× Forget Me Not pt. 2 ×
Dari mana sebaiknya kilas balik kisah ini dimulai?
Saat mereka pertama kali bertemu hingga saling jatuh cinta?
Atau saat terjadi kecelakaan yang membuat kondisi Deyra jadi seperti saat ini?
Jhoan saja baru tahu, apa yang selama ini wanita itu sembunyikan darinya. Fakta bahwa sejak kecil, Deyra sering mendapatkan pukulan di kepala oleh sang ayah hingga harus merasakan sakitnya kehilangan ibu ditangan ayahnya sendiri yang kini sudah mendekam di penjara karena pembunuhan sadis yang dilakukannya, dirumah mereka, dengan Deyra jadi satu-satunya saksi.
Pantas saja, wanita itu sangat sulit di dekati, bahkan perlu waktu nyaris dua tahun untuknya hingga bisa mendapatkan hati Deyra seutuhnya, menjadikannya kekasih sebab wanita itu takut berada disebuah hubungan yang terikat, takut bergantung pada orang lain tapi Jhoan selalu dan selalu meyakinkannya sampai akhirnya Deyra luluh juga dan mau menerimanya.
"Sayang? Mana kuenya? Belum diambil?" tanya Jhoan heran saat melihat Deyra datang dengan tangan kosong. Waktu itu saat ulang tahun adiknya, Jhoan memintanya untuk mengambilkan kue ulang tahun adiknya itu karena jarak rumah Deyra dengan tokonya lumayan dekat, wanita itu bisa mengambilnya saat jalan kemari sementara dia menyiapkan dekorasi.
"Astaga! Aku lupa. Maaf Jhoan, aku ambil sekarang ya, mumpung taksinya masih—"
"Gak usah, kita ambil sama-sama saja. Semuanya sudah beres kok, tinggal kuenya saja yang kurang."
Deyra menyentuh lengan Jhoan, menatapnya penuh penyesalan. "Jhoan, maaf."
Jhoan menghela napas dan mengangguk. Tak apa, lagipula itu hanya hal sepele tapi seiring berjalannya waktu, Deyra mulai sering melupakan banyak hal diantara mereka. Salah satunya adalah hari annivnya mereka.
"Maaf Jhoan, aku melupakannya lagi. Padahal aku sudah menuliskannya di notebook, tapi aku lupa menyimpannya dimana. Maaf ya, kita beli hadiahnya sekarang saja, yuk? Kau mau apa, biar kubelikan."
"Ini bukan soal hadiah, Deyra. Tapi ini soal komitmen, kepercayaan. Kita sudah pacaran berapa lama sih? Aku tidak butuh hadiah, aku hanya ingin kau mengingat hari jadi kita. Hari dimana kita menjalin hubungan. Kenapa aku merasa hanya aku yang menjalin hubungan disini? Apa kau sama sekali tidak pernah memikirkanku? Tidak memikirkan perasaanku?"
"Jhoan ... Aku minta maaf."
Jhoan berdecak, pada akhirnya dia membawa Deyra yang sudah menangis itu ke dalam pelukannya. Rasanya sakit, dihari yang sudah lama dia nantikan ini, mereka malah bertengkar. Dia juga tidak mau seperti ini, tapi kekesalannya sudah memuncak karena sudah bukan sekali dua kali Deyra seperti ini tapi dia masih bisa memaklumi. Mungkin ada banyak hal yang wanita itu pikirkan, mungkin harinya sedang berat, namun semakin dipikirkan, dirinya malah semakin kesal karena di setiap kemungkinan itu, justru hanya tentang dirinya yang tidak Deyra ingat.
"Jhoan ... Maafin aku."
Jhoan menghela napas. "Berhenti minta maaf. Aku gak suka."
Menangkup wajahnya dan menyatukan kedua belah bibir mereka. Jhoan mengubah peluk, jadi cumbuan manis dengan dirinya yang memangku Deyra tanpa melepaskan tautan bibir mereka yang kian dalam. Malam itu mereka habiskan dengan bercinta, berharap kini mereka bisa lebih terhubung, bukan hanya secara fisik tapi juga batin karena sungguh, Jhoan begitu mencintainya.
Ya, awalnya, Jhoan memakluminya. Berpikir kalau Deyra akan berubah dan lebih memperhatikannya lagi, namun ternyata, dia salah. Sering berjalannya waktu, wanita itu malah lebih sering melupakannya.
Jhoan muak, rasanya seperti hanya dirinya yang mengingat semua hal tentang mereka sementara Deyra dengan mudah melupakannya hingga kata maaf tidak lagi dapat diterimanya. Lupa itu manusiawi, tapi dengan dilakukan terus menerus ditambah kata maaf yang sudah sering dia dengar berulang kali itu seolah sudah tidak berarti lagi. Dia benar-benar muak.
"... Jadi begitu, aku ingin kau lebih memahamiku. Kau mencintaiku, kan? Aku juga sama tapi ... jika terus seperti ini ... Aku takut tidak bisa bertahan karena aku merasa ... cintaku tak berbalas. Kau mengabaikanku." Jhoan sudah memikirkan sejak lama mengenai ini, namun ketika dia mendongak, dia malah mendapati Deyra yang tengah melamun.
"Hey, kau mendengarkanku tidak?"
"Hah? Apa?" Tuh kan benar. Selain pelupa, wanita itu juga sering tidak fokus. Jhoan menghela napas, dia sudah sampai pada batasnya.
