The Art of Hard Work - risingthought14
Cerita ini ditulis oleh penulis Wattpad Stars risingthought14
Silakan kunjungi profilnya untuk menemukan cerita menarik lainnya.
***
The Art of Hard Work
oleh
risingthought14
Baju gamis putih dengan bordiran sederhana tergeletak di kasurnya. Dea memandangi baju yang besok akan dikenakan olehnya untuk salat Ied dan juga silaturahmi ke tetangga. Kalau diingat lagi, waktu berlalu begitu cepat di bulan Ramadan ini. Selama bulan suci, Dea menyibukkan diri dengan ikut pesantren kilat di sekolah, dan masih sesekali ikut melihat adik-adik kelasnya latihan angklung. Dan yang paling penting, Dea juga berhasil melalui UTBK dengan segala godaannya kala menjalankan ibadah puasa. Setidaknya Dea tidak jatuh tertidur saat mengerjakan soal— seperti salah satu rekan seperjuangannya kemarin.
Dea menoleh karena suara ketukan di pintu kamarnya. Ketika daun pintu mengayun terbuka, muncul kakaknya mengintip. "Dek, lagi apa? Dipanggil Ibu tuh," ujarnya sambil menggerakkan dagunya.
"Oh, yaudah aku keluar bentar lagi," balas Dea, seraya merapikan baju barunya ke dalam lemari. Kakaknya mengangguk, menutup lagi pintu kamarnya.
Dea menghela napas panjang, kala jemarinya melebarkan scrunchy untuk mengikat rambut panjangnya. Melangkah keluar dari kamarnya, dan segera menuju dapur, membantu ibunya membuat ketupat untuk pasangan opor.
"Cuci tanganmu dulu, Dek," perintah ibunya begitu Dea sampai di mulut dapur. Gadis mungil itu mengikuti tanpa banyak omong. Setelahnya, mengambil kursi kecil untuk duduk di samping ember berisi beras yang sudah dibersihkan ibunya.
"Ngapain aja to kamu di kamar? Dari tadi Ibu panggilin nggak denger?"
Tidak mungkin jawab sedang melamun, kan?
Mau bagaimana lagi, memang dia tidak dengar. "Maaf, Bu. Dea lagi baca tadi, terus pake headset, jadi nggak denger," kilahnya, cari aman.
"Makanya kuping tuh jangan disumpelin terus to! Sekitarnya lagi sibuk, kamu sendiri yang cuek!" cerocos sang ibu, sambil mengaduk kuah opor di panci.
Panas rasanya telinga Dea mendengar ocehan ibunya. Lagi-lagi ia salah. Coba saja yang berbuat begini kakaknya, pasti tidak akan diperpanjang.
Baru saja dirutuki oleh Dea dalam hati, kakak laki-lakinya justru menyusul ke dapur, menenteng baskom kecil berisi potongan-potongan kentang.
"Bu, kentangnya udah nih, taro sini ya?" Suara rendah kakaknya mengalihkan atensi Ibu. Baskom hijau itu diletakkannya di samping wastafel.
Ibu melongok ke baskom, lantas tersenyum kecil. "Itu kegedean dong motongnya, Mas?"
"Hah? Terus, potong lagi nggak nih?" tanya Awan dengan tampang datar.
Ibunya menggeleng. "Udah nggak usah, biar Dea aja nanti yang potongin. Sekarang kamu belanja dulu ke supermarket, udah jam segini pasti antre loh, bentar lagi Ashar!"
Tuh kan? Kalau Mas Awan yang salah, pasti ada kesempatan berikutnya. Kalau main game, istilahnya itu, nyawanya banyak.
Awan pun pamit setelahnya, hendak membeli semua permintaan ibunya di supermarket depan jalan komplek rumah mereka. Tinggallah Dea bersama ibunya lagi. Tanpa bicara, dan segesit mungkin, meski kerongkongan terasa kering. Tumpukan ketupat yang sudah terisi pun disusun rapi olehnya di sebuah nampan. Menunggu dandangnya dipanaskan, Dea pun menyelesaikan pekerjaan acak amburadulnya Awan— menganiaya kentang-kentang malang di baskom.
Yah, kalau pun Dea protes, tetap saja pembelaannya adalah— Mas Awan kan laki-laki, wajar tidak pintar masak. Dan lain-lain, dan sebagainya. Mas Awan selalu benar, Dea selalu salah.
"Dea pengumuman SBMPTN minggu depan kan, nduk?" tanya Ibu, setelah hening cukup lama.
"Iya, Bu," balas Dea sekenanya.
"Kok lesu gitu? Anak Ibu pasti lulus deh ... Insya Allah!"
"Kalau enggak, gimana?" Dea menjawab sambil memandangi pucuk janur ketupat yang kini ia rendam di dandang ukuran besar.
"Kalo enggak? Yaudah, nggak gimana-gimana." Balas ibunya santai.
Dea membelalak, memiringkan kepalanya karena tidak paham dengan komentar ibunya sendiri. Wah, ada yang tidak beres rupanya ini.
"Ibu, sehat?" tanya anak bungsunya.
"Loh kenapa kok kamu nanya gitu?"
Dea buru-buru menggeleng. "Ya enggak sih, nggak papa deh." Ia hanya bisa menyimpan sendiri rasa penasaran yang menggerogoti batinnya. Semoga— semoga saja omongan Ibu benar adanya. Sedikit banyak ada kelegaan menyusup di balik rasa khawatirnya.
