[2]
Di dalam pelukannya aku merasa benar-benar kecil dan rapuh. Clark adalah pria dengan otot, kekuatan, dan dominasi. Dia dengan mudah dapat menghancurkanku, pemikiran itu menyelinap ke dalam kepalaku. Rasa terintimidasi tumbuh dengan ganas di dalam diriku. Itu tidak biasa terjadi padaku, aku selalu percaya kalau aku memegang kontrol bahkan saat aku memiliki sesi-ku. Tapi dengannya berbeda, aku tidak tahu apa yang membuatku merasa seperti itu dan itu membuat diriku tumbuh lebih tegang. Kegelisahan yang mendorong kulitku meremang di sekitarnya dan haus dengan sentuhannya.
"Kamu gemetar," gumamnya. Jari-jarinya menggali ke pinggulku dan dia menanam satu ciuman di sisi wajahku. "Apa kamu takut?"
"Aku tidak tahu. Aku belum pernah merasakan hal seperti ini, kehilangan kontrol dan bahkan aku tidak yakin apa yang bisa kamu lakukan padaku," ucupku.
Kurasa dia menangkap nada khawatirku, karena sekarang senyum lembut itu kembali ke bibirnya. Mereka tertarik ke atas dengan seringai puas yang membakar perutku menjadi tungku perapian. Api menjilat ganas, menyebar turun ke pusat getaranku. Aku merasakan cairanku membanjiriku. Dia membungkuk, membuat bibirnya sejajar dengan telingaku, napas hangat berembus darinya menggelitik belakang telingaku, dan saat dia bicara suaranya terlalu serak. "Aku suka kamu gemetar untukku, Pet."
Hantaman lain untukku. Dia bilang tidak ingin memperlakukanku seperti hewan peliharaan tapi dia sudah dua kali memanggilku itu. Apa itu artinya dia sungguh tidak akan menahan diri lagi? Apa aku serius ingin dia mengambil kontrol penuh dariku? Tubuhku bersorak dengan ya yang bersemangat tapi akal sehat yang selama ini membuatku menjadi gadis cerdas mendesis memperingatkanku. "Kita perlu membicarakan batasan sebelum memulai ini."
Dia menghentikan langkahnya. Berputar untuk melihat ke mataku, mata biru itu menghipnotis, aku dapat merasakan mereka menghisapku, seperti lubang hitam yang menarik segalanya ke arahnya. "Aku akan melakukan apa yang harus aku lakukan padamu dan jika itu melanggarmu, kamu akan memberi tahuku. Aku akan berhenti. Apa itu dimengerti?"
Nada yang dia gunakan, aku tidak tahu cara membantahnya. "Tapi kita harus memiliki batasan." Aku merengek, dia menatap lebih dalam. Ibu jari dan jari telunjuknya menjepit daguku, dia membungkuk menyapukan bibir yang lezat ke bibirku. Kontak ciuman pertama kami malam ini. Secepat itu datang, itu pergi meninggalkanku untuk mengharapkan lebih banyak. Aku membayangkan lidah kami menari, berdansa dengan malas untuk berbagi ciuman yang dalam. Aku mendengar diriku mendesah dalam permohonan yang membuatku terkejut untuk yang kesekian kalinya malam ini.
"Aku tidak akan menyakitimu jika itu yang kamu khawatirkan. Hanya katakan berhenti dan aku janji aku akan berhenti." Dia mengusap bibir bawahku dengan jempolnya. Matanya tumbuh lebih lapar, dan aku hanya mengangguk untuk persetujuan. Ini adalah tingkat kegilaan yang bahkan ekstrem menurut ukuranku. Tanpa batasan, sama sekali, dia bisa melakukan apa pun padaku. Dia bisa menggunakan tubuhku dengan cara apa pun yang dia inginkan. Tapi ... aku selalu bisa memintanya berhenti, aku mengingatkan diriku.
Dia kembali meletakkan telapak tangannya di punggungku yang kecil, mendorongku untuk terus berjalan. Kulitnya terasa kasar dan panas, membakar kulitku. Berapa lama aku dapat bertahan bersama pria ini? Dia seluruh fantasi seksualku. Kulit coklat yang kaya seperti madu yang menggiurkan, rambutnya yang gelap dipotong pendek tapi tidak cukup tipis hingga kamu masih dapat menyapukan jari-jarimu di antara helaian lembut itu. Bahunya lebar dengan lengan yang besar dan kuat. Meraka harus berhasil memelukku dengan baik, dan kemudian tubuhnya sendiri, aku membayangkan itu akan menjadi pahatan yang indah tapi saat ini itu masih tersembunyi dariku, di balik kaus birunya. Saat pandanganku bergerak lebih ke bawah, seseorang menarik lenganku. Memutarku untuk lepas dari tangan hangat Clark yang mulia.
