara mendecak kesal.

"Kalau saya request extra bed bisa?"

"Memang buat berapa orang, Pak?" tanya respsionis ramah.

"Dua,"

"Maaf, Pak. Kalau untuk dua orang kita gak bisa extra bed, karena kondisi seperti ini, extra bed kita sediakan untuk keluarga yang menginap lebih dari tiga orang,"

"Hadeeeh!" Pak Tara tak banyak bicara, ia langsung berbalik dan menyuruhku ikut dengannya.

"Kenapa, Pak?" tanyaku.

"Cari tempat lain aja. Penginapan apaan kaga ada twin bed? Gak boleh minta extra bed? Hih!" keluhnya.

Aku mengikuti langkah Pak Tara yang berjalan menuju mobil, ketika aku masuk, Pak Tara langsung memundurkan mobilnya, kami berjalan kembali ke arah desa.

"Emang gak bisa balik aja, Pak? Gak ada jalan lain?" tanyaku.

"Tadi saya udah nanya, gak ada jalan lain, kalau muter pun nyampenya bukan ke Bogor,"

"Terus ke mana?"

"Ke Banten,"

"Ebuseeet,"

Pak Tara tak menyahut, kami sampai di sebuah penginapan, seperti tadi, Pak Tara langsung keluar meninggalkanku. Baru aku hendak turun, kulihat Pak Tara berjalan mendekat, tampangnya makin terlihat kesal.

"Penuh! Hih! Orang-orang pada gercep banget ya? Perasaan gempanya baru satu detik yang lalu!"

Aku diam, ngerti banget aku Pak Tara lagi kesel, dan barusan dia lagi ngedumel, buka lagi ngomong sama aku.

Kami kembali menyusuri jalan, di penginapan yang ketiga ini, Pak Tara bahkan gak bisa memasukan mobilnya, kami parkir di pinggir jalan dan Pak Tara menyuruhku menunggu.

Seperti tadi, Pak Tara kembali dengan raut wajah masam.

"Penuh juga, Pak?" tanyaku.

"Iyaa, ternyata dari perbatasan tadi jalanan udah ditutup, kita ini itungannya ada di luar,"

"Terus gimana, Pak?"

"Kalau kamar yang pertama tadi masih availabe, ya harapan kita cuma itu," jelas Pak Tara.

Aku diam.

"Gak apa-apa, Mel?"

"Maksudnya, Pak?" tanyaku bingung.

"Iya, kamarnya cuma satu, double bed dan gak bisa extra bed,"

Aku diam sejenak sebelum menjawab.

"Yaa, yaudah Pak, gimana lagi? Masa tidur di mobil?"

"Yaudah, kita balik ke tempat tadi aja, semoga sih belum diambil orang kamarnya,"

Aku mengangguk.

Tuhan!

Iya sih, aku bilang aku naksir sama Pak Tara. Tapi ya kenapa dibikin sekamar begini dah?

Kan kalau terjadi yang gak-enggak, aku takut.

Takut suka terus keterusan maksudnya.

Ya allah!

*****
*****

TBC

Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

****

Mel tahan iman ya mel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top