Bab 3


Sore itu, utusan raja datang memberi kabar. Raja ingin semua pangeran berkumpul di aula istana. Bawuadano tersenyum lebar, inilah saatnya. Raja pasti akan mengumumkan pewaris tahta.

Sampai di aula Istana, semua adiknya sudah berkumpul. Bawuadano memasuki aula dengan percaya diri, adik-adiknya menundukkan kepala memberi hormat kepadanya.

"Salam Ayahanda." Bawuadano membungkuk, memberi hormat kepada Raja yang duduk di singgasana .

"Bergabunglah dengan yang lain, ada hal penting yang ingin aku sampaikan."

Bawuadano mundur, bergabung dengan adik-adiknya. Dagunya diangkat tinggi-tinggi, yakin sebentar lagi dialah yang akan duduk di singgasana itu.

" Putraku. Kesembilan putraku. Kalian sudah membantuku memerintah kerajaan ini selama bertahun-tahun. Kini sudah waktunya aku untuk mengundurkan diri. Salah satu dari kalian akan menjadi pewaris tahta. Ingatlah, aku menyayangi kalian semua. Tidak mudah bagiku untuk mengambil keputusan ini. Pada hari ketujuh, aku akan mengadakan sayembara di depan seluruh rakyat , barangsiapa dari kalian yang berhasil menaklukkan tantangan dariku, dialah yang akan mewarisi tahta dan memerintah Teteholi Ana'a."

Mendengar titah ayahnya, Bawuadano terkejut. Seperti disulut api, kemarahannya terbit.

" Ayahanda! Aku adalah putra tertua. Akulah yang seharusnya mewarisi tahtamu. Untuk apa mengadakan sayembara !" serunya.

" Kakak! Bersikaplah sedikit sopan, Ayah hanya mencoba bersikap adil' sergah Daeli, putra Sirao kedelapan. Raja Sirao bergeming, seperti sudah tahu apa yang akan terjadi.

Bawuadano mendengkus, memandang Daeli dengan jengkel. Kemarahannya memuncak.

"Ayah! Aku tidak setuju dengan sayembara ini. Mereka semua terlalu lemah untuk menjadi raja. Tidak ada pilihan lain. Hanya aku yang pantas untuk menggantikanmu!" Tangannya teracung, menunjuk delapan adiknya yang berbaris di belakang.

Luo Mewona, putra bungsu Sirao terkesiap. Belum pernah dilihatnya Bawuadano dikuasai kemarahan yang meluap-luap. Luo Mewona pelan-pelan mundur. Berharap bisa menutup mata dan telinga. Tidak ingin melihat dan mendengar lebih jauh apa yang akan terjadi.

" Bauwadano, bagaimana mungkin kau merasa layak menjadi Raja di Teteholi Ana'a? Beberapa hari terakhir terjadi pemberontakan dan kerusuhan di wilayah yang semestinya kau jaga. Itukah yang kau banggakan sebagai suatu prestasi , jaminan bahwa kau akan menjaga negeri ini dengan aman? Atau mungkin kau sendiri yang menciptakan kerusuhan itu? " Pangeran kelima maju menantang Bawuadano. Sorot matanya tajam, menuduh.

Bawuadano mengejang, tak menyangka ada yang berani melawannya.

Simanga Bua, pangeran keempat, tak tahan lagi. Badannya condong ke depan, bersiap menyerang Bawuadano dengan sihir yang dikuasainya. Belum sempat tangannya terayun, Raja Sirao mengayunkan tongkat sihir, seketika itu kilat cahaya memukul pelan tangan Simanga Bua. Simanga Bua terkejut. Memandang ayahnya tak percaya.

" Ayah tidak ingin hal seperti ini terjadi. Sayembara diadakan agar rakyat tahu bahwa pemilihan pewaris dilakukan secara adil. Ayah tidak ingin berdebat, pergilah dan istirahatlah! kita bertemu lagi di hari ketujuh" Raja Sirao mengibaskan tangannya. Suatu perintah agar semua orang pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top