Chap 2 : I hate this situation.
"Tanamkan pada dirimu sendiri bahwa rasa sakit bukanlah sebuah tanda bahwa kau lemah. Karena bagiku, setiap kesempatan itu berarti. Walau kau sedang terjatuh dalam jurang tanpa ujung sekalipun."
~Audrifa Lyra Arieska~
"Baik anak-anak, hari ini kita akan mempelajari Senyawa Hidrokarbon yang terdiri dari atom H atau bisa juga disebut hidrogen dan atom C yaitu karbon. Dari pengertian tersebut, ada yang ingin ditanyakan?" tanya pria jangkung itu pada anak-anak kelasnya.
Guru muda yang baru saja memulai magangnya di SMA Langit sudah membuat perhatian anak-anak tertuju padanya terutama siswi-siswi yang takjub akan wajah guru tersebut.
Serentak semua perempuan di kelas 11 MIPA 3 mengangkat tangannya kecuali Audrifa yang sibuk mencatat perkataan yang terucap dari gurunya.
"Wah, banyak sekali yang ingin bertanya. Bapak tunjuk saja, ya. Kalau begitu ... kamu!" seru Indra—Sang Guru—pada anak yang berada tepat di depannya.
Murid yang tertunjuk berdiri dari kursinya dan menyampirkan rambutnya ke belakang telinga. Dengan nada lemah lembut, murid tersebut melontarkan pertanyaan. "Akhem, Bapak masih single, kan, ya? Saya juga sama, sepertinya kita berjodoh, Pak. Gimana kalau kita—"
"Emangnya kelas ini ajang cari jodoh? Kalau kekurangan cowok, kenapa gak cari lewat aplikasi dating aja?" gumam Audrifa yang terdengar jelas oleh Indra.
"Hahaha, waduh pertanyaannya melenceng sekali dari pelajaran saya, ya. Kalau begitu saya tanya sama kamu saja," ucap Indra pada Audrifa.
Gadis itu melirik sekitar lalu menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk. "Saya, Pak?" tanya Audrifa yang dijawab oleh anggukan Indra.
"Kenapa saya?" jawab Audrifa dengan pertanyaan.
Membuat tatapan yang tadinya hanya beberapa, kini terfokus pada Audrifa dari seluruh penjuru kelas. Indra sendiri binggung menanggapi pertanyaan anak muridnya itu.
"Kalau tidak ada yang ingin kamu tanyakan, saya akan lanjutkan pelajaran ini."
"Kebetulan ada, Pak."
Seluruh tatapan kelas mengejek Audrifa karena terlalu bodoh untuk membaca suasana kelas. Beberapa dari mereka tertawa mengejek, ada juga yang berbisik-bisik atau bahkan memalingkan wajahnya berpura-pura tidak melihat keberadaan sosok Audrifa di kelas.
"Apakah Senyawa Hidrokarbon ini memiliki jenis?" lanjut Audrifa, bertanya.
Beberapa murid terdiam dan kembali memandang ke arah Indra, menunggu penjelasan selanjutnya dari sang guru. Sisanya masih menatap Audrifa dengan senyum mengejeknya, bahkan ada yang memberi isyarat kalau dia akan habis hari ini.
"Hm, good question!" seru Indra lalu berjalan ke arah papan tulis.
"Kita mulai dari rumusnya terlebih dahulu. Rumus Senyawa Hidrokarbon adalah CxHy. X dan Y tergantung dari golongan Hidrokarbon itu sendiri. Lalu, Senyawa Hidrokarbon terdiri dari dua golongan yaitu Hidrokarbon Alifatik dan Hidrokarbon Aromatik. Hidrokarbon Alifatik sendiri adalah Senyawa Hidrokarbon yang didasarkan pada rantai atom karbon tanpa adanya Cincin Benzene dan dapat bersifat jenuh maupun tak jenuh."
***
"Audrifa?" tanya Indra saat jam pelajarannya berakhir.
Gadis itu seketika tersentak dan menjatuhkan beberapa buku tulisnya di lantai. "Ah, iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Kelas Audrifa hampir kosong sepenuhnya, yang tinggal hanya anak-anak yang membawa bekal makan siang dari rumah atau orang yang mengambil kesempatan untuk tidur di jam istirahat seperti ini lalu sisanya pergi keluar kelas dengan kepentingannya masing-masing.
Indra merapikan bukunya serta beberapa berkas lalu menunggu Audrifa yang sedang merapikan buku-bukunya ke dalam tas.
"Kalau sudah selesai, saya mau minta tolong sama kamu. Tolong panggilkan Argyan Aqylan dari kelas 12 MIPA 1, kalau saya ada di kantor dan sampaikan juga kalau lebih dari jam istirahat, saya tidak ada di tempat."
"Iya, Pak."
Audrifa melanjutkan merapikan mejanya sebelum bersiap-siap untuk pergi ke kelas yang Indra ucapkan tadi. Namun, Indra teringat sesuatu dan membuat Audrifa kembali memandang pada gurunya lagi.
"Ah, saya lupa. Pertahankan nilai kamu, ya. Saya harap tahun depan saya bisa merekomendasikan kamu beberapa Universitas melalui jalur beasiswa. Kalau begitu, saya tunggu kehadiran Argyan di kantor."