"Kita break saja, ya? Sepertinya baik aku ataupun kamu, perlu waktu untuk memikirkan ulang tentang hubungan kita." Jhoan bangkit berdiri, lelaki itu hendak pergi, tapi Deyra menahannya, dia terlihat ketakutan.
"Tapi kenapa? Kau sudah tidak menyukaiku lagi?"
Bukan begitu, aku hanya lelah. "Menurutmu?"
"Maafkan aku."
Berhenti minta maaf, maafmu itu hanya membuatku terlihat seperti orang jahat padahal bukan itu yang kuinginkan. "Untuk?"
"Semuanya."
Jhoan menghela napas, sepertinya keputusannya sudah benar. "Ok, tapi keputusanku tidak berubah. I still love you, Deyra. Always, but i need time to think again, about our relationship couse ... You know ... I'm so tired. I—I can't understand you anymore. Sorry."
Genggaman tangannya terlepas, Deyra menunduk namun ketika menatapnya, wanita itu mengulas senyum lebar. "Baiklah! Aku mengerti." Tapi maniknya berkaca-kaca, terlihat sekali sedang menahan tangis. "Kau pasti muak ya denganku? Ah ... Aku sama sekali tidak peka. Ok, kita break, tapi sampai kapan? Ah, apa aku bisa memastikan kalau kita akan kembali? Sepertinya tidak ya?"
Tolong, berhenti tersenyum seperti itu. "Aku tidak tahu."
Deyra mengangguk-angguk. "Hah ... Apa jadinya aku kalau kau tidak kembali, tapi kau berhak mendapatkan yang terbaik jadi yeah ... Apa aku sudah bisa pulang sekarang?"
"Huh? Ah ya." Jhoan benar-benar tidak menyangka mereka akan berakhir seperti ini. "Perlu ku antar?" Rasanya dia seperti bajingan jika membiarkan wanita itu pulang sendiri.
Deyra menggeleng. "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri." Wanita itu kemudian pergi sementara Jhoan hanya berdiam di tempatnya dengan manik yang terus memperhatikannya sampai presensinya benar-benar menghilang dari penglihatannya.
Kalian salah mengira jika momen itu adalah momen terakhir kebersamaan mereka karena setelah break yang hanya sebulan lamanya, mereka kembali bersama namun itu tidak membuat kebiasaan buruk Deyra itu hilang, malah lebih parah hingga membuat Jhoan melewati batasnya. Untuk pertama kalinya, dihari itu, amarahnya memuncak sampai dia membentak Deyra di hadapan semua orang.
Andai saja.
Andai saja Deyra tidak melupakan hari ulangtahunnya—tidak, andai saja hari itu, dia tidak marah dan membiarkan wanita itu pergi sendiri, mungkin kecelakaan itu tidak akan menimpa Deyra dan membuat wanita itu jadi seperti saat ini.
"Melihat dari kondisinya saat ini, sepertinya dia sudah mengalami gejalanya sejak lama. Apa sebelumnya, dia sering melupakan sesuatu? Sering tidak fokus dan menanyakan hal yang sama berulang kali?" tanya sang dokter. Deyra sudah tidak memiliki wali, dan sebagai pacar, Jhoan merasa sangat bersalah karena baru menyadarinya sekarang.
"Ya, awalnya jarang, tapi semakin lama semakin sering." Jhoan memainkan jarinya, menekan-nekannya cukup kuat sampai berdarah, dia melakukannya tanpa sadar, bibirnya dia gigit. Kalut, cemas dan merasa bersalah jadi satu. "Apa ... Penyakitnya tidak bisa disembuhkan?"
"Sejauh ini ... Belum ada perkembangan tapi kita lihat saja nanti." Agaknya dokter itu menyadari ketakutan dalam diri Jhoan, maka lelaki yang lebih tua itu menepuk bahunya simpatik. "Semua itu bergantung padamu dan pada kita semua karena penyembuhannya tidak bisa hanya bergantung pada obat, pengaruh terbesarnya ada dilingkungan dan orang sekitarnya jadi ... Bertahanlah. Pacarmu itu pasti sembuh."
Jhoan menatap ke arah Deyra yang tengah tertidur sambil memeluk boneka kelinci pemberiannya. Teringat dulu saat dia menghabiskan banyak uang hanya untuk mendapatkan boneka itu dalam mesin pencapit, namun semua itu langsung terbayar lunas saat melihat senyum Deyra dan kehebohannya saat Jhoan berhasil mendapatkan boneka itu untuknya.
Tanpa sadar, maniknya mengeluarkan air mata. Memikirkan, kapan hal seperti itu bisa terulang kembali? Kapan dia bisa melihat senyum itu lagi tanpa melihat raut wajah kebingungan wanita itu yang tidak dapat mengenalinya?
Apalah jarak jika melihat wanita itu yang tidak dapat mengenalinya saja sudah jauh lebih menyakitkan dari apapun. Tak peduli sudah berapa kali dia memperkenalkan dirinya, pada akhirnya wanita itu akan tetap tidak mengenalinya.
Pertanyaan seperti,
"Siapa kau? Apa kita saling mengenal?"
Sudah menjadi rutinitas untuknya mengawali hari dan kedua sudut bibirnya juga otomatis naik, membentuk senyuman paling hangat seraya menjawab,
"Aku Jhoan, calon suamimu."
Sepertinya, ini karma untuknya.
Next gk?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top