cantus two

"Masa depan adalah sebuah misteri. Mereka memperbudakmu menuju kegelisahan; pada penderitaan yang akan timbul jika kau tak bekerja keras; juga ambisi menggapai hidup cemerlang untuk ketenangan di hari tua.

Sebetulnya, Sayangku, mereka hanyalah tamu kurang sopan yang datang dan pergi seenaknya. Kau bertanya padaku apa yang harus kau lakukan?

Jangan menaruh harap pada mereka.
Jangan pernah."

─Ailuinriella─

HARI ITU adalah hari pembukaan semester baru; semester musim semi di kota S, tepatnya Quaver High School. Aroma bunga yang bermekaran mengawang di setiap jalan, memberi sensasi harum yang memanjakan indera penciuman. Matahari pagi menyinari batu-batu kerikil di jalan masuk yang lebar menuju bagian depan gedung sekolah. Di sebuah tempat menimba ilmu musik terbelakang, di sanalah Seira Ji berada.

Sungguh kabar yang tak terduga, tentu saja. Kalangan keluarga besar menyangka, Seira menjadi siswa Quaver High School untuk membuktikan di mana pun dirinya berada, dia cukup layak tetap bersinar dan menjadi pusat semua orang. Mereka membungkus pujian-pujian semanis gula di hadapannya, betapa Seira sangat hebat seperti biasa, tetapi dia tidak bodoh. Mereka sedang menghinanya hanya karena akreditasi sekolah. Dan gosip orang tuanya membuang Seira mutlak menjadi santapan umum, entah siapa yang menyebarkan.

Kemudian, mau tak mau, Seira hanya perlu tersenyum seolah itu tak pernah melukai hatinya. Biarlah, ia enggan buka suara. Untuk apa repot-repot membela diri atau menjelaskan, jika telinga dan mata mereka sudah ditutup rapat? Hanya mulut penuh cibiran yang selalu mereka gunakan tanpa berpikir.

Seira selalu menerjemahkan beragam pujian tersebut dalam khayalan yang sedikit menjengkelkan, salah satunya: "Oh, Seira yang malang! Dia mendapat undangan-undangan dari sekolah ternama dan terus berdatangan setiap harinya. Seharusnya sekarang dia masuk Melody High School, atau bahkan sekolah luar negeri. Gadis bodoh, dia malah tidak menerimanya!"

Justru merekalah yang bodoh. Sekolah nomor satu di kota S pun tidak menjamin kesuksesan, dan berakhir di sekolah terbelakang bukan berarti tak memiliki kesempatan.

Pada upacara pembukaan, Tuan Cha selaku kepala sekolah memperkenalkan Seira sebagai siswa paling berprestasi─itu sudah jelas. Beberapa pasang mata siswa menatapnya kagum sekaligus tak percaya, sementara sisanya menghunus tatapan berang. Seira Ji tidak seharusnya berada di sini, levelnya sangat jauh dan tidak sebanding dengan kebanyakan murid Quaver High School. Itulah sebabnya mereka mengira Seira hendak mengambil segala kesempatan yang ada.

Seira paham jika nantinya ia akan sulit diterima, atau barangkali telinganya akan dicekoki gosip-gosip simpang siur mengenai dirinya. Ia berusaha untuk tidak peduli pada pandangan orang-orang. Mereka tidak tahu alasan yang melandasi keputusannya masuk ke sini, meski itu berarti segalanya tak lagi sama. Seira tetap bermain biola, tapi tidak akan mengikuti kontes sampai ia cukup yakin bahwa ini adalah dirinya.

Namanya sebagai Seira Ji si violist muda meredup? Tak masalah, toh ia memang ingin hidup biasa-biasa saja; membebaskan diri dari tuntutan prestasi. Kursus biolanya bahkan dilakukan seminggu sekali pada akhir pekan. Seira hanya memberikan jeda sejenak, sebelum melompati batu yang lebih tinggi. Meskipun di rumah orang tuanya menjadi lebih sering marah dan Seira merasa tersudutkan, sungguh tak apa. Ia sudah mendoktrin diri bahwa keputusannya merupakan jalan yang benar bagi Seira supaya tetap waras; tidak ada pilihan mundur dan harus tetap melangkah.

Seira mencintai biola sepenuh hati, dan ia tak ingin menggila hanya karena tuntutan kriteria kesuksesan orang-orang.

**

Di kelas, selain guru-guru, tidak ada yang berani mengajaknya bicara─kecuali jika terpaksa, seperti perkara yang mengharuskan sosialisasi. Mereka terburu-buru bicara kepada Seira, selalu tidak lebih dari sepuluh detik, dan menatap matanya saja enggan. Seira seolah bertransformasi menjadi jelmaan iblis, siluman, atau monster. Sebelumnya pun ia sangat sering merasa kesepian. Seira tak pernah benar-benar memiliki teman, kebanyakan mendekatinya untuk menjilat. Syukurlah di sekolah barunya belum ada. Keberadaannya bagai makhluk gaib bukan sesuatu yang harus ia keluhkan.

