Melody of Death, Melody of Hell
"Aniki, lihat ini. Sebuah kotak musik!" ucap Kanata sambil memperlihatkan sebuah kotak kecil kepada Haruka. Haruka yang sedang menikmati es krimnya menoleh, lalu menjawabnya dengan wajah yang antusias,
"Wah, benar! Ini bagus sekali."
"Nee aniki, ayo kita minta ayah belikan ini."
"Tapi bukankah ini mahal? Nanti kita dimarahi lagi."
"Benarkah?"
Kanata menatap sendu kotak musik itu, padahal ia sangat menginginkannya karena bagus. Tapi karena harganya yang mahal ia jadi harus menahan keinginannya tersebut. Haruka menepuk bahu Kanata dan bilang,
"Aku akan bicara pada ayah. Jangan khawatir, pasti ayah akan membelikannya untuk kita."
"Aniki ...."
Haruka tersenyum. Senyum yang hanya bisa Kanata rasakan saat mereka masih bersama-sama. Rasanya sudah cukup lama melihat kakaknya tersenyum seperti itu, tertawa dan bermain bersama. Namun sekarang kakaknya itu jadi lebih cuek dan tak peduli padanya. Kanata hanya berjalan sambil sesekali bersenandung, saat ia berjalan di depan toko barang antik, ia tak sengaja melihat sebuah kotak seperti kotak musik. Karena penasaran dirinya mencoba masuk ke toko tersebut untuk melihatnya dari dekat.
"Permisi ...." ucapnya sambil membuka pintu dan berjalan pelan.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" sambut si pelayan toko.
"Aku ingin melihat kotak musik ini."
"Oh ini ya. Ya, ini adalah kotak musik kuno. Ukurannya sangat besar, tapi suaranya tak kalah dengan kotak musik yang lain."
"Benarkah itu? Bolehkah aku mendengarnya?"
"Tentu saja."
Pelayan toko itu membuka kotak musiknya dan memasukkan sebuah kertas yang tampak seperti not untuk kotak musik itu. Setelah ditutup, tuas kotak itu diputar. Melodi pun seketika keluar, Kanata mendengarkannya dengan seksama. Awalnya ia merasa bahwa alunan musik itu sangat merdu di telinganya, tapi entah kenapa tiba-tiba kepalanya terasa berat. Kanata memijat pelipisnya sebentar, sedangkan si pelayan toko pun segera menghampirinya.
"Tuan tidak apa-apa?" tanyanya.
"Ya, tidak apa. Aku hanya sedikit pusing .... terima kasih sudah mengizinkanku untuk mendengarnya."
"Ya tuan. Jika tuan berkenan, bisa langsung saja datang ke toko kami."
"Iya, aku pasti akan datang ke toko ini. Aku permisi."
Dengan kepala yang semakin pusing, Kanata pun keluar dari toko tersebut dan melanjutkan perjalan pulangnya ke Sharehouse Epsiphi. Di tengah perjalanan ia sudah tak merasa pusing lagi, namun suasana di sekitarnya menjadi sangat berkabut dan sepi, seperti tak ada orang yang lalu lalang.
"Kenapa ada kabut di sini?" tanyanya.
Kakinya terus melangkah, nampak di depan matanya terlihat sesosok tubuh yang seperti bayangan hitam. Kanata mengucek matanya dan berusaha untuk mendekatinya. Namun saat di dekati, alunan musik itu kembali terdengar, musik yang ia dengar di toko antik itu lagi. Kepalanya mulai terasa pusing lagi, tapi kali ini sangat sakit. Kanata rasanya hampir ingin menangis karena ketakutannya itu, ia memejamkan matanya sambil terus berlari hingga tubuhnya menabrak sesuatu yang keras. Ya sebuah pintu sharehouse yang ia dobrak begitu saja membuat para keempat orang yang ada di dalam kaget.
"Kau kenapa Kanata?" tanya Shu yang heran melihat wajah ketakutannya.
"Hah ..... bukan apa-apa ....." jawabnya sambil menenangkan dirinya dan langsung masuk ke kamar.
Tadaomi yang keheranan juga sempat bertanya pada Shu, tapi Shu hanya mengendikkan bahunya tak peduli. Di dalam kamar Kanata malah menangis semakin jadi, ia tak tahu kenapa dirinya sangat takut dengan kotak musik itu, padahal tidak ada sesuatu yang menyeramkan darinya. Ia bingung dan memutuskan untuk menghindari atau bahkan sama sekali tidak melihat kotak musik itu.
***
Keesokan harinya ia kembali melewati toko antik itu. Kotak musik itu masih ada di sana, tampak sangat jelas sekali. Aura dari kotak musik itu seolah mengawasi Kanata yang hanya melihatnya dari luar jendela, tapi seketika itu juga Kanata memalingkan wajahnya dan pura-pura tak melihatnya.
