Suara yang Pudar - Milly_W

Cerita ini ditulis oleh penulis Wattpad Stars Milly_W
Silakan kunjungi profilenya untuk menemukan cerita menarik lainnya. 

***

Suara yang Pudar
oleh
Milly_W

"Mama menikah dengan seorang pemain bas, karena mereka sangat keren! Tidakkah kau berpikir demikian, Tirta?"

Aku tidak bisa mendengarnya lagi.

"Kakak, Putri tidak punya piano lagi?"

Waktunya tidak pas.

"Aku tidak akan menikah lagi, Sayang."

Suara itu ... hilang.

"Bro, kau ngapain?"

"Hm?"

"Kita berangkat, nih. Jadi ikut?"

"Kalau aku tidak ikut, siapa yang mau main bas dengan kalian?"

"Aku akan minta Niki main drum sambil main bas."

"Bunuh saja aku sekalian," sahut Niki yang sudah menyalakan mesin mobil.

Niki menjalankan mobil tua itu setelah memastikan kawan-kawannya masuk. Mobil tua milik pemuda tampan yang duduk di sebelah bangku kemudi. Itu adalah Daniel, vokalis di grup band mereka, The Simp.

"Kau membolos lagi?" tanya Billy, si gitaris yang duduk tepat di sebelah Ody, sang keyboardist di bangku tengah, sedangkan Tirta duduk sendirian di belakang.

Tirta tidak menjawab, hanya menaikkan matanya pada Billy lalu mengalihkannya lagi ke arah jendela.

"Sebentar lagi UNAS, kan?" lanjut Billy, tidak puas atas sikap acuh Tirta.

"Berhenti bikin cewek itu khawatir, Tir," tambah Ody.

"Iya, besok masuk," jawab Tirta, lebih terdengar seperti dengusan.

Tidak perlu ada yang menjelaskan bahwa itu adalah kebohongan lainnya. Dan pemuda-pemuda itu tidak ada yang berniat untuk repot-repot memarahi anggota termuda mereka untuk tidak membolos sekolah. Lagi. Karena mereka hampir selalu mendebatkan itu, dan berakhir dengan kebohongan Tirta. Lagipula, mereka masih membutuhkan Tirta untuk mengisi job manggung mereka yang belakangan semakin ramai.

Pemuda pendiam itu, Tirta, tidak mengatakan apa-apa lagi dan hanya bekerja, bermain bas seperti orang gila yang tidak tahu cara berhenti.

"Anak itu," bisik Daniel pada Niki, sebagai sesama pendiri band. "Dia kayak bermasalah gitu. Mainnya bagus. Daripada si bajingan Satria, tidak ada apa-apanya dibandingkan Tirta. Tapi, dia kok kayak labil banget gitu?"

Daniel bertanya kepada ketiga kawannya.

"Billy berasal dari desa yang sama dengan Tirta, kan? Pernah dengar sesuatu?" sahut Niki kemudian.

"Ya," jawab Billy. "Jadi, aku tahu cerita ini dari mulut ke mulut, cerita yang beredar di warga desa kami, ok? Aku tidak tahu kebenarannya." Billy menghela napas ketika melihat tekad di mata Daniel kemudian melanjutkan ceritanya, "Papanya Tirta meninggal pas dia kelas enam. Mamanya menikah lagi dan tinggal di kota. Sedangkan Tirta dan adiknya, Putri, ditinggal di kabupaten, di desa asalku, bareng nenek mereka. Dari yang aku dengar, mamanya Tirta tuh cakep gila, menikah lagi sama bapak-bapak kaya bukan perkara sulit buat wanita cantik sepertinya."

"Itu muka cakep Tirta juga diturunin dari Mamanya," komentar Ody. "Beruntung, gara-gara muka itu, penggemar kita juga bertambah pesat sejak dia masuk ke The Simp."

Daniel tidak mengatakan apa pun, kemudian. Billy tahu, Daniel sedang mengkhawatirkan anggota termuda di band mereka. Sayangnya, Billy pun tak punya hal lain yang bisa dikatakan.

***

"Kak, sudah pulang?"

"Ada apa?"

"Tadi Kak Nia telepon aku. Tanya kakak di mana."

"Oh."

Tirta melewati Putri begitu saja. Namun, Putri tidak terlihat seperti akan menyerah akan sikap dingin kakaknya itu.

