(Kilatan di mata Yumi ( POV Adit ))

"AC di kamar tamu tidak terasa," ucap Yumi yang tiba-tiba datang di kamarku. Setelah makan malam yang lebih tepat dikatakan tengah malam, aku meminum obat. Reaksi obat cukup cepat, sehingga aku merasakan keinginan untuk bersin berkurang. Hanya saja hidungku masih tersumbat.

"Kita perlu mencari tukang service untuk membersihkannya, terakhir kali dibersihkan, enam bulan yang lalu, tentu debu telah menempel di dalamnya."

Aku tahu pasti, Yumi paling tak suka dengan udara panas. Sedangkan kamar kami, AC menyala dengan maksimal. Mungkin kami mengabaikan kamar tamu, yang jarang ditempati, sehingga lupa memeriksanya secara berkala.

"Lalu, bagaimana?" tanyaku padanya, apakah dia menyuruhku ke sana dan dia di sini? Itu terdengar kejam.

"Aku tak bisa tidur, entah kenapa malam ini juga terasa gerah dari biasanya."

"Tidur di sini saja." Aku menarik selimut kembali. Yumi masih berdiri tegak tanpa bergerak.

"Tak usah takut, aku takkan menyentuhmu." Aku memperjelas. Kalau itu yang ditakutkan Yumi, dia tak perlu khawatir. Aku tak lagi memiliki minat untuk menyentuhnya sejak kutahu aku telah dibohongi.

Yumi diam saja, akan tetapi kulihat ada kilatan aneh di matanya. Entah apa.

"Kau bisa pingsan lagi jika terus berdiri seperti itu. Tidurlah!" Aku menggeser tubuhku, memberi tempat di sebelahku. Tentu saja, untuk meyakinkan Yumi, aku meletakkan guling sebagai pembatas di antara kami.

Yumi bergerak, kemudian kurasakan ranjang berderit, pertanda Yumi telah menaiki ranjang kami.

"Maaf, aku membelakangimu, aku tak mau kau tertular virus."

Yumi diam saja, seperti biasa. Aku sudah terbiasa diabaikan saat berbicara.

"Selamat tidur," ucapku sebelum menutup mataku, sepertinya besok aku akan minta cuti untuk istirahat seharian di rumah.

"Saat kau tidur, apa yang kau mimpikan, Mas?"

Aku membuka mataku kembali, menggeser posisiku, merubah menghadap ke arah Yumi yang ternyata sudah menghadap padaku.

Jarak wajah kami dekat, aku bahkan bisa melihat sehitam apa bola matanya, dia menatapku tanpa kedip.

"Aku tidur, untuk istirahat, tak pernah berharap memimpikan sesuatu. Kenapa?"

"Tidak, aku hanya penasaran."

"Kau sendiri?"

Yumi tersenyum hambar, dia menarik selimutnya yang dibawa dari kamar sebelah.

"Aku takut untuk tidur, karena dalam mimpi, aku masih mengingat wajah mereka."

Aku terkejut, mereka siapa? Siapa yang dimaksud Yumi?

"Mereka? Siapa mereka?" Akhirnya aku tak jadi mengantuk dan dilanda penasaran.

"Bukan siapa-siapa, lupakan!" Dia langsung mengubah posisinya membelakangiku.

Padahal aku berharap, Yumi sedikit memberiku penjelasan tentang apa yang baru saja dikatannya.

***
"Hauuus ...."

Aku membuka mataku dan menajamkan telinga. Apakah tadi Yumi baru saja mengigau?

"Minum," katanya lagi, tapi masih dengan mata tertutup.

Sudah dipastikan itu adalah Yumi. Aku bangkit, menoleh ke kiri melihat wanita itu tidur bergelung bagaikan janin.

"Kau ingin aku yang mengambilnya?"

"Tolong, kepalaku sakit."

"Baik," sahutku sambil memaksakan tubuh untuk bangun. Tak lama setelah itu aku kembali ke kamar kami, menyodorkan air putih pada Yumi yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang.

Saat aku menyodorkan gelas, tangan kami bersentuhan.

"Kau demam?" Tanpa sadar punggung tanganku mendarat di kening Yumi, membuat wanita itu kaget. Benar, dia ikutan demam. Aku yakin dia tertular dariku.

"Kepalaku sakit." Yumi memijit kepalanya sendiri. Ada obat milikku, tapi aku ragu memberikan padanya karena dia sedang hamil. Wanita hamil tak boleh diberi obat sembarangan.

"Sakit sekali," keluhnya lagi.

"Mau aku pijit?" Tawaran itu meluncur begitu saja dari mulutku, membuatku menyesalinya. Memijit Yumi? Kami tak sedekat itu.

"Tolong, untuk kali ini saja," sahutnya. Dia merebahkan kepalanya kembali ke bantal, aku bisa melihat, urat di pelipis dan keningnya berkedut. Kening Yumi berkerut tapi matanya masih terpejam.

Perlahan, jari-jari besarku singgah di kepalanya. Yang kutemukan adalah rambutnya yang tebal dan lembut, serta aroma sampo yang menguar dari sana.

Aku bukan ahli pijit, akan tetapi Ibu memujiku selama ini, bahwa aku memiliki memiliki tangan ajaib yang bisa menyembuhkan. Entahlah, akan tetapi, aku sering memijit kepala Ibu, wanita yang melahirkanku itu, sering sakit kelapa jika mag-nya sudah kambuh.

Ternyata memijit kepala Yumi dan kepala Ibu, memiliki sensasi yang berbeda. Ada perasaan sungkan di hatiku, menyentuh wanita ini secara suka rela dan dia menerima tanpa penolakan.

