Rajukan Sepanjang Galah

"Hai."

Aku menoleh, itu Elfan. Rupanya, bocah tiang listrik itu belum menyerah. Mendengus kesal, aku hanya bisa mengabaikannya.

"Sha, kok gue dicuekin, sih?"

Aku mengerling ke arahnya. Rupanya, selain kepala batu, ia juga tidak memiliki kepekaan yang berarti. "Kan gue udah bilang. Gue nggak mau, Fan."

Wajah Elfan terlihat sedang menahan tawanya, ia lantas berujar, "Emang, siapa juga yang pengin nawarin lo lagi?" Ia tak berhasil menahan tawanya. "Gue juga tau, lo nggak mau ikutan. Dan sekarang ... gue pengin nawarin lo makan bareng di kantin, mau?"

Seketika wajahku merah padam. Sangat terlihat bahwa sebenarnya aku ingin mengikuti lomba lari lagi, tetapi karena urusan gengsi dan rasa percaya diri yang membumbung tinggi aku jadi tak bisa mengikutinya.

"Te-terserah, sebenarnya gue sibuk. Tapi karena nggak enak sama lo, jadi gue ikut aja deh."

Elfan menghela napasnya, tetapi masih saja tersenyum ke arahku. "Baiklah, ayo ke kantin."

***

Elfan mengunyah baksonya, sesekali ia juga mengedarkan pandangan ke sekitar kami. Mungkin, mencari seseorang.

"Lo tau nggak?" tanyanya tiba-tiba.

"Nggak."

"Kemarin, Pak Pelatih bilang, 'Ester itu salah satu pelari tercepat kita. Jadi tolong, kalau bisa, kalian bujuk dia untuk kembali. Toh, Akbar juga sudah Bapak hukum, dan sepertinya ia menyesal', gitu katanya." Aku masih mendengarkannya dalam diam. "Jadi, Yuinsha ... Pak Pelatih, bukan, kami semua butuh lo! Akbar emang salah hari itu, tapi ... apa lo nggak pengin maafin dia secepatnya? Tuhan Maha Pemaaf, Sha. Masa, hambanya nggak?"

Aku menggaruk dahiku, pusing. "Y-ya, nggak bisa, dong! Enakan banget si Akbar kalau gitu!"

Bohong. Sebenarnya, aku sudah memaafkan Akbar sejak lama setelah tragedi itu. Hari di mana aku dan teman-temanku sedang latihan gabungan untuk HUT RI. Sebulan yang lalu di sekolah sebelah, sekaligus menjadi hari paling memalukan di sepanjang hidupku.

Pada saat itu, aku tengah bersiap dan melakukan pemanasan bersama teman-temanku. Mencoba fokus meski sedari tadi bola mataku tak henti-hentinya bergerak untuk mencari seroang laki-laki yang tengah mengisi relung hatiku, Rayyan Kai Hanafi.

"Sepertinya, dia nggak datang," gumamku pelan. Tak kusangka, ternyata masih ada yang bisa mendengar suaraku meski sudah sepelan hembusan angin itu.

"Lo nyariin Rayyan, ya?" teriak Akbar dengan suara toanya yang menggelegar. Tentu saja siapapun pasti menoleh mendengar suara itu, termasuk Rayyan sendiri, dari tempat pelatihnya.

Dengan serta-merta, aku memukul lengannya-sesekali mencubit dengan cubitan andalanku. Bahkan Akbar yang tubuhnya besar ini bisa berkali-kali mengaduh kesakitan. Siapa suruh menjadi menyebalkan seperti tadi?! Saking asyiknya aku memberi Akbar 'hukuman' tentang apa yang telah ia perbuat, aku tak menyadari Rayyan sudah berdiri di belakangku. Terbukti dengan suara beratnya yang langsung saja menyapa indra pendengaranku.

"Siapa yang mencariku, Bar?"

Aku merasa ingin menhilang saja dari sana.