"Aku tak melihatnya ..... aku tak melihatnya ...." gumamnya, sampai dia menabrak kakaknya yang berjalan di depannya.
"Ah, apa-apaan sih kau ini?! Jalan yang benar dong!" omelnya.
"M .... maafkan aku aniki ..... Oh iya, apa nanti aniki mau pulang bersamaku? Aku akan belikan es krim kesukaanmu." katanya untuk menghilangkan pikirannya tentang kotak musik itu. Tapi Haruka hanya mengacuhkannya saja hingga mereka sampai di sekolah.
Di dalam kelas Kanata langsung mendudukkan dirinya di meja dan menyembunyikan wajahnya di pergelangan tangannya. Teman-temannya bertanya kepadanya yang tingkahnya tidak seperti hari-hari yang lain, tapi Kanata hanya mengatakan bahwa ia sedang tidak enak saja, para temannya berusaha untuk menghibur dirinya namun Kanata memilih untuk menyendiri dulu saja. Beberapa anak perempuan yang duduk di sebelah Kanata tampak sedang berbincang-bincang hingga salah satu dari mereka handphonenya bergetar dan mengeluarkan musik yang sangat familiar di telinganya. Musik yang ia dengar dari kotak musik itu terdengar di telinganya lagi, sontak saja Kanata berteriak histeris sambil menunjuk-nunjuk handphone temannya, "MATIKAN! MATIKAN BUNYI ITU!"
"Eh kau kenapa Kana-chan? Ada apa denganmu?"
"CEPAT MATIKAN! AKU TIDAK MAU MENDENGARNYA!"
"Hei cepat matikan handphone mu." suruh teman yang satunya lagi, dan dia langsung mematikannya. Yang lain langsung mengecek kondisi Kanata yang setengah ketakutan itu, tapi Kanata memilih untuk pergi ke ruangan UKS saja agar tidak mengganggu yang lain.
"Apa Kana-chan takut dengan lagu yang ada di handphone ku tadi?" tanya gadis itu pada teman-temannya.
"Mungkin, tapi apa yang seram dari nada dering itu. Aneh sekali."
Para gadis mulai bergunjing tentang ketakutan Kanata yang aneh itu, hingga desas-desus itu menyebar dengan cepat sampai ke telinga Haruka. Dirinya yang biasanya tak peduli dengan sekitar malah penasaran tentang kejadian tadi pagi, ia mengintip ke ruang UKS dimana sang adik tengah berbaring saja di sana. Haruka masuk dan menghampiri Kanata yang tidur-tiduran itu.
"Aniki? Ada apa?"
"Apa yang kau lakukan? Apa kau berbuat sesuatu yang aneh?" tanyanya dengan tatapan yang dingin.
"Tidak kok. Kenapa bertanya begitu?"
"Tidak ada."
"Haha, kau aneh aniki. Apa kau mengkhawatirkan ku?" tanyanya lagi.
"Untuk apa aku mengkhawatirkanmu." katanya sambil meninggalkan adiknya itu.
Kanata hanya menghela napasnya berat, ia berusaha menutupi ketakutannya itu dengan sifat periangnya yang seperti biasa. "Aniki, aku ketakutan ..... musik itu benar-benar terasa mengerikan untukku." batinnya dalam hati.
***
Karena kondisi Kanata makin memburuk di UKS maka dia dipulangkan oleh pihak sekolah agar bisa beristirahat di rumah. Awalnya Haruka diminta untuk mengantarkannya pulang ke rumah, namun Kanata memilih untuk pulang sendiri dengan naik bus saja, ia tidak mau merepotkan kakaknya yang sedang sekolah. Haruka hanya meliriknya saja dan kembali tak peduli dengannya. Ia belajar seperti biasa sampai selesai di sore hari sekitar jam 15.30, sungguh sangat melelahkan karena ia harus mengikuti kegiatan ekskul setelah sekolah selesai.
Haruka melewati jalan yang sama yang biasa dilewati oleh Kanata. Dia melihat sebuah toko antik itu dan matanya melihat ke sebuah kotak musik yang sangat besar dan cantik, entah apa yang membuatnya penasaran hingga ia memasuki toko tersebut dan menghampiri kotak itu. Seperti biasa sang pelayan toko melayani tamunya yang penasaran itu, tapi kali ini si pelayan sambil memperhatikan wajah dari Haruka. Ia yang risih pun bertanya kepadanya, "Kenapa kau melihatku terus?"
"Wajah anda mirip sekali dengan orang yang kemarin datang ke sini."
"Seseorang? Apa dia berambut hijau biru dan poninya diikat?" tebaknya.
"Ya ya itu benar. Wajah anda mirip dengan orang itu. Dia tertarik dengan alat musik ini, kukira ia ingin membelinya tapi baru juga mendengarkan musik dari sini ia pergi karena katanya pusing. Apa kau mau membelinya? Barangkali nanti kau bisa menunjukkan ini padanya." kata pelayan itu panjang lebar.