"Aku mencarimu, Kitten!" Trevin melihat leherku dan menyeringai. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Aku hanya pernah bersamanya satu kali. Dan itu jelas bukan karena aku ingin tapi karena aku bodoh. Aku kalah taruhan dengannya dan itu konyol. Dia benar-benar keras dalam hal yang serius, dia di luar seleraku. Aku mungkin mendambakan cambuk yang menggigit kulitku atau klem puting yang akan membuat payudaraku keras tapi aku pergi jauh dari tongkat pemukul dan listrik, dan tentu saja pengekangan orgasme. Aku sungguh tidak pergi dengan yang terakhir.
"Tidak malam ini Mr. Trevin!" ucupku. Dia masih bertahan dengan seringainya.
"Satu adegan denganku, dan aku bersumpah tidak akan membuatmu kecewa." Dia menggosok dagunya, di sepanjang cambang-nya yang mulai tumbuh. Aku tahu dia tidak suka penolakan dan dia selalu tahu lebih baik dari pada menawariku. Karena aku pasti akan menolak tapi bahkan sebelum aku mengatakan apa pun lagi, lengan Clark kembali ke bahuku. Cengkeramannya seperti besi yang mengekang dengan kuat, menunjukkan klem dan dominasi. Matanya tidak lagi padaku tapi pada tangan Trevin yang masih menahan lengan bawahku.
"Aku yakin dia milikku malam ini." Kata-kata itu diucapkan dengan halus oleh Clark, tapi intensitasnya setajam pisau, getaran yang terjadi di dadanya memberi tahuku kalau dia tidak suka ini.
Trevin kembali melihat leherku lalu kembali ke mataku. "Kamu sudah diambil?" Aku mengangguk, dan seperti itu dia melepaskanku. "Lain kali pakai penandamu, Kitten." Dia pergi dan aku pikir sekarang dia akan mencari Rebecca. Mereka selalu cocok.
"Apa maksudnya dengan pakai penandamu?"
Aku beralih melihat Clark dan menunjuk leherku. "Tidak ada kekang di sini. Dia pikir aku belum diambil. Mungkin kamu harus memasang satu?"
Dia melihatku seolah kelaparan, seolah aku daging yang berdarah dan dia adalah singa gunung, siap menerkamku. "Apa kamu menginginkan hal semacam itu?"
"Didominasi? Yah, itu yang aku harapkan. Aku ingin seseorang mengambil kontrol atas tubuhku," jawabku. Dia mendesah panjang dan memberiku anggukan kepala yang ringan.
"Kamu ingin digunakan." Aku tersentak dengan kesimpulan yang dia ambil.
"Bukan. Tidak seperti itu," ucapku cepat, aku tidak ingin dia salah mengartikan maksudku.
"Jadi?"
"Aku ingin seseorang memutuskan apa yang terbaik untukku, menyenangkanku, meski awalnya dia harus mendorong batasku. Tugas seorang dominant adalah memastikan untuk memenuhi kebutuhan submissive-nya, dan dari itu dia akan mengambil kesenangan untuk darinya sendiri. Aku ingin menyerahkan diriku, membiarkan seseorang mengambil alih.
"Sedangkan digunakan, itu berarti aku tidak dihitung. Tidak penting apakah aku menikmatinya atau tidak. Apakah aku mendapatkan apa yang aku inginkan atau tidak. Itu hanya keuntungan di satu pihak. Aku digunakan. Itu tidak pernah menjadi gambaranku tentang hal ini"
Jika dia mengerti apa yang aku katakan, dia tidak menunjukkan reaksi. Kecuali sudut matanya yang sedikit berkedut. Kami berjalan lebih cepat melewati meja biliar yang di atasnya berbaring seorang wanita masih mengenakan set bikininya. Tangannya terikat di atas kepalanya. Kaki menyebar dengan spreader bar. Terbuka untuk dua pria yang sekarang membawa set vibrator. Clark memberikan lirikan sekilas pada gadis itu tapi tidak memperlambat langkahnya.
