Bab 1


Sembilan telur emas itu berubah menjadi sembilan bola api, menggelinding menembus tingkatan langit, jatuh ke bumi dan membakar semua yang ada di permukaannya. Raja Sirao bangun terduduk, peluh membasahi keningnya, napasnya memburu. Mimpi buruk itu datang lagi. Permaisuri yang berjaga di samping tempat tidur, ikut tersentak. Lalu buru-buru mengambil segelas air dan memberinya minum.

"Ada apa Yang Mulia? mimpi itu lagi?"

Raja Sirao mengangguk, mengambil gelas dari tangan Permaisuri lalu meneguk isinya sampai tandas. Permaisuri memandang wajah Raja dengan penuh kasih. Gurat-guratan di wajahnya terlihat semakin jelas, beban berat tampak sekali di mata Raja.

"Jangan memikirkan tentang kabar burung itu. Anak-anak kita tidak mungkin melakukan hal-hal yang dapat membuat rakyat menjadi resah."

Permaisuri mengengam erat tangan Raja. Berharap bisa memberinya sedikit ketenangan.

Raja Sirao bangkit berdiri, berjalan menuju jendela kamar. Dari jendela kamar, terlihat jelas negeri Teteholi Ana'a. Negeri di langit pertama yang diciptakan oleh Lowalangi dari udara berwarna-warni yang diaduk dengan tongkat sihir. Tampak pula tombak besar yang menancap di tengah-tengah lapangan, tinggi menjulang sebagai tanda bahwa Teteholi Ana'a adalah penopang lapisan langit di atasnya. Di sebelah barat lapangan, berdiri kokoh patung burung elang raksasa yang diukirnya berpuluh tahun yang lalu, simbol bahwa Raja akan menjaga rakyat seperti elang yang menjaga anak-anaknya.

Raja Sirao mencondongkan tubuh keluar jendela. Menghirup udara segar, berharap bisa melegakan beban yang menggelayut di hatinya. Betapa berat hari-hari di masa tuanya. Pemberontakan dilaporkan bertubi-tubi beberapa hari belakangan ini. Masih terngiang di telinganya cerita salah satu rakyat yang sempat dia temui ketika menyamar turun ke desa.

"Putra sulung Raja akan memberontak. Beberapa dari kami sudah direkrut menjadi tentara. Tinggal menunggu waktu dan perintah saja," kata laki-laki lugu yang ditemuinya di pasar kala itu.

Raja Sirao menghela napas panjang, menggengam erat tongkat sihir warisan Lowalangi, berharap tongkat itu mampu memberinya lagi kekuatan, sama seperti dahulu ketika dia ragu memimpin kerajaan Teteholi Ana'a.

"Yang Mulia, kembalilah beristirahat, angin malam tidak baik untuk kesehatan." Suara lembut Permaisuri membuyarkan lamunannya.

"Panggilah Panglima Kerajaan. Aku sudah membuat keputusan".

Permaisuri diam, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Raja menghampirinya lalu meremas bahu Permaisuri.

"Aku harus melakukan ini. Percayalah padaku. Lowalangi sudah menentukan takdir. Di antara mereka sudah ada yang digariskan untuk menggantikanku."

Permaisuri meraih tangan Raja dan menggengamnya erat. Memandang matanya mencari keraguan yang mungkin tampak. Tak ada keraguan di mata laki-laki itu. Raja mengangguk, sebagai tanda bahwa ia sangat yakin akan keputusan ini. Permaisuri lalu keluar dari kamar, memberi perintah kepada pelayan agar memanggil Panglima Kerajaan.

Tanpa menunggu lama, Panglima Kerajaan datang menghadap. Membungkuk hormat dan siap menerima perintah.

"Pada hari ketujuh ketika langit cerah, kumpulkan rakyat dan semua pangeran di halaman Istana. Aku akan mengadakan sayembara untuk memilih siapa yang akan menjadi penggantiku!" perintahnya.

"Ketatkan pengamanan di setiap desa tanpa harus menakuti rakyat. Jangan pernah memicu tindak kekerasan. Tetap waspada terhadap semua tanda-tanda pemberontakan," lanjut Raja Sirao. Panglima Kerajaan mengangguk, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun keluar dari kamar.

Raja Sirao duduk terpekur, memijat keningnya berkali-kali. Bayangan kesembilan putranya bekelebat di benaknya. Sembilan putra yang disayanginya. Bagaimana mungkin dia harus memilih salah satu diantara mereka, lalu membuang yang lainnya pergi dari Teteholi Ana'a?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top