Arsip 1
Nama perempuan berambut hitam yang dikuncir kuda dengan sejumput bagian biru, berkaus lengan panjang, dan bercelana jins lusuh itu adalah Kalilan. Lebih suka dipanggil Kali sebab dia benci dipanggil Lilan. Lebih suka lagi bila orang-orang tidak perlu memanggil namanya, atau pun mengusiknya, seperti yang dialami Kali sepanjang perjalanannya kini.
Setelah berjalan kurang lebih lima ratus meter dari tempat pemberhentian angkot, Kali meletakkan koper kecilnya di pinggir ruas jalan kecil. Demi menghemat uang, daripada jasa taksi daring, dia lebih memilih pakai angkot meskipun dia jadi harus berjalan dari pinggir jalan raya ke bagian dalam komplek perumahan. Lagi pula jaraknya sudah tidak jauh, setidaknya begitu yang dia yakini. Kali pun mengecek peta elektronik pada layar ponsel: tinggal dua persimpangan lagi sebelum destinasinya. Ingatan Kali terhadap lokasi termasuk buruk. Ruas-ruas jalan yang sempit tidak menjadikan kondisinya lebih baik, padahal perempuan itu sudah pernah kemari sebelumnya, persis tiga hari yang lalu. Sekali kunjungan rupanya belum cukup bagi kapasitas memorinya.
Tetap, Kali tidak menyesal memilih rumah indekos yang cukup terpencil. Dia sering mengandalkan firasat dan yakin pilihannya merupakan lokasi paling tepat. Inilah tempat ternyaman.
Kamar baru. Lingkungan baru. Orang-orang baru—rekan satu indekos dan tetangga-tetangga—yang tidak akan Kali biarkan mengganggunya.
Dengan satu tangan menggenggam tali ransel dan tangan lain menyeret koper, Kali pun melanjutkan pencarian.
Ruas jalan pun menyempit setelah persimpangan keempat. Tiang listrik yang ditempeli poster iklan pengobatan alternatif semakin meyakinkan Kali bahwa dia tidak kesasar. Disusurinya ruas jalan tersebut hingga dia mencapai ujung buntu. Kemudian, di samping kiri ujung jalan, berseberangan dengan petak tanah terbengkalai, Kali menemukan destinasinya: sebuah rumah berlantai dua, bercat krem pucat, dan bergaya agak kuno. Bingkai-bingkai jendela berdaun klasik, terbuat dari kayu jati, melambai-lambai akibat angin kencang di penghujung sore; seolah menyambut dan membujuk perempuan itu untuk lekas mendekat.
Membuka pagar besi karatan yang melingkupi rumah tersebut, Kali pun memasuki sarang barunya.
***
Seminggu sebelum kepindahannya ke indekos, Kali menatap makanan yang tersaji di atas meja makan rumahnya dengan enggan. Ayam goreng lagi, keluhnya tanpa tersuarakan. Ini hari kelima dalam seminggu dia harus menyantap ayam goreng, padahal ini masih Jumat. Dia harap besok dan lusa tidak perlu bertemu sayap dan paha coklat asin lagi. Bukannya Kali tidak suka menu tersebut, dia bahkan pernah sangat menyukainya. Namun, hal-hal seperti inilah yang justru membuatnya muak: keprihatinan berlebihan dari orang-orang belakangan ini, termasuk dari keluarganya sendiri.
"Mah, besok jangan beli ayam goreng lagi, ya," pesan Kali akhirnya, ditujukan pada ibunya yang sedang menonton televisi.
Ibu Kali menyahut, tanpa mengalihkan pandangan dari layar persegi bertampilan warna-warni, "Iya, besok Mamah beli ayam kecap deh."
Kali menghela napas, bahkan tidak punya tenaga lagi untuk membantah. Ayam mana pun sama saja, keluhnya dalam diam. Lantas dia letakkan sepotong paha ayam ke atas gundukan nasi di piring, lalu membawa serta segelas kopi instan dingin menuju kamar tidur.
Pintu kamar tidurnya selalu Kali biarkan tertutup. Di dalam kamar, sambil memakan sarapan di atas kasur dan menyetel lagu lawas dari Panbers yang berjudul Hidup Terkekang, Kali memandang kosong ke langit-langit. Selalu begitu, setidaknya sejak tiga bulan terakhir, sejak dia menempati ruangan itu kembali.
Dari banyak hal yang membuat Kali muak, memandangi langit-langit bukan salah satunya. Banyak hal tersirat selagi dia menekuni lamunannya. Banyak benda tidak kasat mata yang seakan melintasi hamparan dinding putih pada langit-langit kamar.
Bintang-bintang mini, lolipop, robot, kucing, rumah pohon, rubah, lembar-lembar perkamen, daun-daun jingga—baik yang telah gugur atau masih terkait pada ranting pohon, ayunan ban bekas yang tergantung tali tambang, secangkir teh hangat, kelinci, jaket hijau.
Ugh, jaket hijau itu lagi!
Kepala Kali mendadak terasa pening lagi. Bekas luka pada ujung dahinya seakan berdenyut dan berkedut seiring serbuan memori memenuhi benaknya. Bersitan bahu jalan dan hamparan aspal berkilasan di sana, seolah memanggil-manggil Kali. Perempuan itu pun lekas mengalihkan perhatiannya pada sepiring nasi bertumpuk paha ayam di atas pangkuan, nyaris menangis.
Masih, dia belum pulih.
