| Kedelapan belas |

Evan itu tukang pamer. Sekarang, dia jadi instruktur olahraga karena materi pembelajarannya tentang tenis meja. Sok jago!

“Malas banget liat Evan,” desis Peni yang sekarang udah nggak pemalu.

“Sok ganteng dia,” tambah Gia dan Ulfa.

“Setuju,” gue ikut-ikutan. Dipukul Karina jadinya.

Metta dan beberapa anak kelas kami, cerita ke Pak Haris soal beberapa kejadian yang terjadi di kelas. Bisa dibilang Bully ke kelas kami atau gimana, nggak ngerti.

Mulai dari kalo kami jalan di koridor banyak yang nyeletuk nyebelin, atau anak-anak kelas yang berani banget nyamperin buat ngata-ngatain.

Sebenarnya banyak. Tapi gue juga nggak ingat karena yang ganggu gue jarang.

“Emang ada?” kata Pak Haris memastikan. Pak Haris ini, umurnya palingan 24, masih muda. Jadi, kayak teman.

“Kemaren sampe berani narik ikat rambut saya, Pak,” kata Karina sebel sendiri.

“Kenapa nggak bilang ke Bu Nuri?” Pak Haris kelihatan nggak terima.

Beberapa dari kami memilih diam dan nelan ludah. Tapi Ulfa berani ngomong, “Bu Nuri nggak percaya dengan kami, Pak.” Tegasnya sambil berdiri.

Pak Haris kelihatan bingung. “Karena kalian semua ini nakal?”
Kami mengangguk. Sebenarnya, Bu Nuri itu baik. Walau dipanggil ke BK, kami nggak pernah dihukum fisik, palingan ngelap jendela. Udah itu aja. Bukan juga masa bodo, tapi Ibu Nuri emang nggak tegaan.

“Sabar ya,” kata Pak Haris kembali menjadi guru agama. Kami cuman menurunkan bahu “...kalian ada yang ikut extrakulikuler?” sambung Pak Haris nanya.

Kami saling tatap kanan kiri. Gue rasa nggak deh.

“Kalian ikut extrakulikuler aja!” teriak Pak Haris seperti ide yang bagus.

“Dan buat mereka bisa semena-mena gitu ke kami, Pak?” celetuk Bimo pintar.

“Nggak lah, kalo mereka berani ganggu kalian padahal sama-sama extrakulikuler, bisa kena marah pembina,”

Oh benar juga!

“Tapi, Pak, walau kami baru naik kelas 2, rata-rata yang ikut extrakulikuler itu udah dari kelas 1, kami ketinggalan dong,” kata Gia takut-takut.

“Nggak papa, lebih baik buat kalian, jadi lebih mudah bersosialisasi.”

Udah gue bilang, Pak Haris emang bijak.

***

Setelah makan di kantin, kami pada ngumpul depan kelas. Ala anak cowok pada umumnya, nyagilin yang lewat depan kelas, nawarin Evan ke siapapun, kedip mata, ya begitulah.

Tapi, gara-gara itu juga kami jadi tahu kalo nggak semua anak sekolah benci kami. Karena beberapa dari mereka senyum malu-malu pas digodain.

“Mau Bang Evan, Dek, lagi diskon,” kata Bimo yang buat seorang adek kelas memerah.

Apalagi Evan langsung senyum sok ganteng.

“Dasar, kera sakti!” kata gue ketawa sambil nendang angin.

Pas itu, Metta dan seorang cowok ngelewatin rombongan kami. Cowok anak IPA 5, keliatannya.

“Aku pergi, ya,” kata si cowok pas udah ngantar Metta ke depan kelas.

“Cieeee... Metta punya pacar,” kata kami kompak.

Cowoknya cuman senyum malu-malu trus negur kami semua sebelum pergi. Muka Metta merah dan masuk ke dalam kelas. Dia langsung cerita-cerita gitu ke Debora dan yang lain. Senang banget.

Pas ngumpul-ngumpul gitu, gue liat Nina lagi ngomong ke temannya sambil nunjuk proposal gitu, mereka ngomongnya sambil jalan ke arah OSIS. Bahkan, cuman gitu aja, gue ngerasa Nina cantik.

Tiba-tiba gue jadi senyum. Mematut sepatu merasa senang sendiri.

“Rang, ke depan, yuk,”

“Hah? Iya,” gue bahkan kehilangan konsentrasi karena Nina.

Jangan capek-capek, Nina.

***

Pas disuruh ngantar buku dengan Bu Tuti ke kelas 1, gue liat Nina dengan Samuel berdua di depan ruang OSIS. Mereka keliatan lagi ngomongin sesuatu dan berakhir dengan tawanya Nina. Samuel juga ketawa.

Gue nggak dengar mereka ngomongin apa, tapi keliatannya itu menyenangkan. Di posisi cukup jauh kayak gitu, Samuel keliatannya bisa liat gue. Dan tiba-tiba mukanya jadi kayak penjahat di film Batman.

Seolah-olah dia menang akan sesuatu. Dan gue benar-benar nggak nyangka saat tiba-tiba dia nyium pipi Nina. Dia ngelakuinnya buat bikin gue cemburu. Gue tahu. Dan dia berhasil.

Gue liat Nina kaget dan berimbas pada dirinya yang mematung. Bahkan setelah ngelakuin itu, Samuel bukan liat kondisi Nina yang kayak patung, Samuel malah liat ke gue sambil menyeringai.

Gue langsung pergi. Gue rasa seandainya apa yang dia lakuin ke Nina adalah pelecehan, Nina bisa ngurus itu sendiri. Dan kondisi sekolah sangat ramai buat bantu Nina kalo Samuel malah ngelakuin hal aneh lagi.

Tapi, kalo kalian mau tahu apa yang gue rasain. Gue marah. Sangat marah. Rasanya kayak kehilangan akal sehat dan mau meledak. Itu berimbas pada gue nggak ngikutin pelajaran PKN dan langsung cabut dari sekolah.

***