Bayangan
Sebuah bayangan menunggunya. Di bagian tergelap, hal itu menatapnya tajam. Ia takut akan bayangan itu. Ia pun berlari.
Seorang anak berumur 7 tahun duduk sembari memegangi lututnya di depan sebuah pintu. Matanya tertutup. Tubuhnya gemetar. Ia mencoba untuk tidak bersuara karena ia takut. Sesuatu ada di dalam kamarnya. Ia tahu itu.
Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya. Ia meloncat dan segera berbalik. Alangkah terkagetnya ia ketika melihat sang bunda sedang tersenyum kearahnya.
"Kenapa, kak?" ucapnya dengan nada yang lembut mencoba menenangkannya.
"Ta- Takut." Suara sang anak bergetar.
"Takut sama apa?"
"Sama bayangan."
"Bayangan apa?"
"Bayangan hantu."
"Mana bayangan hantunya?"
"Di dalem."
"Yuk, kita lihat bareng-bareng."
"Gak mau. Takut."
Pada akhirnya, setelah sang anak diyakinkan, ia pun menganggukan kepalanya. Ia melangkah masuk sembari memegang baju sang ibu dan bersembunyi di belakangnya. Perlahan, kaki mereka menelusuri setiap lantai yang ada di kamarnya. Tangan lembut sang ibu, sembari mengusap kepala sang anak, menekan sebuah tombol di tembok. Ruangan itu pun menjadi terang.
"Mana kak?"
Sang anak hanya diam. Ia senang bayangan itu telah pergi. Setidaknya ia pikir bayangan itu telah pergi.
"Mungkin bayangan yang kakak liat itu dari situ tuh."
Sang ibu pun menunjuk sebuah jendela kecil di atas pintu menuju ruang keluarga yang kebetulan cahayanya masuk ke dalam kamar itu.
"Jadi bayangan itu dari sini ya?" Si anak ikut menujuk jendela itu.
Sang ibu pun mengangguk. "Bayangan ada karena ada benda yang ngalangin cahaya. Bentuknya bisa jadi aneh-aneh deh."
Semenjak itu pun sang anak mengerti konsep dari bayangan.
***
Hari ini, aku kedatangan orang yang bernama Karnia. Ia adalah seorang wanita cantik. Begitu cantik hingga tidak bisa dideskripsikan. Rambutnya yang hitam legam dan lurus, matanya tidak terlalu sipit ataupun bulat, pupil berwarna coklat, bibir yang tipis, serta warna kulitnya yang putih langsat menjadi pemikat bagi seluruh pria. Aku berani berkata, siapapun suami dari wanita ini, ia adalah orang yang sangat beruntung.
Ia datang ke apartemenku. Kami duduk berdua di atas dua buah sofa tua yang saling berhadapan. Di antara kami terdapat sebuah meja bundar kecil tempatku menyimpan dua gelas the dan sebuah asbak. Sembari mengunyah permen karet, aku mendengar cerita tentang bagaimana ia hidup, bagaimana ia dibesarkan oleh orang tuanya, bagaimana ia bertemu dengan lelaki yang kelak akan menjadi suaminya –dan menghilang begitu saja.
Sembari menaruh jariku di depan mulut seolah sedang merokok, pikiranku mencerna setiap informasi yang diberikan oleh Karnia. Setelah lama mengurung diri, aku membutuhkan uang. Ia menawarkanku uang untuk mengikuti seseorang. Sudah jelas apa yang kulakukan. Menerima tawarannya.
"Siapa yang aku ikuti?" tanyaku.
"Seseorang yang kau kenal."
"Aku mengenal lumayan banyak orang."
"Billy."
Aku tertegun mendengar nama itu. Seseorang yang berasal dari masa laluku kembali muncul. Sepertinya begitulah hidup, selalu berputar pada suatu pola. Dengan adanya pola yang berulang, itu berarti semua hal sudah pernah terjadi. Jika semua hal sudah pernah terjadi, maka tak ada lagi hal yang original. Every story has been told, originality is dead, setidaknya itulah yang dikatakan era post-modern.