***
Dea mengikuti Awan untuk sungkem pada kedua orangtua mereka. Di hari kemenangan tahun ini, ada sesuatu yang lain. Biasanya, Dea tidak terlalu khawatir, asalkan ia masih masuk ranking tiga besar di kelas. Salam tempel otomatis didapat asalkan ia menjaga prestasinya. Namun tahun ini, tahun terakhir SMA-nya. Ia tidak bisa lagi berharap pada rankingnya untuk mendapat simpati orangtuanya. Tantangan yang lebih besar harus dijalani tahun ini.
Usai libur lebaran, ia harus mulai menyiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Satu hal yang masih sama persis, ia masih akan berada di balik bayang-bayang kakaknya. Kakaknya yang serba membanggakan itu. Si sulung yang serba hebat, mahasiswa perguruan tinggi negeri. IPK yang tidak bikin lemah jantung orangtua, prestasi organisasi cemerlang. Mantan ketua OSIS di SMA dulu. Bahkan Dea dengar-dengar kakaknya juga maju jadi bakal calon ketua BEM universitas. Entah apa pun nanti hasilnya, Ibu sudah bangga duluan karena Awan bisa saja jadi orang penting di kampusnya. Meski baru calon, tetap saja sudah hebat.
Lagi-lagi Dea merasa inferior. Walau sebenarnya, prestasinya sendiri tidak bisa dikecilkan. Toh dia juga ketua ekskul angklung di sekolah. Dia pernah dikirim keluar negeri bersama timnya untuk mengikuti konser budaya. Namun, untuk Ibu hal-hal berbau musik tidak terlalu penting.
Kalau usaha kerasnya selama ini ternyata masih memberinya jalan buntu untuk lolos ke PTN, sepertinya ia harus puas merasa jadi produk gagal orangtuanya. Padahal, kebahagiaan seharusnya tidak diukur dari seberapa tinggi nilai, atau seberapa bergengsi kampusmu. Hidup dengan passion bukankah jauh lebih menyenangkan? Hidup melakukan apa yang kita anggap mudah dilakukan, karena tanpa paksaan? Siapa yang tidak mau?
Sayangnya Dea tidak punya kebebasan itu. Karena batu sandungan besar berupa doktrin ibunya, bahwa ciri-ciri manusia yang akan sukses itu yang minimal sejalur dengan Awan, kakaknya. Standar Ibu begitu tinggi untuknya, karena Ibu nyaris terbutakan pada segudang prestasi Awan sejak kecil. Padahal Awan tidak sesempurna itu, Dea tahu persis. Awan hanya makhluk cerdik yang bisa menyembunyikan sisi busuknya dari kedua orangtua mereka.
Ketika tiba gilirannya untuk bersimpuh di kaki bapaknya, Dea pun menahan tangis saat pria itu membisikkan kata maaf, karena akhir-akhir ini jarang mengajaknya bicara. "Maaf ya, Nduk ... Bapak jarang ajak Adek ngobrol, Bapak takut ganggu kamu belajar. Bapak percaya Adek pasti udah usahain yang terbaik, hasilnya nanti pasrah sama Gusti Allah ya, Bapak cuma bisa bantu doa."
Dea mengangguk dengan hidung yang mulai memerah, "Iya, maafin Dea juga ya, Pak. Kalau ada salah-salah, suka ketus, Dea nggak sengaja ...."
Bapaknya mengelus puncak kepalanya dengan sayang. Kemudian membiarkannya bergeser untuk bertukar maaf dengan sang bunda. Hal yang paling Dea takuti adalah menangis di depan ibunya. Ia tidak ingin terlihat lemah.
Tanpa berani menatap mata tajam sang bunda, Dea mencium tangannya dan menggumamkan maaf terlebih dulu. "Bu, maafin Dea ya, kalau masih belum bisa memenuhi harapan Ibu."
"Dea sayang, maafin Ibu ya, kalo selama ini didikan Ibu keras. Semua biar Dea bisa kuliah di tempat yang bagus, supaya nanti kamu lebih mudah cari kerja. Ibu cuma pengin masa depanmu terjamin, Nduk ...."
Air mata pun mulai meleleh dari jendela hati sang gadis. Ia sendiri takut kalau hasil yang diterimanya nanti mengecewakan. Dengan susah payah menahan cegukan, gadis itu membalas, "Maafin Dea ya, Bu. Kalau misal nanti hasilnya nggak sesuai harapan Ibu ... Dea udah usahain semampunya, tapi gimana lagi kan?"
"Jangan minta maaf, selama Dea udah berusaha, semuanya udah impas. Kerja keras Dea selama ini pasti dibalas sama hasil yang setimpal, Insya Allah."
"Tapi kalo Dea nggak lolos, Ibu jangan marah ya?" Kali ini suaranya semakin serak, karena pertahannya ambruk juga membayangkan segala kerja kerasnya bisa saja terbuang percuma.
Di luar kebiasaan, ibunya yang jarang memeluknya itu, kali ini justru memeluknya erat. "Nggak marah, Ibu nggak akan marah. Makasih ya, Dea ... makasih udah jadi anak hebat. Makasih udah kerja keras, ya!"
Mendengar kalimat manis yang luar biasa langka dituturkan sang ibu, justru membuat gadis remaja itu semakin sesenggukan. Ibunya yang tak pernah memujinya itu kini berterima kasih padanya. Untuk pertama kalinya ia merasa, kerja kerasnya mungkin tidak perlu disesali. Kini orang yang paling ingin ia tantang dan penuhi ambisinya itu sudah meluruhkan benteng egonya, dan mengakui kerja keras anak bungsunya selama ini.
Sebaliknya, Dea justru berpikir ulang, apakah ia akan bekerja sekeras ini untuk belajar dan menyeimbangkan semua kegiatan ekstrakulikulernya, tanpa pecutan dari ibunya? Apakah ia akan terpacu tanpa ada contoh nyata seperti kakaknya?
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top