Chap 1 : No one can't understand.
"Tidak ada yang bisa mengerti diriku kecuali diri ini sendiri. Jadi, jangan ikut campur akan setiap langkah yang diri ini jalani. Apa pun langkah itu, jika menurutku baik dan menyenangkan hati, maka akan aku lakukan."
~Audrifa Lyra Arieska~
Hidup akan terasa menyenangkan jika orang di sekitar kita mendukung dan begitu menyakitkan jika hal tersebut terjadi sebaliknya.
Hari-hari penuh semangat dan kebahagiaan hanya terisi jika orang yang kita senangi hidup mendampingi.
Sebuah senyum tulus tercipta ketika angan yang tak tergapai mulai tercapai. Tercipta pula sebuah luka yang tak pernah terbayangkan, sebagian dari hukum dunia.
Antara kebebasan dan kekangan, sebagian besar orang pasti memilih untuk menggapai kebebasan. Namun, apa bisa hal yang yang diinginkan terkabul pada setiap orang? Karena faktanya, tidak semua orang mendapatkan hal yang sama.
Audrifa Lyra Arieska, salah satu manusia tidak beruntung dalam hal kebebasan. Kekangan, aturan, perintah, paksaan, semua hal tersebut mengikatnya hingga sulit hanya untuk bernapas saja. Itulah hidup yang gadis itu jalani. Hidup penuh dengan senyum palsu dan luka.
"Entah kapan semua akan berakhir."
***
Kini gadis itu tengah berada di ruang keluarga, bersama dengan kedua orang tua yang sedang menyidanginya, karena tidak mengikuti latihan Paskibraka.
"Kerjaan kamu cuman menghabiskan uang orang tua!" tukas Nova—Ayahanda Audrifa—kesal.
"Apa mau kamu Audrifa?! Mau jadi apa kedepannya? Mau jadi orang yang enggak benar? Iya?" tanya Nova dengan nada rendah, namun penuh dengan penekanan.
Tidak ada jawaban dari Audrifa, gadis itu hanya menunduk tak berani menjawab. Sekalipun dirinya menjawab pertanyaan dari ayahnya, pria tua itu takkan pernah mengerti.
"Dua kali berturut-turut, lho, kamu absen latihan Paskibraka. Enggak malu apa sama anak tetangga? Setiap hari selalu rajin ikut organisasi dan pelajaran tambahan dari luar sekolah. Lihat diri kamu, apa yang kamu hasilkan dari absen? Apa bisa bantu Papa bayar sekolah kamu? Enggak, kan? Coba deh kamu pikir, memangnya cari uang itu gampang? Sampai kamu bisa seenaknya berlaku," lanjutnya.
Seperti kebiasaan orang tua lain, Nova membandingkan anak gadisnya dengan anak tetangga.
"Pah, Audrifa capek," ucap Audrifa pelan. Begitu pelannya hingga hampir tak terdengar oleh ayahnya.
"Capek?! Capek kenapa! Apa yang kamu lakukan, Audrifa? Enggak ada, kan? Papa enggak suruh kamu buat kerja! Papa enggak suruh kamu apa-apa kecuali patuhi ucapan Papa! Apa sebegitu susahnya kamu latihan Paskibraka sampai kamu bilang kamu capek?"
Suara Nova semakin meninggi, kepalanya pening dan sakit, rasanya ingin pecah saja. Berbicara dengan anak gadisnya sama saja berbicara dengan karet yang lembek. Entah kapan anak gadisnya ini bisa membuat dirinya senang dan mengikuti apa yang ia inginkan. Dia hanya ingin anaknya menjadi orang yang sukses tanpa hambatan untuk ke depannya.
Namun, Audrifa semakin menunduk. Hatinya panas, dia begitu lelah.
"Audrifa capek diatur terus, Pah! Kalian terlalu mengekang dan menyuruh Audrifa melakukan apa yang kalian inginkan!"
Rasanya ingin sekali Audrifa meneriaki kata-kata tersebut. Namun, ia tidak berani mengeluarkan keluhannya. Takut jika ia mengungkapkan isi hatinya dan Nova semakin marah kepadanya.
"Iya, Audrifa salah."