"Apa gadis itu menginginkan hal semacam itu?" tanya Clark tepat di saat gadis itu mulai mengerang. Aku menengok ke belakang, hanya untuk melihat satu pria mulai menyelipkan vibrator dan yang lain memotong bikini dan menghisap putingnya.
"Dia melakukannya," jawabku.
"Oleh dua orang pria?" Suaranya terdengar seperti iritasi, dia tidak memberiku pandangan matanya jadi aku tidak bisa menilai seperti apa reaksinya.
"Beberapa orang menikmati seks publik, dengan lebih dari satu orang. Jadi, ya, gadis itu menikmatinya. Tidak ada paksaan di sini." Aku melihat bagaimana rahangnya berubah menjadi lebih tegang, aku berani bersumpah kalau aku hampir mendengar giginya bergemerutuk.
"Bagaimana denganmu?" Suaranya kasar, mentah, jika aku tidak tahu lebih baik aku akan mengira dia akan memukulku. Kami akhirnya berhenti di salah satu pintu, kamar yang masih kosong. Dia tidak membukanya dan malah berbalik untuk melihatku, menuntut jawaban dariku. "Apakah kamu?"
"Aku tidak suka berbagi atau dibagi jadi aku tidak pernah pergi dengan threesome atau lebih. Aku tidak menikmati publik seks tapi aku pernah keluar dengan itu, di beberapa sesi-ku. Dari reaksimu aku menduga kamu tidak melihat daya tarik dari dua hal itu," ucapku. Dia tidak membantahku tapi juga tidak mengkonfirmasi kebenaran.
"Jadi kita di sini," ucapnya. Mengabaikanku, dia mendorong pintu terbuka. Dia menghirup napas dan matanya menjelajahi ruangan itu. Dia masih menahan pintu terbuka untukku, jadi aku melangkah masuk. Begitu aku di dalam dia mengikuti, menutup pintu di belakang kami dan menguncinya. Aku terjebak dengan pria ini.
Dia tidak bicara untuk beberapa menit yang panjang. Dia menyisir ruangan dengan mata birunya. Melihat ranjang queen size berlapis kulit merah, empat belenggu kulit hitam di setiap sudut. Tidak ada bantal, selimut atau apa pun. Itu dimaksudkan untuk di lihat, tidak ada penutup. Lemari di sisi kanan, itu akan berisi dildo, vibrator, klem puting, Tuhan tahu apa yang ada di dalam. Sisi kiri dipenuhi dengan gantungan berbagai macam cambuk dan flogger, beberapa paddle, dan tongkat.
"Jadi apa yang kamu rencanakan?" Aku memecah kesunyian. Jantungku berpacu bersama dengan setiap antisipasiku. Menunggu perintah pertama darinya.
Dia menghirup napas panjang yang lain dan menghadapiku. "Jatuhkan gaunmu kemudian berdiri menghadap pintu."
Sementara aku melakukan apa yang dia perintahkan, dia pergi ke lemari. Gaunku jatuh ke kakiku, aku melangkah keluar dari mereka dan menghadap ke pintu. Udara yang dingin membuat putingku mengeras di balik bustier dengan banyak ikatanku, aku juga mengembangkan lebih banyak kelembapan di antara kakiku. Suara denting yang dia buat memicu reaksi pada tubuhku, kulitku terasa lebih panas, dan aku mulai berkeringat. Itu mungkin sudah berjalan lima menit, dan aku bertanya-tanya apa yang dia lakukan? Apa yang dia siapkan? Apa yang menungguku?
Aku hampir tidak mendengar langkah kakinya saat dia berdiri di bekakangku. Jarinya menyentuh tengkukku, memijitnya dengan ibu jari dan jari telunjuknya, aku mengerang. Tuhan! Itu sangat enak. "Berbalik Pet!"
Aku berbalik, dan aku hampir kehilangan kewarasanku saat melihatnya. Dia sangat cantik. Kaus birunya sudah pergi meninggalkannya hanya dengan celana jeans yang menggantung rendah di pinggangnya. Aku melihat dadanya yang keras, turun ke pac di perutnya, berakhir dengan bentuk v mengagumkan yang menghilang di balik celananya. Pria ini benar-benar sebuah maha karya. Ukiran dari Adonis. Ohh, dan warna coklat kulitnya sungguh kaya, berbanding terbalik dengan kulitku yang putih pucat, aku harus iri dengan itu.