"Kakak, kamu tidak bisa ikut UNAS kalau absensimu kurang. Tadi Kak Nia berpesan padaku kalau—"

"Aku akan kerja kalau tidak lulus. Kamu tidak perlu angkat telepon dia. Aku mau istirahat."

Tirta menutup pintu kamarnya di depan wajah Putri. Tidak dalam hentakan keras. Pintu itu ditutup dengan sangat pelan. Namun, itulah yang membuat Putri merasa lelah. Ia lelah dengan sikap kakaknya yang seakan tidak hidup dan tidak pula mati. Begitu dingin, mengambang, tidak beremosi.

"Kak! Kalau kamu marah pada Mama, harusnya kamu membuktikan kalau kamu bisa berdiri sendiri tanpa Mama! Kamu jangan merusak hidupmu sendiri seperti ini!"

"Marah?" suara Tirta terdengar hambar di balik pintu. "Tidak ada gunanya marah pada orang yang tidak merasa bersalah."

"Berhenti menjawabku dengan jawaban-jawaban pintar seperti itu!" Suara Putri berguncang sekarang. Matanya berkaca-kaca. Dia marah pada dirinya sendiri yang tidak memiliki otak cemerlang seperti kakaknya yang pintar dalam melakukan apa pun, termasuk mahir mempermainkan kata dengan bijaksana seperti itu. "Aku tidak ingin Kakak menyesal di kemudian hari karena Kakak ingin membuat Mama merasa bersalah karena sudah meninggalkan kita demi orang itu."

Tidak ada jawaban kali ini.

"Kak, aku cuma punya kamu dan nenek sekarang. Kakak jangan membuat kami mengkhawatirkanmu setiap hari seperti ini, oke?"

Diamnya Tirta membuat Putri menyerah dan akhirnya memutuskan untuk pergi dari depan pintu kamar sang kakak.

Tirta duduk bersandarkan bilik pintu. Matanya yang lentik mengamati bas milik ayahnya yang dipajang di dinding. Memori lama sang ayah yang mengajarkan seni bermusik, mengenalkannya pada benda ajaib itu; bas, permainan piano Putri dan nyanyian indah dari suara merdu ibunya. Seakan semakin lama memori itu berputar, semakin kuat tekanan di dadanya yang membuat Tirta hampir tak bisa bernapas.

"Dia tidak merasa bersalah setelah membuatmu berhenti bermain piano, Putri. Aku hanya ingin melihat dia menyesali perbuatannya. Aku hanya ingin ... dia meminta maaf padamu."

Suara itu luntur dalam gelapnya kamar. Seperti suara bas yang semakin lama semakin tidak bisa didengarnya lagi. Seakan nada rendah itu makin lama makin tenggelam dalam keheningan.

***

Ulang tahun Putri bertepatan dengan hari raya Idul Fitri tahun ini. Tirta sengaja menabung dari hasil kerjanya, untuk membelikan Putri sebuah piano. Meski itu hanya Yamaha DGX 203, Tirta mengosongkan kantongnya selama berbulan-bulan untuk mendapatkan alat musik itu. Dengan bantuan kawan-kawannya di The Simp, dia berhasil mendapatkan piano itu dengan harga di bawah harga pasaran dan sekaligus membawakannya ke rumah dengan menggunakan mobil Daniel. Teman-temannya juga membantu Tirta untuk memasangkan alat musik itu hingga Putri bisa memainkannya.

Gadis itu sangat bahagia dan berkali-kali memeluk sang kakak sambil berterima kasih atas hadiahnya yang luar biasa. Katanya hari itu adalah Idul Fitri terbaik yang pernah ia miliki. Dengan masakan sederhana yang dibuat sang nenek, mereka melewati hari itu dengan penuh keceriaan.

"Kak, ada tamu lagi. Tolong disambut."

Tirta mengangguk kecil dan berjalan ke arah pintu depan, sama sekali tidak menduga siapa yang akan ia temui di depan pintu rumah mereka. Di depan sana, seorang wanita ayu dengan rambut cokelat panjang terurai, wajah yang diingat dengan jelas oleh Tirta, berdiri di depan pintu dengan membawa koper di sebelah tangannya.

"Tirta," panggil wanita itu.

Sedangkan Tirta membeku di tempatnya berdiri. Matanya terarah pada perut wanita itu. Itu adalah ibunya. Dan wanita itu sedang hamil. Tirta tidak bisa mengatakan sesuatu, atau bahkan untuk sekadar bergerak. Ia hanya tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat itu.

"Mama!"