"Aku sudah hampir melupakan nama itu." Aku membuang permen karet yang ada di mulutku ke dalam asbak.
"Aku ingin kau mengikutinya. Aku mohon dengan sangat."
Aku pun mengangguk perlahan. Senyumnya pun mengembang. Rasa bahagia terpancar wajahnya. Setelah sepakat, kami pun berdiri. Ia memelukku dengan erat. Di satu sisi, aku merasakan tubuhnya menekan keras tubuhku dan memberikan sensasi tersendiri. Sebuah sensasi untuk berpelukan lebih lama dan melakukan hal yang lebih. Di sisi lain, aku merasakan beratnya tanggung jawab akan harapan yang ia berikan padaku. Sebuah harapan bahwa aku akan dapat menemukan kekasihnya.
Setelah beberapa lama, kami pun melepaskan pelukan itu. Ia tersenyum padaku seraya pamit dan pergi dari sini. Aku mengikutinya sampai pintu hanya untuk berada di dekatnya. Kemudian, ia memberikan nomor teleponnya.
"Aku akan menghubungimu setiap hari."
Setelah ia menghilang dari pandangan, aku menutup pintu dan kembali menenggelamkan tubuhku di atas sofa tua yang masih lumayan empuk. Aku pun mulai memikirkan masalah ini.
Ketika Billy kuliah, Karnia langsung jatuh hati pada Billy. Mereka berada di jurusan yang sama dan kelas yang sama, Sastra Inggris. Hampir setiap hari, Karnia menatap Billy dari kejauhan. Billy sendiri terlihat tak menyadari hal itu. Bukan karena penampilan berkacamata khas Billy, akan tetapi karena pemikiran Billy yang sangat luar biasa. Billy tak takut untuk berpendapat. Bukan hanya itu, tapi Billy juga memiliki dasar argumen yang kuat, tak hanya omong kosong. Ia bahkan pernah berseteru dengan sebuah dosen karena perbedaan pandangan tentang feminisme namun ia tetap mendapat nilai A untuk pelajaran dosen tersebut.
Suatu hari, untuk lebih dekat dengan Billy, Karnia mengikuti sebuah sesi diskusi perkuliahan dengannya. Karnia yang terlalu fokus dengan Billy membuat temannya bergosip. Lalu, salah satu mahasiswi yang centil berkata ketika diskusi sedang rehat, "Karnia ikut diskusi cuma buat deketin Billy."
Seluruh mata tertuju padanya. Beberapa mulai berbisik satu sama lain selagi menatap sinis Karnia. Wajahnya memerah. Tiba-tiba lengan seseorang merangkul pinggulnya.
"Gue yang minta dia ke sini."
Ia melihat ke sampingnya. Billy sedang merangkulnya. Wajahnya memerah. Namun, apa yang Billy lakukan membungkam semua gonjang-ganjing terhadap Karnia. Kemudian diskusi pun berlanjut hingga selesai.
Ketika para mahasiswa tersebut bubar, Billy membisikkan sesuatu pada Karnia.
"Kalau pengen ketemu, gue ada di kafe kopi. Gue ada setiap hari."
Penasaran dengan ucapannya, Karnia pun pergi ke kafe kopi yang agak jauh dari kampus. Karena tempatnya agak terpencil, kafe itu menjadi sepi. Mungkin, satu-satunya pengunjung adalah Billy.
Di kafe itu mereka berdua sering mengobrol bareng. Mereka berbicara mengenai kehidupan, keseharian, dan permasalahan yang dihadapi setiap hari. Mereka semakin dekat tiap hang out di kafe tersebut. Karnia yang semakin tak sabar membuat dirinya memegang paham matriarki dengan menjadi yang pertama mengungkapkan perasaan pada lawan jenisnya.
Billy menangguhkan, bukan menolak, permintaan itu. "Kau mencintaiku, begitu juga denganku. Tapi, aku tak ingin kau hanya memakan cinta," ucapnya.
"Aku tak membutuhkan uang, aku membutuhkan perasaanmu," balas Karnia.