Setelah tiga kata yang dia ucapkan, dengan cepat Audrifa berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Audrifa Lyra Arieska!" teriak Nova, memanggil anaknya namun tak dijawab oleh Audrifa.
Saturnus—Ibu Audrifa—yang sedari tadi diam menyimak percakapan antara anak tiri dan suaminya yang kini mulai angkat suara. "Sudahlah, Mas."
***
Duduk di balkon kamar di tengah malam sudah menjadi rutinitas bagi Audrifa. Gadis itu selalu memandangi langit Yogyakarta, mengamati bintang-bintang di atas sana.
Bintang di langit tidak terlihat banyak lagi seperti dulu. Audrifa ingat betul saat dirinya masih menginjak bangku satu sekolah dasar, bintang masih benar-benar terhampar di langit. Namun sekarang, tidak lagi sama. Efek dari polusi udara membuat bintang tak terlihat lagi.
Untuk Audrifa, tetaplah semangat, jangan bersedih. Percayalah, suatu saat nanti semua akan berakhir.
Dua kalimat tersebut tertulis di buku abu-abu kesayangannya. Buku yang selalu menemani dirinya di tengah malam yang kelam. Siap mendengarkan semua curhatan hatinya.
"Ha ... ah," hela napasnya.
Ia mengembuskan napasnya panjang lalu memejamkan mata. Mencoba untuk menghilangkan beban pikirannya walau sesaat. Sungguh, hari ini begitu melelahkan bagi Audrifa.
Sekarang sudah benar-benar tengah malam, Audrifa melirik dan memicingkan matanya. Menatap jam dinding yang jarum pendeknya sudah berada di angka 12.
"Kapan aku mendapatkan yang aku mau, Tuhan?" tanya Audrifa, bermonolog.
"Tidak ada satu orangpun yang benar-benar baik padaku. Di rumah hanya ada kekangan dari mereka berdua, melaksanakan apapun yang mereka mau tanpa bertanya pendapatku."
Audrifa memegang erat dadanya yang terasa sesak dan kembali memejamkan mata beberapa kali dan kembali membukanya. Sungguh, setiap kali Audrifa mengatakan keluhannya, hati dia selalu terasa sakit dan matanya berkaca-kaca, benar-benar menyakitkan.
Audrifa mulai terisak, menumpahkan semua lukanya dengan air mata. Hatinya malam ini benar-benar tidak kuat lagi menahan semua luka itu. Hatinya butuh air mata untuk menenangkan diri.
"Aku rindu Bunda, aku rindu suasana yang dulu," ucap Audrifa, terisak.
Menangis selama beberapa menit di tengah malam bukanlah masalah yang besar, kan? Tidak akan ada yang melihat atau mendengarkan selain Tuhan. Jadi, biarkan Audrifa menangis malam ini. Melampiaskan seluruh keluh kesalnya pada tangisan. Gadis itu terlalu lelah untuk mendenggarkan semua perintahan yang harus ia lakukan.
Merasa puas dengan tangisannya, Audrifa masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu balkon. Gadis itu benar-benar letih hari ini, dirinya ingin beristirahat.
Audrifa membaringkan badannya menatap lekat langit-langit kamarnya lalu membisikkan sesuatu pada dirinya sendiri.
"Bersabarlah hatiku, suatu saat nanti luka yang kau tampung akan terganti menjadi sebuah kebahagiaan. Untuk jiwaku, tetaplah kuat walau dirimu sudah retak di dalam sana. Lalu, kumohon untuk sementara ini sembunyikan bahwa hati ini sedang tidak baik-baik saja. Tunjukkan pada semua orang bahwa aku baik-baik saja. Juga untuk pikiranku, maaf atas semua beban pikiran yang telah aku berikan padamu, beban pikiran yang membuatmu berdenyut nyeri. Percayalah, suatu saat nanti akan aku hilangkan semua beban pikiran itu."
"Sampai bertemu besok dunia."
Hati Audrifa sudah sedikit tenang sekarang, dengan perlahan gadis itu bisa memejamkan matanya dan pergi menuju alam mimpi yang indah. Sebuah mimpi yang ia idamkan menjadi kenyataan.
Selamat tidur untuk Audrifa dan selamat bertemu kembali di esok hari dengan luka dan beban yang lebih besar lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top