Suara Putri bahkan tidak bisa membuat Tirta lepas dari geming. Ia hanya diam menatap bagaimana Putri dan wanita cantik itu berpelukan, disusul oleh neneknya. Ketiga perempuan itu menangis haru dan saling berpelukan.

"Mama jangan pergi lagi, ya? Mama tinggal di sini bersama aku, nenek dan Kakak, ya?" pinta Putri di antara tangis harunya.

Sang ibu mengangguk. "Iya, Putri. Mama akan tinggal."

"Kenapa baru sekarang?"

Itulah satu kalimat yang berhasil dibuat Tirta diantara berjuta kalimat lainnya.

"Tirta ...."

"Mama sudah tidak bisa mengambil uang om itu? Akhirnya kembali ke sini?"

"Kakak!"

"Dia tidak bisa datang dan pergi seenaknya sendiri, Putri! Lihat apa yang sudah dia lakukan pada hidupmu! Dia bahkan tidak tahu malu dengan menampakkan wajahnya di depan kita!"

Kalimat itu mengagetkan semua orang, bahkan Tirta sendiri. Tepat setelah dia mengatakan itu, secepat itu pula Tirta bertanya-tanya pada dirinya, setan apa yang sudah menguasainya hingga bisa mengeluarkan kalimat-kalimat itu.

"Maafkan aku, Tirta, anakku."

Tirta menutup bibirnya dengan punggung tangan sebelum ia sekali lagi mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak bisa ditariknya lagi. Seketika itu juga, Tirta pergi, masuk kembali ke dalam rumah. Sedangkan sang nenek mencoba mencairkan suasana dengan mempersilakan anaknya untuk masuk ke dalam rumah dan beristirahat. Sayangnya, ketika mereka memasuki rumah, Tirta keluar dari kamar dengan membawa tas ransel besar di punggung.

"Aku pergi dulu, Nek," ucap Tirta sambil mengambil sebelah tangan renta wanita yang telah merawatnya selama beberapa tahun belakangan dan menciumnya. Kemudian mengusap kepala Putri. "Kakak pergi dulu."

"Kakak mau pergi ke mana?"

Tidak ada jawaban. Tidak ada yang bisa menghentikan kepergian Tirta sore itu, bahkan keempat sahabatnya. Sedangkan sang ibu, bahkan tidak bisa meneriakkan nama anak sulung yang dulu selalu ia bangga-banggakan itu. Wanita itu hanya bisa mengepalkan tangan dan menelan pahitnya kenyataan.

***

Sejak saat itu, Tirta tidak pernah pulang. Dia putus sekolah. Putri beberapa kali meminta maaf pada Nia, ketua OSIS yang melakukan segalanya agar Tirta bisa mengikuti UNAS tahun itu. Sayang, Tirta, sang pujaan hati sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya di sekolah. Tidak berarti Putri hilang kontak dengan kakaknya itu. Sosial media kakaknya masih aktif. Tirta sering menanyakan bagaimana kabar nenek dan dirinya. Meski Tirta tidak pernah menanyakan atau bahkan menyebut sang ibu, Putri cukup merasa beruntung, ia tidak kehilangan anggota keluarganya lagi.

Akun sosial media sang kakak sekarang sama sekali berganti. Tidak ada wajah tampan kakaknya atau foto langit yang biasa diunggah sang kakak dulu. Akun itu berganti menjadi akun resmi The Simp juga baru saja menandatangani kontrak dengan perusahaan rekaman di ibukota. Putri senang melihat kesuksesan yang diraih oleh kakaknya sejak dia masih berusia sangat muda. Namun, semua kesibukan itu membuat Putri urung niatnya untuk memberitahu hal penting yang kiranya sang kakak harus tahu.

Hingga suatu hari, seperti beberapa tahun belakangan, Tirta meminta maaf pada Putri karena Idul Fitri tahun ini pun, dia tidak bisa pulang ke desa. Balasan Putri, mengguncang dirinya.

"Kak, Nenek meninggal."

Tirta tidak bisa datang ke pemakaman karena dia, bersama dengan The Simp, sedang ada dalam rangkaian tur ke Singapura. Pemuda itu baru menunjukkan batang hidungnya tiga belas hari setelahnya. Tujuan pertama Tirta setelah sampai di desanya adalah makam sang nenek. Dia diam di sana, mengamati nisan dengan nama sang nenek terukir di sana, masih sangat rapi. Tidak ada yang tahu apa yang tengah terjadi di kepala pemuda itu. Kedatangan Putri-lah yang membuat Tirta bangun dari lamunannya. Satu hal yang membuatnya tersenyum hari ini; rengek tangis Putri yang sama sekali tidak berubah. Gadis itu marah ketika Tirta diam, atau menjawabnya dengan kalimat yang membuat Putri mati kutu.