Gadis itu mengangguk dan mengambil jaketnya, Indra sudah tidak lagi di kelas. Beberapa anak kelas juga menghiraukan keberadaan Audrifa dan gadis itu sudah terbiasa untuk melakukan hal apapun sendirian.
Namun, senyumnya tak pernah luput dari wajah cantik itu. Dia bahagia dan terharu karena masih ada orang yang mengharapkan sesuatu dari dirinya yang bahkan sudah mencap diri bahwa dia tidak bisa melalukan apapun selama ini.
***
"Walah ... siapa, nih, yang datang. Hahaha ... Ar! Pacarmu nyariin, nih."
Seorang perempuan menyenggol Audrifa yang sedang terdiam di depan kelas 12 MIPA 1, gadis itu belum menyampaikan kedatangannya namun sudah tersambut dengan kata-kata tajam dari kakak kelasnya ini.
"Hm? Kenapa?" jawab Argyan dari tempat duduknya seraya menengok ke arah pintu.
"Oalah, jadi jagoan kelas kita udah punya pacar? Pantek kali, ya, kau. Kenapa gak bilang-bilang? Cantik juga ceweknya, seleramu bagus, Ar. Mantep!" seru teman sebangku Argyan seyara mengacungkan jempol tepat di depan wajah Argyan.
Argyan terkekeh geli, "Enggak, kok, Yan. Aku belum ada niatan buat pacaran."
"Halah, tahu-tahu pacaran juga nanti."
"Hahaha, iya-iya. Lihat aja nanti."
Argyan Aqylan, pria kelas akhir yang sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan dirinya untuk ujian akhir nanti. Pria membanggakan yang selalu mendapatkan peringkat pertama dalam angkatannya. Tak jarang Argyan dijodohkan dengan adik kelas satu tingkatnya ini karena sama-sama menempati posisi pertama.
"Jadi kenapa, nih? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Argyan.
Sontak, Audrifa mundur beberapa langkah karena Argyan yang terus mengikis jarak. "A-anu, Kak. Tadi Pak Indra bilang kalau Kakak ditunggu di ruangannya."
Seketika Argyan menarik dasi Audrifa, membuat wajah gadis itu berada tepat di depan wajah Argyan. Dengan senyum yang begitu manis, Argyan membisikkan sesuatu pada gadis itu.
"Sudah aku bilang berkali-kali, panggil aku pakai nama, Cantik. Kamu ... enggak mau, kan, hal-hal yang paling kamu benci itu terjadi lagi?" ancam Argyan dengan intens.
Audrifa tersentak, memalingkan wajahnya yang sudah berkeringat dingin. Kakinya juga pegal karena terus berjinjit. Tangannya terulur meraih tangan Argyan yang sedang menarik dasinya. Mencoba untuk melepaskan cengkraman tersebut.
"Ah, maaf aku berlebihan. Cuman gimana, ya? Sebutan formal itu buat aku gak nyaman. Kalau kamu enggak suka panggil aku pakai nama, aku bisa membiasakan diri dengan panggilan yang kamu buat."
Argyan sudah melepas cengkramannya dan menepuk-nepuk pundak Audrifa, merapikan seragamnya. Juga membenarkan posisi dasi gadis itu yang miring.
Seketika itu juga, Audrifa menepis tangan Argyan dan menjauh. Dia menunduk seraya memegang ujung jaketnya yang sudah ia kenakan sesaat sebelum keluar dari kelas.
"Enggak, kok, Ar. Maaf aku salah panggil tadi," jawab Audrifa, takut.
"Kenapa? Aku gak bakal gigit kamu, kok. Jangan takut gitu, nanti orang malah kira aku mau ngapa-ngapain kamu lagi," canda Argyan yang mendapatkan tawaan dari teman sebangkunya yang sedang berjalan menghampiri mereka berdua.
Argyan sudah mengalungkan tangannya di pundak Audrifa sedangkan gadis itu melirik ke arah lain karena orang-orang mulai menatap keduanya dengan tajam. Terutama para perempuan kelas Argyan.
"Kan udah dibilang, bentar lagi juga kalian pacaran, kan?"
"Enggak ada, Yan. Kita temen, kok. Ya, kan?" tanya Argyan pada Audrifa.
Gadis itu menengok ke arah Argyan dan melirik lelaki di sebelahnya lalu mengangguk pelan.
"Ah kalian pada gak seru. Jangan buat orang lain makin salah paham, dong. Tuh, lihat muka-muka cewek kelas ini, Ar. Serem semua," ucap Ryan—Teman sebangku Argyan—lalu berbisik.
"Hati-hati, nanti cewekmu itu kena terkam mereka lagi," lanjutnya.
Argyan terkekeh, "Hahaha, enggak bakal. Udah, ah. Aku pamit pergi, kalau Bu Mira masuk terus nyariin, bilang aja ada urusan dulu di ruang guru."
"Ayo, kamu juga ikut!" ajak Argyan pada Audrifa.
"Tapi, Ar—"
"Udah ikut dulu aja."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top