"Tak ada satupun dari kita yang bekerja. Aku ingin kita untuk berjalan dengan kaki kita sendiri sebelum berjalan bergandengan tangan."
Karnia kecewa. Namun, karena kekecewaan itulah ia memegang teguh janji Billy.
Singkat cerita, Billy sudah bekerja. Karnia pun punya penghidupan melalui warung di dekat rumah orang tuanya. Karnia menagih janji Billy dan akhirnya ditepati. Mereka pun menikah.
Rumah tangga mereka begitu harmonis dan dikarunia satu orang anak. Billy memang bukan orang yang ekspresif tapi ia dapat membuat Karnia nyaman. Ia memberikan segalanya termasuk rumah. Bukan rumah yang besar tapi setidaknya bisa menampung sebuah keluarga kecil. Ia benar-benar perhatian pada Karnia.
Setidaknya hingga satu tahun. Tiga bulan setelah sang bayi lahir, ia menghilang. Sebelumnya, setelah sang bayi lahir, ia mulai lebih tertutup dari biasanya. Anehnya, Karnia terus mendapat kiriman uang. Ia percaya bahwa uang itu dikirim oleh Billy. Tapi tetap, bukan uang yang jadi masalah. Kalau hanya menghidupi dirinya dan sang anak, berjualan di warung juga sudah cukup. Masalahnya adalah ia butuh kasih sayang.
Karnia akhirnya mencari tolong. Ia mulai mencari alamat dan kontak orang-orang yang pernah menjadi temannya Billy. Ditemukannya lah aku.
Dari ceritanya ini aku menyimpulkan dua hal. Satu, Billy telah berubah. Dua, Billy kurang ajar.
Ketika mendengar cerita Karnia, aku bertanya apakah ia menggunakan pilihan kata sesuai dengan ujaran Billy. Karnia menjawab iya. Aku tak yakin jika Billy yang kukenal menggunakan kata yang lebih tegas (seperti "gue") dibanding kata yang lebih sopan (seperti "saya") atau kata yang lebih rendah (seperti "aku"). Seingatku pun ia lebih suka diam daripada mengeluarkan opininya. Kalau pun iya, ia lebih suka menuliskannya dibanding menyuarakannya. Aku pun ragu apabila aku mengenal Billy yang ia maksud.
Poin kedua, siapapun orang ini, kenal atau tidak, Billy adalah orang yang kurang ajar. Ia meninggalkan istri dengan anaknya begitu saja. Oke, uang yang ia kirimkan mungkin adalah rasa tanggung jawabnya. Tapi meninggalkan wanita secantik Karnia? Bodoh. Ia meninggalkan wanita cantik yang mencintainya tanpa alasan yang jelas. Ia meninggalkan bayi yang baru lahir yang masih butuh perhatian dari kedua orang tuanya. Bodoh.
Tapi, jika melihat sifatnya dari cerita Karnia, maka pasti ada alasan mengapa ia harus pergi meninggalkan mereka berdua.
Malam tiba. Setelah mandi, aku langsung berbaring di atas kasur dengan handuk menutupi bagian bawah tubuhku. Aku pun membaca buku The New York Trilogy oleh Paul Auster. Ketika aku menamatkan buku itu, terlintas sesuatu di pikiranku. Entah mengapa, aku merasa bahwa apa yang terjadi padaku mirip seperti apa yang terjadi pada buku itu. Seseorang dipanggil oleh seorang wanita untuk mengejar kekasihnya atau begitulah ceritanya.
Malam itu pun aku terlelap dengan buku di genggamanku. Esok paginya, aku terbangun dengan keadaan telanjang dan handukku yang sudah tergeletak di lantai. Satu hal yang paling aku cari adalah telepon. Aku pun memasukkan nomor Karnia dan meneleponnya.
"Bagaimana pagimu?"
"Tak ada yang menemani."
"Bagaimana dengan Billy?"
"Tidak ada apapun kecuali uang yang dikirimnya."
"Apa kau yakin itu uangnya?"
"Yakin."
Aku terpikirkan sesuatu.