Haruka berpikir sejenak dan kemudian mengangguk, "Tapi sepertinya ini mahal. Apa ada diskon untuk pelajar?"
"Oh sayangnya tidak ada tuan .... tapi aku akan memberikan harga yang murah padamu. Silahkan tulis saja alamatmu di sini, kami akan mengantarkannya ke rumahmu."
Seolah tengah dirasuki sesuatu, Haruka menuliskan alamat sharehousenya di sana dan memberikan sejumlah uangnya ke pelayan toko tersebut. Sang pelayan tampak sangat senang dan berkata bahwa ia akan segera mengirimkan benda itu besok pagi, Haruka pun pulang dengan hati yang sangat senang. Benar saja, pagi-pagi kotak musik tersebut sudah ada di depan sharehouse tanpa ada seorang pun yang mengirimkannya, bahkan suara mobil pengangkut dan orang-orang toko tak terdengar sama sekali. Jadi bagaimana bisa kotak musik itu ada di sini? Apa dia bergerak sendiri? Mana mungkin.
Kotak musik itu kemudian dipindahkan olehnya bersama dengan Tadaomi dan Reiji ke ruang tengah. Kanata yang baru saja bangun tidur pun menyapa mereka bertiga, ia terbangun karena suara berisik yang berasal dari bawah. Saat matanya benar-benar sudah terbuka, ia terkejut karena kotak itu sudah ada di rumahnya.
"Si .... siapa yang membeli kotak itu?" tanyanya.
"Aku. Memang kenapa?"
"Aniki kau membelinya?"
"Iya."
Wajah Kanata kembali pucat, ia tak percaya bahwa sang kakak akan membelinya. Ia langsung pergi ke arah dapur dan mencari sebuah palu, lalu kembali ke ruang itu dan hendak memukul benda mahal yang baru saja dibeli itu. Sontak Haruka berteriak kepadanya, Kanata hanya menjerit-jerit saja dan tetap berusaha menghancurkan kotak itu, tapi berhasil ditahan oleh Tadaomi dan Reiji. Haruka tak mengerti apa yang membuat adiknya itu sangat ketakutan dengan benda ini, saat ia sedang memeriksa kotak itu, sebuah lembaran not jatuh dari sela-sela kotak itu. Ia penasaran dan langsung memasukkannya saja ke dalam sana.
Tuas ia putar dan kotak itu mulai memainkan sebuah melodi yang sangat indah. Dari arah kamar, Kanata kembali berteriak lagi dan menyuruhnya untuk menghentikan melodi itu, tapi Haruka tak kunjung mematikannya. Kepalanya tiba-tiba ikut menjadi pusing dan seketika itu juga tubuhnya menjadi seperti dikendalikan oleh sesuatu, ia berjalan ke arah kamar Kanata dan langsung mencekik adiknya itu. Dua orang di dalam sana berusaha menghentikan tingkah Haruka yang sudah benar-benar kerasukan itu, tapi susah sekali karena badannya sangat keras. Kanata berusaha melepas cekikan itu dan memberikan palu,
"Ta .... daomi ..... senpai ..... hancur .... kan ..... kotak itu ...." katanya sambil menunjuk ke arah kotak musik itu.
Tadaomi langsung berlari ke kotak itu dan menghancurkannya.
BRAAK BRAAKK BRAAAAKK
Kotak itu pun hancur seketika, musik yang ada diputar pun langsung berhenti. Tadaomi mengambil kertas tersebut dan mulai membakarnya di atas kompor, kertas itu pun terbakar hingga menjadi abu. Kesadaran Haruka telah kembali seiring dengan rusaknya kotak musik itu, "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil memegangi kepalanya.
"Aniki, kamu sudah siuman!" ucap Kanata dengan senang.
"Maksudmu? Apanya yang siuman?" tanyanya.
"Ah ... eh ... bukan apa-apa kok."
Haruka keluar saja dari kamar itu dan terkejut melihat ruang tengah yang sangat berantakan dan sebuah kotak musik yang sudah hancur. Ia tak ingat jika dirinya pernah membeli kotak itu, Tadaomi berusaha untuk menceritakan tentang yang sebenarnya terjadi pada dirinya dan Kanata, tapi dia tak percaya dan tak peduli dengan apapun itu. Kotak yang rusak itu pun akhirnya dibuang di tempat pembuangan sampah dan akhirnya ikut dibakar bersama sampah-sampah yang lain. Dari arah pintu tempat sampah itu terlihat sebuah mobil hitam yang menampakkan sesosok anak berambut ungu itu sedang menatapnya bosan.
"Hah, rencanaku gagal. Tapi tak apalah, setidaknya sudah terjadi hal yang menarik pagi ini. Andai saja dia tidak mengacau, pasti aku bisa melihat wajahnya yang depresi saat ini."
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top