"Kak, ayo pulang?"

Seperti kedengarannya, Putri tidak benar-benar sedang mengajak sang kakak. Dia sedang bertanya, setelah sekian lamanya, apa sang kakak akhirnya bersedia untuk pulang. Tapi hari itu adalah beberapa hari setelah hari Raya Idul Fitri, karena itu Putri tidak bermaksud untuk menyerah.

"Ayo."

Jawaban itu jelas saja mengejutkan Putri ketika gadis itu sedang mencoba mencari kalimat-kalimat persuasif untuk meyakinkan sang kakak. Tirta menyetujuinya begitu saja. Dan Putri tidak ingin menyia-nyiakan itu sebelum Tirta berubah pikiran dan menghilang lagi. Putri menarik tangan sang kakak, memastikan pemuda itu tidak melarikan diri dan benar-benar membawanya sampai ke rumah.

Apa yang dilihat Tirta di rumah kecil, tempat dia tinggal beberapa tahun lalu, membuatnya termangu. Ia pikir, yang akan menyambutnya adalah suara piano yang pernah dia belikan untuk Putri dulu. Tapi tidak, yang pertama kali didengarnya adalah suara tangisan bayi.

"Maaf aku tidak sempat mengatakannya padamu, Kak," ucap Putri tersenyum sedih di samping kakaknya yang membatu di depan pintu masuk. "Kita punya adik perempuan."

"Adik perempuan," ulang Tirta seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

Dari ujung matanya, Tirta melihat sosok sang ibu. Wanita itu sibuk mengusap tangannya yang basah menggunakan lap, tak jauh dari tempatnya duduk di tempat cuci baju. Kemudian berjalan tergopoh-gopoh ke dalam ruangan yang dulu adalah kamar tidurnya. Terdengar sebuah nyanyian yang tidak asing di telinganya. Nyanyian yang sama yang masih diingat Tirta dengan baik di setiap malam ketika sang ibu meninabobokan Putri atau dirinya, dulu sekali. Rumah itu juga berubah. Perlengkapan bayi dan mainan anak kecil ada di tiap sudut ruangan. Kehangatan menyelimuti jiwa Tirta. Wanita itu ... tidak berubah. Dia adalah wanita yang sama dengan ibunya yang sangat mencintai anak-anaknya.

"Tirta?"

Pandangan Tirta teralih ke arah wanita yang baru keluar dari ruangan, dengan bayi kecil yang cantik di gendongannya.

"Mama."

Air mata wanita itu jatuh. Wajahnya memerah karena haru. Dan ia menutup bibirnya dengan sebelah tangan yang bebas.

"Anakku. Tirta anakku, akhirnya kaupulang."

Tirta menelan ludahnya. Ia baru menyadari, dirinya yang sejak dulu marah atas tindak egois sang ibu, melakukan hal yang sama persis dengan meninggalkan keluarga di saat yang paling mereka butuhkan. Tirta tahu betapa sakitnya perasaan itu. Ia baru menyadari semuanya setelah melihat air mata sang ibu. Dengan segera, Tirta mengambil tangan ibunya, meletakkan tangan wanita itu di bibirnya kemudian mengamati bocah kecil yang tengah tertidur pulas. Wajah polos bayi itu membuat Tirta diselimuti rasa bersalah yang tidak berkesudahan. Apa yang dia lakukan di saat ibunya bertaruh nyawa untuk melahirkan malaikat kecil ini ke dunia? Apa yang dia lakukan kala wanita-wanita ini membutuhkan bantuannya?

"Maafkan Tirta, Ma."

Putri dengan sigap mengambil adik perempuannya dari gendongan sang ibu, kemudian wanita itu mengangguk haru dan memeluk Tirta.

"Mama yang harus minta maaf, Nak. Mama telah melakukan kesalahan besar. Mama yang bersalah."

Tirta melepaskan pelukan ibunya, kemudian mengusap air mata wanita itu dengan lembut sambil menggeleng beberapa kali, berharap sang ibu berhenti menyalahkan dirinya sendiri seperti itu, karena itu menyakitinya juga.