"Apa aku harus pergi ke tempatmu atau mencari Billy terlebih dahulu?"
"Terserah padamu."
Aku pun memilih mendatangi Karnia untuk bertanya beberapa hal –dan sekedar bertemu dengannya.
Setelah berpakaian, aku segera pergi menuju rumahnya. Tentu aku menanyakan alamatnya. Aku tak ingin tersesat di jalan.
Aku sampai di rumahnya. Cukup nyaman meskipun tak besar. Aku disambut oleh senyum ramahnya yang membuatku terdiam selama beberapa detik. Setelah masuk diperkenalkannya aku kepada Quinn, seorang bayi laki-laki kecil yang imut.
Beberapa hal aku tanyakan padanya, penting dan tidak penting. Aku mengetahui beberapa hal penting dalam kasus ini darinya.
"Dia mengirimkan uang-uang itu melalui sebuah amplop yang selalu tiba-tiba ada di pagi hari."
"Masih ada yang kirim uang menggunakan amplop?"
"Ini buktinya."
"Tak ada tanda-tanda kalau amplop ini dikirim lewat pos."
"Apa mungkin dia sendiri yang mengirimkannya?"
Setelah berpikir sebentar, aku memiliki ide yang bagus untuk menemukannya –atau mungkin menangkapnya. Aku pun meminta izin untuk menginap di rumahnya. Karnia mengangguk. Entah mengapa aku senang. Namun, aku mencoba menghilangkan pikiran itu. Quinn ternyata cukup ampuh untuk mendistraksi pikiranku. Bermian dengannya sepanjang hari seperti bermain dengan anakku sendiri meskipun aku belum pernah punya anak.
Sore pun menjelang. Quinn yang kelelahan pun tidur. Rumah ini menyisakan diriku karena aku tak tahu ke mana Karnia pergi. Pada saat itu aku mencari toilet. Ketika aku menemukannya, tak sengaja kubuka dan melihat Karnia di dalamnya sedang mandi. Kami saling menatap mata satu sama lain –kecuali aku yang menatap seluruh tubuhnya. Meskipun pada realitanya hanya tiga detik kami bertatapan, namun teori relativitas Einstein memang menyebalkan. Rasanya bermenit-menit kami terdiam.
Tak lama kemudian aku sadar akan apa yang aku lihat. Aku segera meminta maaf dan hampir menutup pintu sebelum ia menahannya. Tiba-tiba tanganku ditariknya ke dalam dan kami bersenang-senang. Begitu kesepiannya dia hingga membutuhkan orang lain untuk melampiaskan hawa nafsunya. Mungkin inilah yang dirasakan para janda perang setelah perang dunia. Mereka menunggu sang suami begitu lama hanya untuk mendapatkan kabar duka dari kemiliteran. Kesepian. Kehilangan. Kesedihan. Semua menjadi satu.
Jujur, rasanya menyenangkan. Setelah selesai, ia mengajakku ke ranjang. Namun, menyadari Karnia masih memiliki suami, aku hanya membalas, "suamimu akan kutemukan dengan cepat."
Malam pun tiba. Setelah makan malam, Karnia pamit tidur terlebih dahulu. Awalnya dia takut kalau Quinn akan terbangun di tengah malam. Namun, kuyakinkan ia. Aku akan mengurus Quinn. Ajaibnya, malam itu Quinn tidur dengan sangat nyenyak.
Semua tertidur kecuali aku. Di sini, ruang keluarga miliki Karnia, aku menunggu. Sendirian bagai seekor cheetah menunggu mangsanya mendekat. Jika boleh jujur, hal ini menyebalkan. Hanya menunggu. Terus menunggu. Menunggu menjadi salah satu pekerjaan yang aku benci. Tak ada yang kulakukan.
Tapi, ketika semua ini berakhir, semuanya akan berakhir.
