Bab 4


Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Bawuadano keluar dari aula. Kemarahan meluap-luap menguasainya. Tak masuk akal, bagaimana mungkin raja membuat sayembara untuk memilih pewaris tahta. Meskipun demikian, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Bawuadano tetap yakin, dia pasti bisa memenangkan sayembara Raja Sirao.

Hari ketujuh sudah tiba. Seluruh rakyat dikumpulkan di halaman Istana. Raja Sirao beserta sembilan putranya sudah hadir.

"Wahai rakyat Teteholi Ana'a. Hari ini di hadapan kalian akan kupilih siapa dari kesembilan pangeran yang akan mewarisi tahtaku. Barang siapa yang berhasil menari di ujung tombak itu, dialah yang yang akan menggantikanku sebagai raja Teteholi Ana'a!". Lalu gong besar mulai dibunyikan. Sayembara dimulai.

Sebagai putra tertua, Bawuadano diberi kesempatan terlebih dahulu. Ia berjalan ke tengah lapangan dengan percaya diri. Tantangan yang terlalu mudah untuk ditaklukkan. Hanya perlu melompat dan bertahan di ujung tombak. Bawuadano mengambil ancang-ancang dan berlari sekencang mungkin lalu melompat mencoba meraih ujung tombak. Tak disangka, badannya yang besar dan berat membuatnya tidak bisa melompat tinggi, seolah-olah ada besi berton-ton mengikat kakinya supaya tetap menginjak tanah. Bawuadano menjerit frusrtasi. Raja Sirao mengetukkan tongkat sihirnya, memerintahkan agar Bawuadano berhenti mencoba. Waktunya sudah habis.

Sayembara dilanjutkan. Putra kedua Raja Sirao, Zangarofa mendapat giliran selanjutnya. Zangarofa melangkah maju dengan gugup. Ciut nyalinya melihat bagaimana Bawuadano gagal menari di ujung tombak. Keringat bercucuran membasahi kening dan telapak tangannya. Dengan kedua tangannya Zangarofa mengengam tombak dan berusaha memanjat. Tapi keringat membuat tombak menjadi licin seolah dilumuri minyak. Zangarofa pun menyerah kalah.

Melihat apa yang terjadi dengan kedua kakaknya, Bela, Putra ketiga Raja Sirao menjadi was-was. Ragu-ragu ia melangkah menuju tengah lapangan. Sampai di depan tombak, Bela hanya diam membatu. Pandangannya lekat ke tanah. Terdengar teriakan tidak sabar dari kerumunan rakyat di pinggir lapangan. Tiba-tiba saja Bela berbalik lalu berseru, " Ayahanda tercinta, aku tidak sanggup menyelesaikan tantangan ini. Aku menyerah!"

Simanga Bua pangeran keempat adalah satu-satunya putra raja yang menguasai ilmu sihir. Dengan kekuatan sihirnya, batu-batu kecil bergerak membentuk anak tangga di sekitar tombak. Tetapi semakin tinggi tangga yang dibuat, semakin tinggi pula tombak itu. Simanga Bua pun akhirnya menyerah.

Pangeran kelima, keenam , ketujuh dan kedelapan bernasib sama dengan kakak-kakaknya, mereka mencoba dan akhirnya gagal.

Tibalah giliran Luo Mewona. Sebelum melangkah, Luo Mewona membungkuk dalam-dalam kepada rakyat yang melihat di pinggir lapangan. Lalu berbalik memberikan hormat kepada Ayah dan Ibunya.

"Wahai rakyat Teteholi Ana'a, Tetua Kerajaan, Leluhur Teteholi Ana'a, Ayahanda Raja, Ibunda Permaisuri. Aku memohon restu kalian untuk menyelesaikan tantangan ini. Dampingi aku saat melangkah, temani aku ketika melompat, berikan aku kekuatan untuk bisa menari di atas tombak itu."

Sesudah memohon restu, Luo Mewona maju dan mulai mengambil ancang-ancang. Dengan sekuat tenaga, dia berlari lalu melompat. Tubuhnya melayang ringan mencapai ujung tombak. Luo Mewona bertengger di ujung tombak yang tajam itu bagaikan seekor ayam jantan, menari dengan anggun seperti burung elang. Secara ajaib, di atas kepalanya muncul mahkota emas. Sambil menari, Luo Mewona mengucapkan salam kepada semua rakyat yang berkumpul. Luo Mewona terus menari sampai menjelang sore. Kerendahan hati Luo Mewona mengantarkannya menjadi Raja Teteholi Ana'a. Rakyat bersorak dan ikut riuh merayakan kemenangan Luo Mewona . Saat itu juga Luo Mewona dinobatkan menjadi Raja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top