"Ini, Yan. Si Yuinsha," ujarnya, tanpa melihat keadaan.

Kalau saja saat ini aku tidak sedang menahan malu dan amarahku akibat ulah Akbar, mungkin, aku akan terpesona oleh kedewasaan Rayyan. Sayangnya, timing-nya sedang tidak pas.

"Oh, kamu ... ada apa?"

"Noh, diajakin ngomong sama Rayyan, Sha."

'Diem kek, elo!'

"Nggak, kok. Bukan aku yang nyari kamu."

'Aku? Kamu? Aaaah!'

"Tapi kata Akbar-"

"Emang Yuinsha yang nyari. Dia lagi malu aja sama lo, padahal biasanya tuh, dia teriak-teriak semangat pas ngomongin lo!"

"Diem ya lo, kudanil!-eh?" Tanpa sadar, aku sedang mempermalukan diriku sendiri di hadapan teman-temanku, juga di hadapan Rayyan karena berucap kasar. Mungkin, memang lebih baik aku menghilang sekarang.

Kulihat Rayyan tersenyum kikuk menanggapi kata-kata yang terucap dari bibir laknat Akbar, semoga dia tidak illfeel denganku!

"Oke deh, gue ke tempat Pelatih dulu, ya. Ada urusan." Rayyan meninggalkan kami berdua begitu saja. Sepertinya harapanku tidak terkabul. Ia illfeel sekali denganku.

"Tadi sekalian tembak aja, Sha."

"Berhenti ngomong, atau gue mutilasi."

Sudah menjadi rahasia umum dari teman-teman klub lari jika aku menyukai Rayyan. Tapi itu sudah sangaaaaat lama, bahkan ada yang melupakannya, mungkin. Tetapi karena peristiwa ini terjadi, semua orang-termasuk murid Permata Cendekia sekalipun-juga meneriakiku dengan kalimat 'Cie, Yuinsha. Berlagak polos rupanya!' yang tentu saja membuatku malu setengah mati.

Tanpa aba-aba, aku berlari menuju luar gedung olahraga. Dmi seluruh egoku, aku malu! Apalagi ketika melihat wajah Rayyan yang risi saat ada beberapa anak yang mengejeknya juga. Kakiku masih berlari, hingga tak tiba-tiba saja aku sudah sampai di depan sekolah tempatku belajar, SMA Angkasa.

Sebenarnya, aku lumayan terkejut ketika menyadari bahwa tasku berikut isinya masih tertinggal di ruang olahraga SMA Permata Cendekia. Sekarang apa? Apa aku lenyap saja saat ini juga?

Gelar sebagai wanita paling perfect dari para guru hilang sudah pada nama Ester Yuinsha.

Karena kunci motorku juga bersama dengan tas itu, aku tak bisa pulang. Bahkan uang sepeserpun aku tak membawa, pelatihku pernah bilang 'jangan membawa apapun saat sedang berlari kecuali baju yang melekat di tubuhmu'. Satu lagi, hal yang menjadi paling merepotkan di sini adalah ... ponselku juga tak bersamaku. Lengkap sudah.

Aku duduk di halte. Sambil terus mengharap keajaiban yang datang tiba-tiba. Namun, sayangnya ini bukanlah cerita novel yang memberikan kejadian seperti itu untuk sang heroin. Ini dunia nyata!

Saat sedang asyik meratapi nasib, aku terpikir sesuatu yang bisa membuatku pulang ke rumah-tanpa harus mempermalukan diri untuk kembali ke Permata Cendekia-dengan selamat sentosa. Loker! Ya, lokerku tak memerlukan kunci untuk membukanya, kami semua hanya butuh sidik jari.

Yang kuingat, di loker aku pernah menyimpan uang sebesar Rp. 20.000,-. Aku hanya berharap, semoga uang itu masih ada di sana.

Kucoba menekan sidik jarinya.

Tak terbuka.

Aku mencoba lagi.