Pada hari Kamis siang, seusai istirahat kedua, merupakan jadwal pembelajaran di studio musik yang paling lama hingga bel pulang sekolah berbunyi. Biasanya Nyonya Reo akan memberikan sedikit teori dan pengarahan, setelahnya para murid dibebaskan bermain atau menciptakan lagu. Jam belajar favorit seluruh siswa di sekolah musik mana pun.

Ruang studio musik di Quaver High School tidak sebanyak sekolah-sekolah musik ternama, tapi setidaknya cukup untuk menampung tiga kelas pada jadwal yang sama. Pencahayaannya sengaja diredupkan dan dipadukan dengan dinding kedap suara bernuansa gelap; memberi impresi misterius dan konsentrasi penuh pada alat musik yang dimainkan. Studio musik ini berkepribadian seperti dirinya dan Seira seolah terhubung. Seira tengah berkhayal dirinya adalah si putri di panggung, leluasa menggesekkan senar biola tanpa penonton.

Dia tidak akan disambut suara meriah tepuk tangan, yang ada hanyalah warna-warni melodi sinestesia─tentu saja lewat imajinasinya, Seira tak memiliki kekuatan tersebut. Merah muda, biru langit, hijau rumput, kuning pendar kunang-kunang, serta beragam warna pastel. Barangkali sinestesia memang nyata, tak seorang pun bakalan memercayainya.

Sewaktu dia berhenti dan melongok sekeliling, studio musik kosong melompong─betulan tak ada penonton atau anak-anak lain. Jam di dinding menunjukkan pukul empat sore, rupanya Seira larut dalam permainannya. Tetapi tepat pada saat itu Seira terkesiap. Di sudut ruangan dekat piano, seseorang sedang memperhatikannya tanpa ekspresi. Ditilik dari gaun asimetrisnya yang putih berkilauan, jelas dia bukan seorang siswa. Sosoknya tampak masih muda, berambut cokelat keemasan bergelombang, memakai semacam mahkota daun di bagian depan kepala, cantik, dan ... tidak asing.

Warna-warni melodi sinestesia masih melayang di ruangan.

"Halo, Seira Ji," sapanya, dalam aksen merdu yang belum pernah ia dengar. "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu."

Tatkala dia bersuara, Seira menyadari paras cantiknya sangat tidak realistik; kulitnya putih pucat, bulu matanya lentik tapi terlalu panjang (seperti berpasangan dengan mahkota daunnya), sedangkan bola matanya kuning keemasan dan sulit meyakinkan apakah dia memiliki sklera atau tidak.

"Sepertinya," kata Seira pada diri sendiri, melangkah mundur, "aku sudah gila ...."

"Seira? Kau tidak mengenaliku?"

Alih-alih melanjutkan haluan dirinya-sudah-gila dan memutuskan minggat-supaya-tetap-waras, pertanyaan barusan menarik atensinya. Jawaban yang mudah adalah berterus terang mengatakan tidak, tapi berdasarkan penuturan si orang eksentrik ini, mereka saling kenal dan sepertinya pernah bertemu. Masuk akal jika di awal Seira merasa tak asing. Dan anehnya ia ingin tahu tentangnya; ada sesuatu dalam diri si eksentrik yang membuat Seira merasa terhubung, dan Seira akan langsung berlari mengejarnya─menemukan ujung perjalanan berupa jawaban.

"Maaf, kurasa aku tidak ... mengenalmu?" balasnya ragu-ragu.

Si eksentrik memandangi Seira lama sekali, lalu dialihkan ke bawah. "Ailuinriella, kalau kau ingat." Kepalanya semakin menunduk, berusaha menyembunyikan wajah di rambut panjangnya yang bergelombang. Sesaat ia begitu terhanyut dalam kesedihannya sendiri. "Aku telah lama menantikan ini ... akhirnya kita bertemu."

Seira mengerjap, berbagai spekulasi menari-nari di benaknya. "Oh, ya? Tapi ... Ailuinriella itu nama biolaku."

"Benar. Itu aku, Seira. Akulah biolamu." Si eksentrik─atau sebutlah Ailuinriella─mengangkat kepalanya. Gurat kesedihannya telah sirna, tergantikan oleh kilauan pada mata yang menandakan harapan. "Aku bersumpah, saat ini aku tidak sedang mengelabuimu," sambungnya.

"Uhm, ini mengejutkan." Akhirnya Seira merespons, kaku dan kebingungan. "Setelah kuingat kembali, warna rambutmu memang sama dengan biolaku. Mahkota daunmu itu ... motif daun yang ada di badan biolaku─mu?"

Ailuinriella malu-malu mengangguk.

Kemudian warna-warni melodi sinestesia telah sepenuhnya pudar.

Mendadak Seira paham mengapa orang-orang percaya déjá vu, meski ini bukanlah pengalaman serupa di masa lalu─melainkan hanyalah perasaan tak asing pada seseorang yang baru ditemui. Nyatanya mereka bersama setiap saat, dalam rentang waktu yang cukup lama sebelum akhirnya Seira punya biola lain. Di hatimu, di ingatanmu, tak peduli betapa konyolnya hal tersebut, yang namanya belahan jiwa selalu dipersatukan dengan cara tak biasa; melawan arus dan seolah sejak awal ditakdirkan bersama. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top