"Apa yang sebenarnya kau pakai Mare?" ucapnya, menyentakku dari mengagumi maha karya ototnya. Dia memindai tubuhku, tatapannya jatuh ke dadaku yang hampir tumpah, hanya ditutupi renda dan ikatan tali-tali yang menyilang. "Hadiah yang dibungkus dengan baik." Tatapannya hanya membuat putingku lebih keras, Tuhan! Aku ingin mulutnya yang panas menghisapku.
"Anda menyukainya, Sir?"
"Aku melakukannya. Merasa seperti bocah laki-laki dengan hadiah natal impiannya." Dia mendekat. "Taruh tanganmu di belakang kepalamu!"
Aku melakukannya, meletakkan kedua tanganku saling mengunci di belakang kepala. Posisi itu membuat payudaraku terangkat, seolah aku menawarkannya pada Clark. Sial! Mungkin aku memang menawarkannya.
"Sekarang aku akan membuka hadiahku," ucapnya malas dan ia mulai mengurai taliku, hingga simpul terakhir jatuh dan bustier terlepas dari tubuhku, membiarkan payudaraku tumpah dan melakukan kontak langsung dengan udara yang dingin. Putingku tumbuh lebih keras, seperti mengejekku "Mereka mengagumkan. Sangat cantik."
Jarinya berputar di sekitar putingku, menarik dan menggosok. Tuhan! Aku ingin bibirnya. Aku ingin mereka melakukan hal-hal jahat padaku, menghisap dan menggigit, membuatku mengerang dan hanyut ke dalam api gairah yang kini membalutku. Aku menginginkan pria ini dengan sangat buruk. Ada sesuatu tentangnya yang menarikku, sesuatu yang membuatku tidak bisa menolaknya. Kemudian bibirnya menemukan mulutku saat dia membungkuk, tangannya di pantatku, meremas dan membuat kami lebih dekat seolah dia ingin kami melebur menjadi satu. Payudaraku ditekan ke dadanya yang keras, otot-ototnya melentur di bawahku, merasakan panas dari kulitnya yang telanjang. Tuhan, dia pasti bukan manusia.
Saat ciuman itu berakhir aku kehabisan napasku, pikiranku kabur dengan hanya Clark yang ada di dalamnya. Perasaan itu membuatku takut, terasa asing, tapi bahkan itu tidak bisa membuatku ingin menghentikan hal ini.
"Berbalik dan taruh tanganmu di belakang punggungmu." Aku menurunkan tanganku, melatakannya di punggungku dan berbalik. Dia memiliki bergol kulit di sana menahan tanganku untuk tetap pada posisi. Lalu dia turun, menggeser jari-jarinya yang kasar mengikuti lekuk tubuhku membuatku kehilangan napas yang lain dan dia berakhir di pergelangan kakiku, memasang bergol kulit yang lain. Saat dia pindah untuk berdiri di depanku, aku dapat melihat apa yang dia pegang. "Apakah kamu milikku, Mere?"
Suaranya adalah gelap dan kasar, mereka akan mengirimku kelutut jika tangannya tidak menahan lenganku. Dia memiliki suara yang seksi dengan nuansa kearoganan yang hanya dimiliki seorang pemimpin. Orang yang selalu mendapatkan jawaban ya. Orang yang perintahnya adalah hukum.
"Jawab aku Mare!"
Aku menghisap napas dari mulutku yang terasa kering. "Aku milikmu, Sir."
"Kamu akan melakukan apa yang aku katakan tanpa pertanyaan?" tanyanya. Matanya konstan untuk tinggal di mataku, mata biru yang terus mengamuk, aku tidak pernah ingin berhenti untuk melihat mata itu.
"Yes, Sir."
Senyum yang mengerikan tumbuh di bibirnya yang cantik. Itu adalah senyum yang dimiliki predator saat mereka menangkap mangsa mereka. "Gadis baik."
Seperti itu dia memasang collar di leherku. Mencium pelipisku seolah aku gadis kecil yang manis. Kemudian aku hanya tenggelam dengan semua hal yang dia lakukan. Cara dia memperlakukanku itu tidak ada yang pernah seperti itu. Aku sudah menjadi submissive cukup lama tapi aku selalu tahu apa yang akan terjadi, aku selalu memiliki batasan, tapi dengan Clark itu tidak ada petunjuk. Semuanya seperti pertunjukan kembang api, aku tidak tahu mana yang akan meledak. Semuanya intens dan di saat yang sama praktis. Dia ingin aku tunduk dan aku hanya ingin melakukan itu.