Kuamati wajah Yumi yang sesekali meringis menahan sakit. Andaikan, dia adalah wanita seperti yang kuharapkan, aku pasti akan jatuh cinta padanya.

Jujur saja, awal kami berjumpa saat perjodohan, aku terpesona akan kecantikannya. Akan tetapi, baru saja kami bertemu, Yumi telah memberi pembatas di antara kami. Seakan ada tembok penghalang, yang membuatku dan Yumi hanya berhubungan layaknya orang yang hanya tinggal satu atap.

Setelah beberapa menit, kudengar napas teratur Yumi, menandakan wanita itu telah tidur kembali. Pagi masih beberapa jam lagi, dia butuh obat untuk pereda demamnya.

***
"Kalau istri Bapak sedang hamil, bagusnya bawa saja ke dokter, karena wanita hamil tak boleh meminum obat sembarangan," kata pelayan apotek itu.

"Ada, obat untuk wanita hamil ada, Pak. Tapi saran saya, bagusnya ke dokter dulu, baru bawa resepnya ke sini. Saya tak memaksa, sih, Pak. Kalau Bapak mau, saya kasih."

Aku dilanda kebimbangan, tapi setelah dipikir, apa yang dikatakan adik tadi benar. Yumi tengah hamil muda, kami belum memeriksakan keadaannya sama sekali. Aku juga tak mau ceroboh memberi obat padanya.

Akhirnya aku pulang, mendapati Yumi dengan wajah pucatnya tengah duduk di atas sofa ruang keluarga.

"Aku tak jadi membeli obatnya, kita ke dokter saja," kataku duduk di samping Yumi, tentu saja dengan jarak. Kami berada di ujung sofa yang panjang itu. Dia di ujung kiri, aku di ujung kanan.

"Aku tidak mau ke dokter."

"Yumi, jangan kerasa kepala," kataku lelah, sejujurnya aku masih merasakan tubuhku yang belum sehat betul. Mengendarai mobil ke apotik bahkan butuh perjuangan.

Rasanya tak masuk akal saat Yumi menolak terlalu keras setiap kusebut akan membawanya ke dokter. Bahkan raut wajahnya berubah, takut, panik dan marah.

Ya Tuhan, di zaman sekarang, manusia dan dokter tak bisa dipisahkan, apa lagi sebentar lagi dia akan melahirkan. Tak mungkin kami mencari dukun beranak ke rumah.

"Pokoknya aku takkan ke dokter bahkan saat kau menodongkan pistol ke kepalaku, kau mengerti?"

Dia amat marah, bahkan kulihat matanya menatapku nyalang.

"Aku tak mungkin melakukan itu padaku, tapi beri aku satu alasan, kenapa dokter sangat mengerikan bagimu? Jika kau bicara, aku pasti akan mengerti.

"Ini tak ada urusannya denganmu."

Darahku mendidih, setiap dia mengatakan apa yang ada padanya bukanlah urusanku, dia adalah istriku, tanggung jawabku di dunia dan akhirat, bagaiamana dia bisa mengatakan bahwa ini bukan urusanku.

"Anak itu bukan hanya anakmu, dia anakku, bagaimana bisa semua yang berkaitan dengannya bukan urusanku? Kau sangat picik."

"Jika boleh memilih, aku tak akan mengandungnya!" Yumi berteriak persis di depan wajahku. "Aku tak ingin memiliki anak ini, jangan salahkan aku jika suatu saat aku akan melenyapkannya!"

Aku tercekat dengan apa yang dikatakan Yumi. Apa selain bekas orang, lesbian, dia juga sakit jiwa? Bagaimana seorang ibu bisa mengatakan akan melenyapkan anaknya sendiri.

"Ada apa denganmu?" tanyaku dengan suara bergetar. Semua perkataan Yumi sangat tak masuk akal.

"Jika karena anak ini kau memaksaku ke dokter, aku bisa melenyapkannya ...."

Aku tak tahan dengan semua ocehan gilanya, kucekal lengannya begitu erat. Napas panas Yumi menyapu wajahku.

"Sadarlah! Sadar! Kalimat yang keluar dari mulutmu adalah pengaruh bisikan syetan. Aku akan membawamu ke psikiater, semakin hari kau semakin aneh."

Yumi meringis sakit, namun senyum pahit terbit di bibirnya. Senyum yang mengisyaratkan rasa sakit.

"Menikah denganku, adalah salah satu kesialan bagimu, Adit. Kau tak tahu saja, aku lebih gila dari ini, ayo kita bercerai! Supaya aku bisa mati dengan tenang!"

"Istighfar! Apa yang kau sebutkan! Aku menginginkan anak itu, jangan sesekali kau berniat menggugurkannya."

Yumi memberontak, cekalan di lengannya terlepas.

"Kau hanya menginginkan anak itu, kau tak menginginkanku, setelah anak ini lahir, kau akan mengambilnya dan kau akan mencampakkanku, kan?"

"Yumi, apa yang kau katakan?"

Wanita itu merosot, setelah marah-marah dan mengamuk, dia malah meratap seperti orang tak waras.

"Tak ada yang menginginkau dunia ini, aku ingin mati saja ...."

Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Aku juga lelah dengannya, lelah dengan semua keanehannya, tapi aku memilih untuk bertahan.

Aku berjongkok. Menarik bahu Yumi, kupeluk dia, dia masih meratap tapi tak lagi memberontak.

500 vote, 100 komen, lanjut

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top