Bab 5
Melihat kemenangan Luo Mewona yang disambut gempita seluruh rakyat, hati Bawuadano panas terbakar. Mukanya merah masam menahan amarah, Bawuadano meninggalkan lapangan dan mengabaikan Daeli yang coba mencegahnya pergi. Daeli memandang kepergiannya dengan cemas.
Bawuadano pergi menuju pasukannya yang sudah menunggu dan mulai memberi perintah.
"Siapkan semua pasukan! Kita mulai bergerak malam ini!"
Kepala Pasukan menunduk takzim, memberi hormat lalu berlalu, meninggalkan Bawuadano yang masih kesal dengan kemenangan adik bungsunya. Bawuadano menggeram dan berteriak frustrasi.
" Luo Mewona! sebelum matahari terbit esok pagi, aku akan menyeretmu turun dari di singgasana raja!"
Para Putra Sirao yang lain merasa malu atas kekalahan mereka, cepat-cepat pulang dan bersembunyi. Tetapi Daeli pergi mencari Bawuadano dan menemukan gelagat mencurigakan di markas pasukan pimpinan Bawuadano. Semua pasukan dalam keadaan waspada. Beberapa bahkan memandanginya dengan tatapan curiga.
Daeli menemukan Bawuadano sedang duduk mengasah ujung tombak.
"Bawuadano, apa yang kau rencanakan? Kenapa semua pasukan berada dalam sikap waspada?"
Bawuadano mendongak, memandang Daeli dan tersenyum sinis.
"Bukan urusanmu," jawabnya singkat.
"Aku akan pergi melaporkan hal ini kepada Ayah". Belum sempat Daeli melangkah, Bawuadano mencengkram lengannya dan berbisik.
"Tidak hanya Luo Mewona, kau pun tidak akan luput dari tanganku"
Daeli mengibaskan tangannya, berbalik menatap Bawuadano.
"Ingatlah Bawuadano, tidak ada kejahatan yang mampu mengalahkan takdir. Luo Mewona memenangkan sayembara karena hanya dia yang berhasil menari di ujung tombak. Lowalangi telah menentukan takdir Luo Mewona. Takdirnya adalah menjadi raja di Teteholi Ana'a."
Matahari sudah condong ke barat, malam mulai menjemput. Pasukan Bawudano sudah bersiap-siap. Mereka akan menyerang istana. Bawuadano berdiri di depan, nyala api kemarahan tampak jelas di matanya. Tangannya teracung tinggi, lalu mengayun sebagai tanda agar pasukan mulai bergerak. Istana suram, hanya diterangi cahaya bulan. Pasukan Bawuadano bergerak cepat, melumpuhkan penjaga gerbang lalu mengepung istana dan mulai berjaga. Bawuadano dan beberapa prajurit terpilih berderap masuk ke aula istana tangan terkepal di kanan kiri tubuhnya.
Raja Sirao dan semua pangeran ternyata sudah berkumpul, tahu akan rencana Bawuandano.
"Baguslah, kalian semua ada di sini, aku tak perlu menghabiskan waktu mengejar kalian satu per satu"
Bawuadano memberi isyarat agar pengawalnya maju untuk menyerang. Belum sampai sepuluh langkah, mereka semua terpental, seolah ada lapisan tipis yang melindungi raja dan pangeran lainnya.
Berkali-kali mencoba, berkali-kali pula mereka jatuh. Raja Sirao mengetuk-ketuk tongkat sihirnya dengan tidak sabar. Bawuadano geram. Sekuat tenaga ditembusnya lapisan pelindung itu, tapi kekuatan lebih besar membuatnya terlempar membentur dinding. Kepalang basah, Bawuadano bangkit dan kembali menyerang, menggengam erat tombak dan menghujamkannya berkali-kali. Tetapi usahanya sia-sia. Raja Sirao mulai marah. Ia bangkit berdiri, mengayunkan tongkat sihirnya. Dalam sekejab lapisan pelindung lenyap. Melihat kesempatan itu, Bawuadano bersiap kembali dengan tombaknya. Luo Mewona dan Daeli maju ke depan, mengambil sikap waspada melindungi Raja. Bawuadano semakin beringas, menyerang tanpa arah. Raja menarik mundur Luo Mewona dan Daeli. Lalu menyerang balik Bawuadano. Kilatan cahaya menyambar tubuh Bawuadano. Seketika itu juga Bawuadano jatuh. Darah mengalir dari pelipis mata kirinya.
Bawuadano mengumpulkan tenaga, bangkit berdiri lalu berkata,
"Raja Sirao, selama ini kau membanggakan dirimu sebagai raja yang adil dan bijaksana. Demi keadilan yang kau banggakan, sebagai putra tertua, seharusnya akulah yang berhak mewarisi kerajaan ini. Sayembara? Itukah caramu menunjukkan betapa adilnya kebijaksanaamu?"
Raja Sirao menggeleng sedih. Sorot matanya tiba-tiba meredup.
"Bawuadano putraku. Untuk menjadi Raja Teteholi Ana'a, kau harus bisa menaklukan semua tantangan yang diberikan padamu. Raja harus seperti tombak yang menyangga langit dan seperti burung elang yang melindungi. Raja harus rendah hati dan mengutamakan rakyat serta para tetua Teteholi Ana'a. Tak ada pilihan lagi. Bawuadano, sekarang kau akan dikuasai amarah seumur hidupmu. Hukuman bagi pemberontak hanya satu. Hukuman mati "
Bawuadano gemetar, mendadak kakinya lumpuh. Ia jatuh berlutut. Kepalanya menunduk, tak berani menatap mata Raja Sirao. Sudah selesai, usahanya sia-sia.
Tiba-tiba saja Luo Mewona ikut berlutut di sampingnya memohon belas kasihan kepada Raja.
"Ayahanda , Bawuadano benar, seharusnya tahta diwariskan kepada putra tertua. Tetapi bahkan langit pun tidak mampu mencegah takdir yang digariskan oleh Lowalangi. Jikalau aku memang ditakdirkan untuk memimpin Teteholi Ana'a. Bawuadano pasti juga memiliki takdirnya sendiri. Berikanlah sedikit belas kasihanmu, biarkanlah Bawuadano memulai hidupnya lagi di Tano Niha ( Bumi )."
Bawuadano terkesiap. Tak pernah dibayangkan penyelesaian akhir yang ditawarkan Luo Mewona. Turun ke Tano Niha, meninggalkan Teteholi Ana'a.
" Kami akan pergi bersamamu!" Daeli ikut berlutut di samping Bawuadano. Pangeran yang lain seketika juga ikut berlutut memohon.
" Ayah, jikalau memang benar itu adalah takdir Bawuadano. Mungkin itu juga adalah takdir kami. Turunkan juga kami ke Tano Niha," pinta Daeli.
"Kalau memang masih ada belas kasihmu untukku Ayah, dan jikalau memang takdirku untuk turun ke Tano Niha, maka perbuatlah demikian," sahut Bawuadano, pasrah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top