Saat dia menyapu kakiku dari lantai dan mengangkatku, melemparkanku ke bahunya aku memekik, jelas terkejut dengan itu. Tanganku di punggungku, jadi aku tidak bisa berbuat apa pun selain berteriak. Dia tidak banyak bicara, hanya memukul pantatku yang sialan dia, karena itu panas. Dia menbawaku ke ranjang, praktis melemparkanku, membuat wajahku menekan kasur. Aku memiringkan kepalaku untuk mengambil napas dan bersiap untuk menggerutu saat dia menekan punggungku, mengangkangiku dari belakang yang secara efektif membuatku tidak bisa bergerak.
"Clark, pelan!" desisku. Dia sedikit mengangkat tubuhnya dan membungkuk, membawa mulutnya begitu dekat dengan telingaku.
"Apa itu menyakitimu?"
"Tidak tapi—"
"Kamu ingin aku mengambil kontrol?" Aku mengangguk. "Jadi biarkan aku mendorong batasmu."
Batasku. Tapi dia tidak tahu batasku. Demi Tuhan! Aku tidak bisa, kami perlu berbicara. Dia tidak tahu.
"Aku akan menutup matamu," ucapnya.
Ohh bukan itu! Aku harus melihat!
"Tidak," ucapku. Dia berhenti dari meraih penutup mata di nakas.
"Kenapa?"
Karena aku tidak pernah. Aku tidak akan tahu apa pun jika aku tidak melihat. Aku akan menjadi terlalu rentan.
"Karena aku tidak bisa."
Dia kembali menekanku, dadanya di punggungku, membuat jari-jariku dapat menyentuhnya. "Katakan kenapa, Mare?"
Kenapa dia tidak hanya menyerah dan biarkan aku? Aku ingin tetap melihat!
"Aku ... aku tidak pernah menutup mataku saat sesi. Itu terlalu rentan. Itu membuatku ... takut?"
Oh Tuhan! Apa aku sungguh takut? Apa aku takut kehilangan kontrol? Bukankah aku ingin berhenti untuk sesaat?
"Apa kamu pikir aku akan menyakitimu?" Dia bertanya dengan suara yang serak dan berat. Terlalu dekat dengan telingaku. Lalu jari-jarinya menyapu tengkukku saat dia mengumpulkan rambutku dan mengikat mereka.
"Tidak."
Setidaknya tidak secara sengaja karena dia tidak tahu batasku. Dia bisa melanggar. Itu dia, dia ingin membuatku berpikir kalau dia mungkin akan melewati batasku. Dia akan berhenti tapi aku akan terus berada dalam antisipasi, takut jika dia berada di zona tidak nyamanku. Aku secara penuh tidak memiliki kontrol, aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi sebelum dia melakukannya. Apa aku ingin itu?
"Jadi apa kita akan melakukan ini?" Dia kembali mengambil penutup mata. Masih menekanku ke kasur.
"Aku pikir, aku akan mencoba?"
"Gadis baik."
Setelah dua kata itu, mataku tertutup dan aku hanya bisa melihat hitam. Dia tidak membalikku tapi aku merasakan dia turun meninggalkan aku sendirian dengan tangan dan kaki terborgol, buta, dan terlalu terangsang. Aku mendengar suara kaki telanjangnya melangkah di lantai, suara loker-loker membuka dan menutup, dan kemudian suara gemerincing logam. Sial! Apa yang dia lakukan? Apa yang dia cari? Yang terpenting, apa yang akan dia lakukan padaku? Kemudian langkah kakinya mendekat. Kasur di dekatku terasa bergerak dan aku tahu dia kembali. Sesuatu yang dingin menyerempet kulitku membuatku tegang saat dia menekuk kakiku ke punggung.
"Tanang, Pet. Ini hanya karabiner." Lalu dia mengaitkan mereka. Borgol kakiku terhubung dengan borgol di tanganku yang dengan sempurna mengunciku, membuat punggungku terjebak dalam kondisi melengkung. Tidak dapat bergerak sama sekali. Sial! Tapi itu belum selesai. "Satu lagi." Dia mengaitkan karabiner lain ke collar di leherku menghubungkan mereka bersama yang memaksa kepalaku untuk mendongak sekarang. "Apakah ini sakit?"