Masih tak terbuka.

Rupanya, listrik tengah mati saat ini. Yang berarti, aku tak bisa membukanya.

Aku menghela napas, kurasa tak ada salahnya calon atlet berlatih lari dari sekolah hingga rumahnya sendiri. Jadi, aku mengambil pemanasan sedikit, lalu berlari dengan kecepatan sedang menuju arah rumahku yang jauhnya kira-kira tujuh kilometer. Jangan khawatir, aku atlet yang andal.

Belum satu tetespun keringatku keluar, langkahku dihentikan oleh vespa biru tua. Sesegera mungkin aku melihat siapa yang mengendarainya. Dan benarlah dugaanku, itu Rayyan bersama Akbar. Rayyan membawa tas serutku, sembari menahan tawanya sendiri.

Kan sudah kubilang, sebaiknya aku lenyap saja.

"Butuh tumpangan?" tanya Akbar sembari nyengir kuda.

Rayyan turun dari motornya. Ia memberikan tas itu kepadaku. "Lo kelupaan ini."

Aku menyambarnya dengan cepat. Tanpa ucapan terima kasih, aku berlari sekencang-kencangnya ke arah tempat parkir motor dengan wajah panas karena malu.

***

"Heh! Kok ngelamun, sih?!" Elfan mengibaskan tangannya di depan wajahku.

"Eh? Apa?"

"Lo nggak dengerin gue nyerocos dari tadi?"

Aku tersenyum singkat, guna pengganti kata maaf.

Elfan mendengus. Lalu ia berujar, "Lo nggak perlu takut bakal ketemu Rayyan pas perlombaan. Dia nggak ikut lomba itu."

"Hah? Kenapa?"

"Rayyan ngundurin diri, entah apa sebabnya. Mungkin, cuma pelatihnya yang tau." Elfan mengendikkan bahunya, ia kembali menelan baksonya.

Melirikku yang tak minat untuk memberi balasan pada ucapannya, Elfan melanjutkan, "Gue rasa, kalau lo sedikit menurunkan ego lo, mungkin Akbar bisa mendapat maaf dari lo." Ia berdiri, lantas berlalu dari hadapanku yang masih tercenung dengan perkataannya.

Kalau dilihat dari caranya menjauh, aku bisa memastikan kalau ia tak ingin membujukku lagi.

Dan aku menyesalinya. Sejarusnya, dari tadi saja kuterima ajakannya guna bergabung latihan kembali di kub kesayanganku itu. Lagi-lagi karena ego, aku harus berpura-pura ... bahkan pada diriku sendiri.

Padahal, waktunya sudah tepat sekali. Aku tak perlu bertemu Rayyan di perlombaan, sehingga untuk semetara waktu, aku memberinya ruang untuk melupakan ingatan tentang hari itu.

Yang kusadari, rupanya permainan ego ini membunuhku perlahan.

***

Hari-hari selanjutnya adalah saat-saat yang tidak kuinginkan. Elfan benar-benar berhenti membujukku, sedangkan Akbar sudah berhenti memberondong ponselku dengan pesan permintaan maafnya. Lalu aku harus apa sekarang? Tentu saja jika sarannya adalah mendatangi klub dan menyetujui permintaan maaf Akbar, aku tak mau! Itu terlalu berbahaya untuk keselamatan harga diriku!

Mendesah frustrasi, aku tak menemukan solusi paling tepat untuk memberi maaf pada Akbar selain mendatangi ruang klub.

Akhirnya, setelah merenungkan berkali-kali, aku memutuskan untuk membalas salah satu pesan dari Akbar.

@ak_barbar
Maafin gw, Sha! Ampun deh!

Maafin beneran!

Sha, bales kek!

Sha, gw beneran nggak ada niatan buat
malu-maluin lo!

Shaaaaa!

@estery_
Gw maafin.

Dengan ini, apa aku boleh berharap kalau mereka akan membujukku lagi?

