Chap 3 : Him



"Kita gak seharusnya di sini, Kak. Kakak tahu kan seluruh murid gak boleh masuk ke gudang tanpa izin," ucap Audrifa ketakutan.

Argyan melepaskan cengkraman tangannya di pergelangan Audrifa. Dia berjalan ke arah meja-meja yang tersusun dengan rapi di tengah ruangan. Dengan cekatan dia menaiki meja tersebut dan duduk di atas bangku yang sengaja diletakan di atas meja.

Audrifa masih terdiam di depan pintu, ingin kembali keluar namun suara rendah Argyan membuat Audrifa tegang.

"Kemari."

Seolah terhipnotis, langkah Audrifa tergerak sedikit demi sedikit. Dirinya ingin sekali berbalik dan berlari, kabur dari sosok yang terus menghantuinya selama ini. Namun, badannya tak bisa mengindahkan keinginan Audrifa.

"Kan sudah kubilang ...," Argyan lagi-lagi menarik dasi Audrifa, kaki kecil Audrifa terjinjit melirik ke arah samping Argyan. Dengan cepatnya tangan dia beralih dari dasi menuju dagu gadis itu. Membuat Audrifa menatap sepenuhnya pada Argyan. Pria itu tersenyum miring.

"... Ar. Dua huruf itu gak bakal buat kamu mati, kok. Kecuali kamu memang ingin."

Badan Audrifa merinding setelah mendengar perkataan Argyan. Wajah pria itu terus mengikis jarak diantara keduanya. Kepala Argyan sudah memiring, hampir mengikis jarak keduanya. Hidung argyan pun sudah menyentuh pipi Audrifa namun dengan kencangnya Audrifa mendorong dada Argyan dan mundur menjauh. Cukup jauh hingga ia bisa meraih kenop pintu.

"Mau ke mana kamu?" tanya Argyan, marah.

Badan Audrifa kaku, dia tidak bisa bergerak sedikitpun. Jantungnya berdebar dengan cepat saat mendengar Argyan turun dari tempatnya duduk tadi. Langkah demi langkah yang terdengar dari balik punggung gadis itu kian detik kian mendekat. Begitu pula dengan debaran jantung Audrifa yang semakin tidak bisa terkontrol.

Yang bisa Audrifa lakukan hanyalah memejamkan mata dengan erat, berharap Argyan pergi dari ruangan ini secepatnya. Namun, gebrakan di pintu membuat gadis itu tersentak dan membuka matanya lebar.

Sebuah tangan milik Argyan berada di pintu, menahan agar kayu tersebut tidak terbuka karena dengan tidak sadar Audrifa mencoba untuk membuka pintu itu perlahan.

"Siapa yang suruh kamu keluar?"

Audrifa menyamping dan mundur menjauh dari Argyan. Pria itu tersenyum dengan kekehannya, menatap Audrifa seperti serigala yang menemukan dombanya.

"Harusnya kita gak di sini, Ka—Ar."

"Hm," deham panjang Argyan. Pria itu lagi-lagi tersenyum miring memperhatikan gadis yang sebegitu takut pada dirinya.

"Pak Indra bilang kalau kamu ditunggu di ruangannya, jam istirahat juga hampir selesai. A-aku juga masih ada tugas, jadi ...."

"Jadi apa?" tanya Argyan.

Pria itu lagi-lagi mendekati Audrifa. Dengan perlahan Audrifa memancing agar Argyan semakin mendekatinya dan bisa mengambil celah untuk kabur.

Nah!

Audrifa melihat celah, dengan cepat dia menyenggol Argyan dan meraih pintu. "Jadi aku harus ke kelas!" teriak Audrifa setelah keluar dari gudang.

Argyan sendiri menyandarkan tubuhnya di lemari di dekatnya, menatap kepergian Audrifa yang begitu terburu-buru. Memang tak pernah bosan pria ini menjahili adik kelasnya yang imut itu.

"Ha ... ah, harusnya aku tahan lebih lama tadi, tuh."

Argyan berjalan keluar ruangan menuju kantor Indra. Kasihan juga Audrifa, sudah datang jauh-jauh ke lorong kelas dua belas namun tidak menghasilkan apapun selain dijahili. Dan lagi pula, tidak ada alasan bagi Argyan untuk menolak perintah guru.