Jujur, aku menjadi bimbang ketika melihat apa yang terjadi jika aku berhasil menemukan Billy. Aku tak perlu lagi menunggu Billy untuk kembali. Tak ada lagi beban dari harapan Karnia untukku menemukan Billy. Tak ada lagi alasan untukku keluar dari apartemen. Tak ada lagi alasanku untuk mengontak Karnia. Tak ada lagi alasan untukku bertemu dengannya. Tak ada alasan lagi untukku datang ke rumahnya dan bertemu Quinn. Tak ada alasan lagi aku bersetubuh dengannya. Tak ada alasan lagi untukku menjadi bahagia.
Aku bingung. Apa dengan menemukan Billy, semuanya akan tuntas? Apakah aku harus membantu Karnia? Tapi rasanya, aku ingin Billy mati saja.
Tiba-tiba terdengar suara dari luar. Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Seseorang ada di luar. Aku mengintip lewat gorden. Seseorang dengan jaket berwarna hitam dan celana kanvas membawa sebuah amplop yang sama persis dengan amplop yang diterima oleh Karnia. Aku mencoba melihat wajahnya namun gagal karena tertutup oleh sebuah masker. Tapi, aku yakin kalau dia adalah Billy. Ku pikir inilah waktunya untuk menangkap Billy. Meskipun, ternyata bukan takdirku untuk menangkapnya hari ini.
Quinn tiba-tiba terbangun dan merengek dengan keras. Pria yang kupikir Billy itu pun menengok ke dalam rumah ini. Sepertinya, ia melihatku dan langsung berlari dengan cepat dan menghilang bersama dengan amplopnya. Aku pun segera berlari ke kamar Quinn dan menenangkannya. Untung saja ia mudah dibangunkan.
Keesokan harinya aku menceritakan apa yang terjadi tadi malam pada Karnia. Ia menangis. Jika itu memang Billy, untuk apa ia berlari? Tangis Karnia pun semakin menjadi-jadi hingga ia terjatuh ke dalam pelukanku. Air matanya membasahi pakaianku sembari ia mencurahkan isi hatinya.
Tiba-tiba datang seseorang di luar. Itu adalah tukang pos. Ia membawakan sebuah amplop berisi uang. Hal ini berarti Billy sudah tahu kalau polanya sudah terbongkar dan mulai mengirimkan uang lewat pos. Hal ini juga berarti orang yang kulihat tadi malam adalah Billy.
Kesal akan hal itu, aku meminta izin pada Karnia untuk mencari Billy pada hari itu. Ia mengangguk perlahan. Kemudian aku mengatakan padanya untuk tidak khawatir dan mengecup bibirnya yang halus. Aku segera pergi ke apartemenku untuk berganti pakaian kemudian jalan-jalan keliling kota.
Sungguh, pada awalnya aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kemudian terpikirkanlah sesuatu, jika memang dia Billy yang kukenal, maka meskipun wajahnya berubah, pasti aku akan mengenalnya. Kemudian, jika ia mengirimkan barang lewat pos, artinya ia harus pergi ke kantor pos. Maka, aku akan diam di kantor pos dan menunggu kedatangannya di sana. Aku akan tunggu seberapa lama pun itu.
Aku pergi ke satu-satunya kantor pos yang ada di kota ini. Aku duduk di sana. Terkadang berpura-pura melakukan sesuatu agar tak terlihat aneh jika diam saja. Waktu terus berputar. Malam pun tiba dan kantor pos sudah tutup, aku tak dapat menemukan Billy. Mungkin saja kali ini Billy tahu kalau aku akan membuntutinya. Mungkin juga ia bukan Billy yang kukenal. Namun, hal itu akan segera terjawab.
Aku pun sedang berjalan pulang ketika Karnia mengirimkan pesan padaku lewat telepon. "Kalau lelah, datang saja. Rumah ini terbuka untukmu."
Tanpa pikir panjang aku pun datang ke rumahnya. Bukan hanya untuk istirahat, melainkan untuk merasakan nikmat tubuhnya. Malam itu pun menjadi awal dari segalanya.
Pada pagi buta aku pergi ke apartemenku setelah memberikan goodbye kiss padanya. Kemudian berganti baju untuk kembali mengintai kantor pos. Pada pagi hari ketika aku sedang di kantor pos, ia mengirimkan pesan bahwa uangnya masih dikirim. Menyadari hal itu, aku sadar kalau ia lepas dari intaianku dan kemungkinan besar ia bukanlah Billy yang kukenal. Aku pun segera ke rumah Karnia untuk meminta foto Billy.
