PROLOGUE
"Apaan, sih. Cewek gak jelas! Ganjen banget. Gak bisa apa lihat aku bahagia sedikit? Kayaknya susah banget lihat orang seneng!" rutuk Raihan, emosi.
Mulutnya masih mengomel ria yang tertuju pada perempuan yang sepertinya mengganggu bagi Raihan. Dengan perasaan kesal, ia memasuki rumah dengan tatapan mata tajamnya. Sang Bunda yang sedang terduduk santai di ruang tengah memalingkan wajahnya, melihat siapakah orang yang dengan tanpa rasa bersalahnya menutup pintu dengan kencang.
"Ya ampun, Sayang. Kamu kenapa marah-marah begitu, sih? Sini Bunda lihat wajah kamu," ucap Bunda pada Raihan.
Dengan tampang dinginnya Raihan menghampiri bundanya yang sudah berdiri di balik sofa tempat dia duduk tadi.
"Kamu berantem sama siapa, Rai? Kok bisa begini, sih? Lihat nih lebamnya, sudah biru gini. Kan Bunda sudah bilang, jangan cari perkara sama anak-anak bandel itu. Kamu gak dengar kata Bunda, ya? Ini, nih, jadinya kalau kamu gak dengar apa yang Bunda bilang. Makannya, jangan bandel jadi anak."
Raihan berdecak sebal di depan wajah bundanya. Dengan ekspresi kesal, Sang Bunda mengapit kedua pipi Raihan dengan satu tangannya.
"Kamu itu, Bunda bilangin malah ngeyel. Bunda kayak gini itu karena Bunda—"
"Peduli sama Raihan, sayang sama Raihan. Basi tahu, Bun. Rai juga tahu, gak perlu Bunda ulang terus. Rai kesel sama cewek gak berpendidikan itu, Bun. Bunda kan tahu Rai suka sama Lala. Masa cewek berengsek itu gangguin Rai mulu? Emang gak punya otak tuh cewek!" potong Raihan dengan kesalnya.
Sang Bunda melepas tangannya dan memukul punggung Raihan dengan kuat. "Mulut kamu, Rai! Gak boleh bilang begitu sama perempuan. Coba kalau nanti kamu punya anak, terus anak kamu di katain begitu sama anak orang. Gimana perasaan kamu? Bunda juga gak suka kalau ada orang yang bilang jelek-jelek tentang anak Bunda. Dia itu perempuan, Rai. Bunda sering bilang sama Raihan kalau kamu harus menghargai perempuan. Kamu gak dengar kata Bunda? Kamu mau—"
Raihan memotong ucapan bundanya lagi, lelaki itu berjalan melewati bundanya dan duduk di sofa dengan kesal.
"Rai ingat, Bun. Rai juga dengar jelas. Tapi, Rai gak suka kalau dia gangguin Rai. Bunda gak tahu kelakuan dia di sekolah sampai Rai bilang gini. Emangnya Bunda tahu apa tentang kisah cintai Rai? Emangnya Bunda pernah rasain dijauhi, dicuekin bahkan ditolak sama orang yang Bunda suka karena orang yang sering isengin Bunda? Bunda tahu apa coba!" seru Raihan, menaikan satu oktaf suaranya.
Hati Bunda Raihan tergores. Mendengar anaknya sendiri berteriak padanya sudah membuat dia sakit hati, apalagi pertanyaan yang terlontar oleh ucapan anaknya itu. Kenangan akan hal-hal yang tak pernah ingin ia kenang kembali muncul dalam permukaan. Rasa kesalnya seketika menghilang dan tenggelam dalam masa lalunya yang begitu kelam. Dengan langkah kecil, Bunda Raihan menghampiri anaknya dan duduk tepat di samping Raihan.
"Bunda memang enggak tahu apa yang terjadi di sekolah kamu, apalagi hubungan kamu sama perempuan itu. Tapi, Bunda tahu jelas rasanya di panggil kasar seperti itu, Rai. Mungkin perempuan itu gak menunjukkan ekspresi sedihnya, tapi Bunda tahu dia pasti terluka juga. Bunda memang enggak tahu apa yang dia lakukan ke kamu sampai kamu sekesal ini, Rai. Tapi, jangan sampai kamu lukain perasaan orang lain. Terutama perempuan, Rai. Bunda gak akan pernah capek ngingetin kamu kalau perempuan itu berharga, seburuk apapun dia."
A/N
Heyo my beloved readers.
Gue balik lagi dengan cerita baru, ada yang rindu kah?
Sorry nih gue jemur baju lagi, habis yang kemarin itu kyk stuck aja idenya disana. Gue jga lagi garap cerita di Noveltoon sama GoodNovel.
Ah, hampir aja lupa. RANA ini hasil kolaborasi gue sama NurhafifahNurhafifa0
Jangan lupa juga mampir ke lapak dia, banyak karya-karyanya yang gue suka. Serbu sana.
As always,
Be wise, Darling.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top