***

"Iya, baik, Pak. Terima kasih atas infonya," ujar Argyan lalu menutup pintu ruangan Indra.

"Eh, lho, Ar? Kok di sini? Bukannya tadi sama si ... siapa sih, cewekmu itu?" tanya Ryan yang berpapasan dengan Argyan.

"Audrifa?"
"Nah iya dia! Kau ngapain di sini, Ar? Emangnya udah selesai apa ngobrol-ngobrol sama ade kelas itu?"
"Kabur dia, emangnya aku nyeremin, ya, Yan?"

Ryan mengalungkan tangannya di pundak Argyan. Lalu tertawa dengan renyahnya. "Bukan gitu, Ar. Kau itu gimana, ya? Populer, orang yang kau deketin itu pasti gak nyaman. Cobalah kau umumkan hubungan kalian di publik, jangan sembunyi-sembunyi begini. Orang-orang nanti makin salah paham lagi."

"Apanya yang harus di umumin, Yan. Gak ada, kita temen aja. Satu organisasi juga, wajar dong kita ngobrol-ngobrol di jam istirahat?"

"Iya itu dia, goblok. Orang kan gak tahu kalau kalian itu cuman punya hubungan yang sebatas adek kelas sama kakak kelas doang. Kau itu cuman pinter di mata pelajaran, ya, Ar. Sisanya bego semua."

Argyan menepis tangan Ryan dan menepuk punggungnya dengan kencang. "Bukan bego, tapi kau aja yang terlalu mendalami hal-hal yang ndak penting, Yan."

"Aw! Sakit, lho, Ar. Keterlaluan kali kau ini sama temenmu."

Argyan tertawa dan mendorong temannya ke arah koridor lain. "Udah sana balik ke kelas. Jam istirahat udah habis, pasti mau bolos di kantin kan?" tukas Argyan dengan kekehannya lalu berjalan menuju koridor kantin.

"Lho, lho. Kau mau apa ke kantin? Curang kau, Ar!" seru Ryan, masih di tempatnya.

"Beli minum, udah duluan ke kelas sana," balas Argyan tanpa berbalik dan mengisyaratkan dengan tangannya untuk menyuruh Ryan pergi.

***

"Padahal cakepan gue dari dia. Iya, kan? Kalau di pikir-pikir badan lebih bagus gue, muka gue juga gak kalah cantik dari dia. Apa, sih, yang kurang dari gue?" tanya seorang perempuan dari balik pintu bilik kamar mandi.

Audrifa sudah selesai mengganti pakaiannya di dalam bilik kamar mandi dengan baju olahraga, namun dirinya enggan untuk keluar setelah mendengar namanya tersebutkan oleh perempuan-perempuan di depan pintunya.

"Mungkin kurang pinter kali, secara si Audrifa ini peringkat satu terus. Kau? Masuk 15 besar aja udah bersyukur kali aku, La."

Beberapa perempuan lainnya tertawa mendengar ucapan yang begitu savage dari perempuan tersebut. "Ah, anjing, lo. Gak bisa apa ikut puji gue juga? Lo pada juga tahu kan gue suka Argyan dari lama. Lah, dia? Baru aja muncul tahun kemarin, tapi udah tarik perhatian si Argyan aja."

"Yaudah, lah. Kau pepet aja terus si Ar ini, secara fisik kan kau emang lebih dewasa dari anak itu. Si Argyan ini juga udah dewasa, pasti luluh sama hal begituan."

"Kepala lo itu di simpen di mana, sih, Put? Lo gila nyuruh gue goda-goda Argyan?"

Audrifa masih terdiam tanpa berkata apapun di balik pintu, dia takut untuk keluar dan menatap para kakak kelas perempuan yang ia yakini lebih dari tiga orang.

"Ah, terserah kau lah! Aku kan cuman kasih pendapat, kalau tak suka ya gak usah dilakuin. Udah beres, kan? Cepat ke kelas kalau kau gak mau kena marah guru."

Beberapa saat kemudian keadaan kamar mandi begitu sunyi, Audrifa menghela napasnya lega. Dengan perlahan dia membuka pintu bilik kamar mandi dan melirik sekitar. Tidak ada siapapun kecuali dirinya. Dengan bergegas, Audrifa merapikan rambutnya lalu berlalu menuju kelasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top