Alangkah terkagetnya aku ketika melihat kalau itu memang Billy yang kukenal. Artinya, memang aku yang gagal fokus dalam memperhatikan gerak-geriknya. Aku pun segera pergi ke kantor pos untuk mengintai Billy.
Kemudian, semua hal menjadi konstan. Pola hidupku berubah menjadi sesuatu yang terlalu jelas. Pagi hingga malam aku diam di kantor pos, malam hari pergi memuaskan nafsu dengan Karnia, pagi buta kembali ke apartemenku untuk beristirahat, paginya aku pergi ke kantor pos hingga malam, dan begitulah seterusnya. Semuanya menjadi kebutuhanku. Mulai dari membuang tenaga hingga memuaskan diri adalah kokain milikku.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan siklus itu terus berputar dengan pola yang sama. Tak berubah sama sekali. Perlahan, aku mulai mencoba hal-hal baru. Mabuk, berjudi, bertengkar dengan Karnia meskipun dia bukan istriku, dan bahkan mencari pekerjaan. Siklus itu mulai rusak. Semuanya menjadi kacau. Terutama ketika aku tahu kalau Billy takkan memunculkan dirinya lagi.
Saat itu aku akan pergi ke kantor pos. Kebetulan ada seorang tukang pos sedang mengirimkan amplop uang milik Karnia.
"Biar aku yang ambil."
Tanpa berbicara, si tukang pos itu pun memberikan amplop itu padaku. Angin berhebus kencang hingga amplop itu terselip dari tanganku. Ketika mencoba meraih amplop itu, tanganku mengenai topi yang dipakai tukang pos itu. Di situlah aku melihat Billy tepat di depan wajahku. Kami menatap satu sama lain. Padahal, saat itu aku bisa menangkapnya. Namun, aku malah membiarkannya pergi. Aku pada awalnya ingin memberitahu kejadian tersebut pada Karnia. Namun, aku menutup mulutku.
Hubunganku dengan Karnia yang awalnya seolah akan menjadi cerah malah berubah menjadi kegelapan. Tiada malam tanpa teriakan. Quinn terbangun dan kami saling menyalahkan. Tangisan Quinn semakin menjadi-jadi hingga pada suatu hari Karnia mengirimkan Quinn pada orang tuanya. Aneh. Sementara itu kami terus bertengkar. Aku tak ingin kalah dari wanita. Aku tampar, perkosa, bahkan menyiksanya hingga ia menangis darah. Kami takkan berhenti. Kami mulai saling membenci. Tapi, kami tak ingin pergi karena kami tahu kami membutuhkan satu sama lain –dengan cara yang positif ataupun negatif.
Kami terus menyalahkan satu sama lain hingga pada akhirnya aku meluapkan isi emosi yang paling dalam. Aku menyalahkan bukan Karnia ataupun aku tapi Billy.
Jika bukan karena Billy, Karnia takkan datang menemuiku. Karnia takkan mengenalku. Aku takkan bertemu Quinn.
Akhirnya, kami berteriak pada satu sama lain. Bukan untuk menyalahkan satu sama lain, tapi menyalahkan Billy. Malam itu kami benar-benar hilang kontrol ketika menyalahkan Billy. Kami mulai menatap mata satu sama lain dan bercumbu sembari meneriakkan umpatan pada Billy. Malam itulah yang menjadi titik balik dari semua kekacauan ini.
Ketika itu kami sudah lelah. Masing-masing terbaring di atas ranjang dengan telanjang. Kami bergenggaman tangan. Kami mulai berbicara tentang kebodohan yang kami buat dalam hubungan ini. Kami berbincan tentang bagaimana hubungan ini dimulai dari ketidaksengajaan, hawa nafsu, rasa kehilangan, rasa benci, dan sebagainya. Bahkan, kami menertawai saat dimana kami saling membenci. Konyol pikir kami. Rasa benci yang timbul karena terlalu cinta. Perlahan, obrolan kami pun lebih personal. Mulai dari kehidupan di keluarga hingga sebelum mereka bertemu. Perlahan, Karnia mulai tak memiliki beban untuk memikirkan Billy. Dengan begitu, beban yang kutanggung pun perlahan menghilang.