***

Hari Senin, tinggal seminggu lagi klub lari akan mengikuti lomba HUT RI.

Sudah terhitung empat hari sejak aku mengirim pesan balasan kepada Akbar, namun tak kujung mendapat balasan baik dari Akbar maupun mereka semua.

"Sha, upacara! Ayo turun!" teriak Nancy-teman sebangkuku. Aku lantas menyambar topi dan dasi lalu kut turun ke lapangan utama bersamanya.

Kulihat, lapangan utama sudah ramai, aku dan Nancy beringsut mundur saat beberapa kakak kelas kami lewat. Apalagi saat rombongan manusia berbadan besar milik kak Ekky, bukan apa-apa, kami hanya takut terinjak.

"Baris di depan yuk, Sha? Sekali-sekali," ujar Nancy.

Tanpa berucap apa-apa, aku hanya mengikutinya. Genggaman tangan darinya membawaku menuju ke barisan paling depan. Tepat depan pembina upacara.

"Nyari mati, ya? Ini terlalu depan, Nan!"

Nancy mengibaskan tangannya. "Nggak apa-apa! Cuma sekali, kok!"

Aku hanya memutar bola mata ketika suara protokol sudah terdengar di mikrofon.

***

Entah sudah berapa lama aku berdiri, namun amanat dari sang kepala sekolah tak kunjung selesai.

"... Para pahlawan, berjuang tanpa memikirkan daerahnya masaing-masing. Hingga akhirnya terciptalah persatuan di antara mereka. Itulah yang membuat mereka merdeka. Membuang rasa egois pada diri mereka masing-masing dan memilih untuk berjuang bersama ..."

Penggalan amanat dari kepala sekolah membuatku membuka hati. Beliau juga telah menyadarkanku dari kebodohan yang selalu ku sangkal sendiri. Aku berjanji, akan mendatangi klub dan meminta maaf pada semuanya karena telah berlaku buruk pada mereka dengan meninggalkan kewajibanku demi sepercik rasa egois di hati.

Entah apa yang dikatakan kepala sekolahku, tetapi aku merasakan semua peserta di barisan mengucapkan balasan salam. Ini berarti amanat dari beliau sudah selesai.

"Habis ini, ke koperasi dulu, yuk? Mau beli minum."

Aku mengangguk tak sabar. Semoga semua pelajaran hari ini cepat selesai.

***

Aku membereskan peralatanku ke dalam tas. Bel pulang sudah berbunyi dua menit yang lalu. Saatnya menepati janji yang kubuat tadi pagi dengan diriku sendiri!

"Sha! Gawat!" Akbar berlari menuju kelasku. Napasnya terengah saat berhenti di depanku.

"Ada apa?"

"Elfan ... kaki ...." Dua kata yang terucap dari bibir Akbar membuat jantungku serasa berhenti berdetak.

Elfan kenapa?!

Tanpa ba-bi-bu, aku berlari ke lapangan klub lari-basket-voli. Jangan sampai terjadi apa-apa pada sahabatku!

Akbar membuntutiku dari belakang. Ikut berlari.

"Dia masih di lapangan tadi," ujarnya yang membuat lariku semakin cepat.

Di tepi lapangan, aku melihat banyak anak sedang berkerumun di stengah lapangan. Aku menduga, itu Elfan.

"Elfan! ... hah ... hah ...." Sepertinya aku lari tanpa pemanasan yang membuatku lekas penat. Tapi, masa bodoh dengan itu semua. Elfan harus baik-baik saja!

"Elfan! Lo kenapa?" tanyaku saat hampir mendekati kerumunan.

"El ... fan?"

Ketika tinggal satu langkah saja aku bisa menggapai kerumunan itu, tiba-tiba kerumunannya tebelah. Menampilkan Elfan yang tengah membawa kue dengan lilin angka 17 yang menyala redup karena tertiup angin. Oh iya, jangan lupakan tulisan di belakangnya yang berbunyi, 'Jangan marah lagi, Ester Yuinsha. Kami cuma ingin member surprise!'.