"I don't do regrets. Regrets are pointless. It's too late for regrets. You've already done it, haven't you? You've lived your life. No point wishing you could change it."

Kalimat itu diucapkan oleh Putri, membuat Tirta dan sang Ibu menoleh padanya.

"Hei, itu, kan, Lemmy Kilmister," sahut Tirta sambil tertawa kecil, mengingat gadis yang mengatakan itu adalah gadis yang sama dengan bocah bodoh yang selalu kalah dalam bermain kata dengannya.

"Katakan, Kak," ujar Putri sambil menimang-nimang sang adik. "Kakak akan pulang mulai sekarang, kan?"

"Ya."

Jawaban singkat dan senyum lembut itu membuat sang ibu merasa sangat berbahagia. Dia meminta Tirta untuk duduk dan istirahat, sementara dia pergi ke dapur dan menyiapkan makanan. Tirta merasakan perasaan yang tidak pernah ia rasakan saat menerima tubuh kecil adik bayinya dari tangan Putri.

"Tubuhnya sangat kecil, tapi dia memiliki kekuatan yang besar," ucap Tirta seraya mencium kepala si bayi. "Cukup untuk membuatku tinggal dan berjanji pada diriku sendiri untuk melindunginya seumur hidupku."

Putri menghela napas lega.

"Apa ada hal yang terjadi selama kakak pergi? Apa yang mengubah pendirianmu hingga kamu bersedia pulang?"

Tirta awalnya tidak menjawab. Pemuda itu merenung sambil mengamati wajah bayi di gendongannya.

"Ody dan Billy lulus kuliah beberapa bulan lalu."

Merasa mengingat sesuatu yang penting, Putri tertegun. Tirta tidak lulus SMA. Dan, mungkin itu adalah penyesalan terbesarnya.

"Jika kamu berpikir, aku iri karena tidak sekolah hingga jenjang setinggi mereka, kamu salah, Put."

"Lalu apa?"

"Setiap orang di sekitarku menerima pencapaian yang lebih baik, harusnya aku ikut merasa senang, bukan? Tapi aku tidak bisa merasa setulus. Bukan karena iri. Namun, rasa bersalah."

"Loh, kenapa?"

"Pernah ada seseorang yang selalu ada di pihakku, selalu memperjuangkanku, memberikan yang terbaik untukku. Namun aku mengacuhkan semua usahanya. Bahkan pergi meninggalkannya tanpa mengucapkan selamat tinggal. Aku selalu berpikir, jika dulu aku tidak keras kepala dan mengulurkan tanganku sedikit saja ... mungkin tidak akan ada penyesalan ini. Karena itu, aku berusaha berhenti egois dan menerima semuanya mulai sekarang. Karena seperti katamu tadi, penyesalan itu--"

"Assalamualaikum! Tante! Putri! Tolongin, dong!"

Tirta terjingkat dengan suara itu. Tanpa disadarinya, pemuda itu berdiri dan melihat ke arah pintu masuk, sedangkan Putri sudah berlarian keluar menghampiri tamu yang terlihat sedang dalam masalah itu.

"Nia?"

"Loh! Tirta?"

"Kak Nia kerja jadi pegawai di balai desa sini, Kak. Dia sering datang ke rumah buat cari cemilan gratis," cerocos Putri sambil membawa bungkusan besar popok di kedua tangannya. " Sebagai gantinya, Kak Nia sering bantu kami belikan sesuatu. Habis, kita, kan, tidak punya motor buat keliling."

Putri pergi, meninggalkan Tirta dan Nia yang masih sama-sama tidak bergerak.

"K-kamu pulang."

"Aku akan tinggal."

Rona di wajah Nia tidak bisa gadis itu tutupi.

"Oh, bagus. Kalau begitu, Tante dan Putri akan lebih tertolong, jadi aku tidak perlu ke sini setiap hari."

"Kamu ke sini setiap hari juga tidak apa-apa."

Kali ini Nia-lah yang bisa melihat bagaimana canggungnya Tirta saat itu. Mereka yang menyadari sikap kekanakan itu, kemudian sama-sama melempar tawa.

"Oh, ya. Minal aidin wal faizin, ya, Tirta."

"Iya, maafkan aku, Nia." Tirta tersenyum. "Dan ... terima kasih sudah menunggu."

Akhirnya, suara tawa di rumah itu kembali terdengar dengan jelas. Dan Tirta bersyukur, dia bisa menjadi bagian dari kelengkapan itu.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top