Muncullah pertanyaan ini, "Billy, ketika masih perhatian padaku, begitu romantis namun kaku. Seolah ada sesuatu yang menahannya dariku. Apakah ia pernah kehilangan seseorang sebelumnya?"
Aku pun menyadari sesuatu. Waktunya untuk menyelesaikan urusan yang kembali terbuka. Waktunya memberi alkohol dan plester pada bekas luka. Waktunya untuk benar-benar menutup panggung sandiwara ini.
Aku segera pamit darinya untuk pergi ke apartemenku. Di sana aku mencari enam lembar kertas yang merupakan curhatan Azwa yang ditambahkan sedikit detailnya oleh Billy dan interpretasiku sendiri. Kemudian, aku berlari menuju sebuah tempat yang harusnya sudah kuduga menjadi tempat persinggahan terakhirnya. Makam Azwa.
Benar saja. Ia sedang duduk menghadap batu nisan yang dibubuhi nama Azwa. Matanya kosong. Nafasnya berat. Ia tak bergeming. Menyadari keberadaanku, ia menoleh.
"Sampai juga."
"Jadi, kau mau kembali ke awal?"
"Makasih loh, udah nemenin istri gue."
"Sebentar lagi jadi milikku."
"Well," ia mengeluarkan sebuah handgun, "sepertinya."
"Jangan."
"Ingat cerita seorang anak kecil yang takut pada bayangan?"
Aku mengangguk.
"Bagaimana menurutmu cerita itu berakhir?"
"Anak itu tidak takut lagi dengan bayangan. Tamat."
"Gak bagi gue. Setelah anak itu mengetahui konsep bayangan, ia pun akhirnya tak takut pada bayangan lagi. Karena, bahkan kali ini dia tak memiliki bayangan. Ia mengerti bahwa konsep bayangan adalah karena adanya sesuatu yang menghalangi cahaya untuk lewat. Maka, salah satu cara untuk menghilangkan bayangan adalah dengan menghilangkan cahaya. Ia pun tak takut lagi pada bayangan karena yang ia lihat kali ini hanyalah gelap gulita. Ia tak lagi takut pada bayangan karena kini ia sudah menjadi bagian dari bayangan. Ia sudah menjadi kegelapan itu sendiri.
"Gue melihat diri gue berada di situasi yang sama seperti situasinya si anak itu. Gue terus berlari dalam kegelapan tanpa tahu kemana gue pergi. Semakin deket gue berlari menuju cahaya, semakin besar bayangan yang mengikuti gue. Dengan begitu hanya ada satu cara bagi gue yang gak bisa matiin cahaya tersebut, yaitu menghilangkan benda yang menghalangi cahaya tersebut."
"Jangan ngomong begitu. Aku yakin masih ada jalan lain."
"Gak ada." Billy mengarahkan handgun itu pada keningnya. "Bukannya lo pengen gue mati?"
"Karnia butuh dirimu."
"Karena kalian masih berada dalam bayang-bayang gue. Sekarang, waktunya untuk menghilangkan bayang-bayang itu."
Aku terdiam. Ia menarik pelatuknya. Pada akhirnya, cerita mereka berakhir. Billy dimakamkan tepat disebelah makan Azwa.
Kini cerita ini hanyalah tentang aku dan Karnia. Kami pun hidup tanpa bayang-bayang Billy. Cahaya, kini, menyinari kami.
Tubuhnya dikuburkan disebelah makam Azwa. Sementara itu, aku duduk diantara dua kuburan itu dan menyalakan api. Kemudian,aku melempar enam lembar kertas yang kupegang itu ke dalam api yang membara.Mereka sudah tiada. Mereka sudah menjadi sejarah dan sejarah adalah sejarah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top