Aku menghambur ke pelukan Elfan. Syukurlah bahwa kabar tentang kakinya hanyalah keisengan mereka untuk membuat hal ini berhasil. Aku tak menyadari kapan Akbar datang menyusulku, tahu-tahu, tubuhnya yang besar ini memeluk aku dan Elfan bersamaan. Lalu disusullah oleh banyak tangan yang merengkuh tubuh kami, tangisku semakin deras.

"Oi, ntar kuenya jatuh! Lepas dulu!" Elfan berteriak membubarkan pelukan.

"Ye, elo Fan. Ngerusak momen romantis!" jawab Akbar.

Elfan memperhatikan kuenya-yang untungnya tak rusak karena pelukan kami. "Nah, sekarang Ester Yuinsha tiup lilin dulu, gimana?"

Menyeka ingusku, aku mengajak kedua sahabatku untuk ikut meniupnya. Saat lilin mati diikuti suara tepuk tangan dari teman-teman klubku, aku baru menadari kalau hari ini aku ulang tahun.

Rupanya, pikiranku terpecah saat tak bersama kedua sahabatku juga teman-temanku. Kurasa, ini saat paling tepat utuk meminta maaf. Aku mundur dua langkah, seolah pergerakanku kentara, teman-temanku menoleh ke arahku.

"Maaf karena aku selalu berbuat buruk pada kalian dan selalu mementingkan egoku." Aku membungkukkan badan guna memberi tahu kesungguhan maafku pada mereka.

"Wah, Ratu Gengsi minta maaf, woi," ujar Elfan seraya terkikik geli. "Kaku amat, sih. Sini, kuenya udah ditaruh, kok," lanjutnya. Tangannya terbuka, kode ingin dipeluk.

Aku meringis malu, lalu menghambur ke peukannya sekali lagi. Teman-temanku? Lagi-lagi mereka mengikuti jejakku dengan memeluk Elfan.

Sesaat kemudian, kami mengurai pelukan dan masing-masing mulai disibukkan dengan urusannya sendiri. Elfan menanyaiku, "Lo tadi ngapain nangis?" Akbar di sebelahku turut ingin mendengar jawabannya.

"Em ... habisnya ... tadi Akbar bilang kalau kaki lo kenapa-kenapa ..., sebagai sahabat, gue boleh dong khawatir sama sahabat gue sendiri?" jawabku ragu.

Akbar menahan semburan tawanya. "Lo ngakuin kita sahabat?"

Aku mendelik. Kalau aku yang dulu, pastilah akan mengelak habis-habisan demi kebutuhan harga diriku, tapi jika sekarang ... kursa aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.

"Wow wow wow, pidato kepala sekolah sangat berpengaruh sepertinya! Sekadar ucapan terima kasih pastilah tak cukup," ujar Elfan heboh.

"Kayaknya kita harus traktir Nancy juga deh," tambah Akbar.

"Jangan lupakan Pak Pelatih yang ngasih kita izin," ujar Elfan sambil mengangguk-angguk, sok serius.

"Jadi? Semuanya sudah kalian persiapkan sedemikian rupa, ya? Dasar, beruntunglah karena gue sayang kalian!"

Kami bertiga tergelak. Rasanya lega sekali bisa berbaikan dengan para sahabat yang selalu membuat hidupku menjadi hebat. Namun, entah kenapa perasanku masih mengganjal.

"Lombanya ... gimana?" tanya Akbar.

Ini dia, yang mengganjal adalah ini.

"Emm ... Yuinsha, lo masih mau ikut?"

"Masih boleh? Kan gue nggak pernah latihan sejak 12 hari yang lalu?"

"Tenang aja, dengan persatuan, kita pasti bisa menang!" ujar Akbar, mantap.

***

Lomba dari
TeenageWrittersFams

Oleh
~Salsa-chan_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top