***
Empat hari sebelum kepindahannya, di depan suatu studio bioskop, Kali melirik jam tangan berulang kali. Masih belum datang, laki-laki itu. Sampai kapan Kali mau dibuat menunggu? Padahal, melalui pesan di ponsel, katanya si laki-laki akan segera tiba. Film yang empat tiketnya sudah Kali pesan dari satu jam lalu akan dimulai lima menit kemudian, tetapi belum ada tanda-tanda kemunculan si laki-laki, terlebih dua pemilik tiket lain yang sudah Kali prediksikan akan tiba terlambat.
Kali tidak suka terlambat masuk ke dalam studio bioskop. Bagi pengamat film yang cukup serius seperti dirinya, setiap menit begitu berharga.
Akhirnya, sebelum Kali sampai hati memasuki studio sendirian, satu dari tiga orang yang ditunggunya tiba.
Laki-laki yang ditunggu itu bersikap biasa saja—tidak tersenyum, pula tidak cemberut. Kali pun memasang tampang datar demi menyembunyikan kekesalannya. Mereka berdua lantas melontarkan beberapa kalimat pendek sambil menunggu kedatangan dua orang lain. "Gimana kabarnya," "Iya baik," "Lagi sibuk apa?" "Kuliah aja," serta, "Film-nya kayaknya seru." Sekadar basa-basi hambar. Alhasil, Kali hanya semakin ingin cepat-cepat memasuki studio bioskop supaya tidak perlu memperpanjang perbincangan kosong tersebut.
Lima menit yang terasa panjang itu pun berakhir ketika teman Kali—Nika—dan pacarnya tiba. Tetap Kali tidak memaparkan rasa sebalnya secara kentara, termasuk ketika mereka memasuki studio. Saat itu film sudah dimulai, dua sampai tiga menit durasi film kepalang Kali lewatkan sia-sia.
Sisa seratus sebelas menit di dalam ruang bioskop tidak membuat Kali merasa lebih baik. Ini adalah film adaptasi dari salah satu novel favoritnya. Orang-orang di dalam studio terlalu banyak dan tidak semua bisa mengapresiasi karya seni dengan baik. Bunyi ponsel, siluet kepala-kepala yang tidak kunjung berhenti bergerak, aroma serta bunyi kunyahan makanan, pasangan yang bermesraan di sebelah kanan Kali, dan teman laki-lakinya yang kerap berkomentar setiap beberapa adegan—yang hanya Kali respons dengan anggukan singkat—mewujud bukti.
Persetujuannya terhadap ajakan Nika langsung Kali sesali. Dia juga tidak merasa makin dekat dengan teman laki-laki yang—secara samar dan halus, tetapi Kali sadari—ingin Nika jodohkan dengannya.
Kali jauh lebih ingin berada di rumah sekarang juga: di dalam kamar tidur sambil memeluk boneka kucing favoritnya, menunggu film itu rilis di situs internet dan menontonnya seorang diri daripada harus menanggung segala kerisian di studio bioskop.
Bahkan, sepulangnya ke rumah, Kali tidak merasa lebih baik. Justru gelisah menghinggapi dirinya dan terus merundungnya hingga esok pagi. Rasanya dia tidak ingin mengerjakan apa pun selain menerawang ke arah langit-langit kamar.
Ada saat-saat di mana emosinya tidak dapat terkontrol. Contohnya, suatu sore ketika dia sedang mencuci tumpukan piring, mangkuk, gelas, dan sendok garpu kotor, Kali ikut menangis seiring aliran air dingin dari kran. Masih dia menangis di kamar setelahnya, bahkan mendengarkan koleksi lagu-lagu Vampir Akhir Pekan favoritnya tidak menolong.
Akhirnya, suatu malam, Kali tidak tahan lagi. Dia pun mengemukakan permintaan yang memenuhi kepalanya sejak beberapa minggu lalu, tetapi belum berani dia utarakan secara langsung pada ibu dan ayahnya. Kali bahkan sudah melakukan survey sendiri sejak seminggu silam, juga telah menetapkan pilihannya pada suatu rumah di ujung jalan buntu yang tak jauh dari kampus.
Begitu Kali sampaikan permintaannya, ibunya jelas menolak. Khawatir kalau-kalau kejadian yang tak diharapkan kembali terulang. Ayah Kali memasang ekspresi masam, meragukan biaya yang perlu dikeluarkan, tetapi berujung setuju. Alhasil, ibu Kali pun mengikuti persetujuan suaminya. Adik Kali, Dali, merespons keputusan Kali tersebut dengan kecewa, tetapi tak mencoba menghalangi sedikit pun.
Sebab alasan Kali cukup logis: dia ingin berkonsentrasi pada Tugas Akhir serta menyusun skripsi. Dia sudah terlambat lulus tahun ini; jelas orangtuanya tidak ingin dia lebih telat lagi. Menetap di rumah malah akan menghadiahi Kali lebih banyak distraksi. Jarak rumah indekos yang dekat dengan kampus pun akan memberinya lebih banyak efisiensi dalam bimbingan akademik. Orangtua Kali lantas memaklumi bahwa anak tengah mereka memang sedang membutuhkan ketenangan, terlebih dengan apa yang menimpa perempuan itu beberapa bulan belakangan.
Malam itu juga, Kali mulai mengepak pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam koper. Tekadnya sudah bulat untuk pindah ke indekos dan, dalam batin dia berharap, semoga tidak perlu kembali ke rumah ini lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top