Tidak tapi ini sangat tidak nyaman. Jika aku menarik kakiku, leherku akan tercekik dan jika sebaliknya, kakiku akan menekuk dengan sudut yang lebih tidak nyaman. Ini menjebakku dalam kondisi tetap. Ini bukan posisi favoritku tapi aku pernah memiliki ini sebelumnya.
"Tidak."
"Bagus. Karena aku akan meninggalkanmu untuk sementara waktu. Mengambil minum mungkin?"
Tidak. Dia tidak bisa pergi!
Aku merasakan beratnya meninggalkan ranjang dan aku panik. Dia tidak bisa meninggalkan aku dalam kondisi seperti ini! Buta. Terikat. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan kepalaku.
"Tolong jangan," ucapku. Tidak ada balasan. Demi Tuhan! Dia tidak bisa! "Kumohon! Apa pun tapi jangan tinggalkan aku sendirian."
Ya Tuhan! Dia mungkin sudah pergi. Tidak dia tidak bisa. Aku tidak ingin ditinggalkan. Jantungku berpacu dan aku hampir mendapatkan serangan panikku. Aku ingat ruangan itu. Gelap. Lemari. Kecil. Aku terjepit. Dia meninggalkan kami di dalam. Mengunci kami. Aku kelaparan. Aku banyak sekali menangis. Tidak ada yang datang.
"Tolong," ucapku lagi. Masih tidak ada balasan. "Kumohon jangan tinggalkan aku sendiri."
Tidak ada apa pun.
Jantungku menggedor dan aku terengah-engah saat aku mulai menangis. Aku tidak bisa. Siapa pun tolong aku! Aku tidak ingin ditinggalkan. Lagi.
"Mare?" ucapnya. Dia terdengar panik dan kemudian lengannya ada di sekitarku. Memelukku. Aku menangis lebih banyak. Ya Tuhan. Dia di sini. Aku tidak sendirian. Aku tidak ditinggalkan. Tidak ada lemari. Aku bersamanya. "Apa yang salah?"
Aku menggeleng. Ada terlalu banyak yang salah pada diriku. Aku seharusnya sempurna tapi aku tidak.
"Tolong bicara padaku, Mare!" ucapnya. Dia menangkup pipiku. Borgolku menyiksaku tapi aku tidak peduli. Aku tidak sendirian, itu yang penting.
"Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendirian."
Jarinya kusut di rambutku dan dia mencium kepalaku, melepas penutup mataku.
"Aku di sini. Aku tidak akan pergi."
"Oke," ucapku. Aku masih menangis dan terengah.
Lalu dengan lembut dia menurunkanku ke kasur. Melepas tiap borgol saat aku bebas dia hanya menarikku kembali ke atas pangkuannya, memelukku dan mengayunkan tubuhku untuk membuatku tenang.
Tuhan itu masih. Sudah sangat lama tapi aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Lemari itu. Dulu kami berdua tapi hanya aku yang berhasil selamat. Aku tidak ingin mengingat itu. Dia mati. Di dalam lemari bersamaku. Apa dia mati kehabisan napas? Kelaparan? Atau karena kanker-nya? Aku tidak tahu. Aku tidak pernah tahu. Bocah itu. Matanya yang biru, mata yang menangis bersamaku dalam tiga bulan neraka yang kami jalani.
Aku tidak bisa kembali ke sana. Karena itu aku butuh kontrolku. Kontrol membuatku tidak jatuh ke sana. Lemari. Bocah dengan mata biru. Dan dia. Dia? Apa dia masih mengingatku? Apa dia masih menginginkan aku? Apa dia tahu dia akan membunuh Mary? Apa dia tahu aku masih hidup? Dan apa dia tahu aku masih memimpikan dia?
Aku akan datang untukmu, Mare. Kamu yang aku mau bukan Mary.
Tidak! Dia tidak akan kembali. Dia meninggalkan aku dan membiarkan Mary mati. Aku sempurna. Dia bukan apa-apa.
"Mare? Kau baik-baik saja?" Suara Clark menyeretku kembali, dan membuatku merasa jauh lebih baik saat dia terus memelukku.
"Pada akhirnya selama aku tidak sendirian. Aku tidak bisa sendirian." Aku mengubur wajahku ke dadanya. Menangis sangat banyak. Untuk pertama kalinya aku kacau di depan seseorang, aku tidak menjadi sempurna.
***
Holla! Jadi akhirnya aku ga bisa nahan diri wkwk. Aku up lagi dan please tinggalkan komenter seberapa tertarik kalian dengan cerita ini. Makasih ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top