Bagian 4 : The Place Where You're
— 4 —
Suara pintu terbuka dengan kasar, menggema di kediaman milik Gilliam. Namun, sang pria nampak acuh. Tetap duduk santai di sofanya, sembari membaca buku. Ia berpikir, itu pasti bawahannya yang baru menyelesaikan tugas.
Tapi, ketika ia menyadari tangan seseorang meraih bagian depan bajunya, ia membelalak. Dirinya tak sempat untuk melihat tangan siapa itu. Karena dalam gerakan cepat dan bertenaga, Gilliam merasa tubuhnya ditarik lalu dilempar keluar melalui jendela panjang di samping sofa yang ia duduki.
Suara pecahan kaca serasa memenuhi ruangan itu. Dan sang pelaku sendiri, nampak terengah-rengah usai melempar sang pria. Sebelum kemudian ia melangkah mendekati jendela, dan memanjatnya. Berpijak kemudian di permukaan, lalu mendekat kepada Gilliam.
Gilliam sendiri, ia baru saja berdiri dari posisi tersungkurnya. Luka-luka gores yang didapatnya karena menggores pecahan kaca saat ia mendarat, perlahan pulih. Darah merah itu terlihat bergerak mundur dan masuk kembali ke tubuhnya.
Pria itu mendongak. Menatap sosok wanita berambut biru, dengan iris mata blue cyan. Yang detik ini, tengah menatap dirinya dengan tajam.
"Kenapa kau lakukan itu?" tanya Fionna mengepalkan satu tangannya. Menahan diri untuk tidak menghajar Gilliam lagi. Karena dirinya sadar, itu tidak ada gunanya.
Gilliam memiringkan kepalanya. mengisyaratkan sebuah ketidaktahuan.
"Ferdinand Lucian!" sebut Fionna lantang. "Kau ... yang membunuhnya, 'kan? Juga beberapa bawahannya,"
Gilliam mengerjap. Kemudian mengangguk.
Mendapatkan jawaban itu, emosi Fionna kembali memuncak dalam hitungan detik. Tapi ia berusaha untuk tetap diam. Memaksa tubuhnya, diam di tempat.
"Kenapa ...?" tanya Fionna lagi dengan tertunduk. "Kenapa kau membunuhnya? Demi mendapatkan wilayah yang dikuasai oleh Lucian family,"
Gilliam menggeleng.
"Then ... why ...?"
Gilliam mengangkat tangannya perlahan. Menunjuk lurus ke arah Fionna. Yang sukses, membuat sang wanita mengerutkan kening.
"Aku?" tanya Fionna.
Gilliam mengangguk. "Because of you." Ucapnya hanya menggerakkan bibirnya.
"Ha? Apa-apaan itu? Kenapa pula karenaku?!" sentak Fionna.
Gilliam terdiam mematung pada posisi duduknya. Lalu perlahan menggerakkan kedua tangannya. Bahasa isyarat.
[Karena kau mengatakan lelah dengan itu semua, 'kan? Jadi, aku akhiri saja,]
Fionna merasa napasnya terhenti sesaat. Dan dengan cepat, sang wanita menyambar kerah baju Gilliam. Menarik pria itu hingga ia bangkit, lalu langsung meninju salah satu pipinya dengan kuat. Membuat Gilliam kembali tersungkur lagi.
"Jangan bercanda," ucap Fionna mendekat kepada Gilliam, dan menduduki tubuh pria itu. "Jangan bercanda, kau monster!"
Lagi, tinjuan dilepaskan ke tempat yang sama.
"Kapan aku memintamu melakukan itu!?" teriak Fionna seraya kembali meninju wajah Gilliam. "Aku tak pernah memintamu mengurusi masalahku! Aku tak pernah menyuruhmu untuk membunuh Ferdinand! Aku tak butuh bantuanmu! Aku bisa berdiri sendiri! Aku ... aku bisa!"
Pukulan--yang entah sudah keberapa--itu terhenti ketika tangan Gilliam menahan kepalan Fionna. Wajah sang pria nampak hancur. Memar di segala sisi, dan sudut bibirnya terlihat robek. Tapi itu hanya sementara. Karena setelahnya, semua memar dan luka itu menghilang.
Mengembalikan sosok Gilliam seperti sedia kala.
"Kenapa ...?" Suara Fionna bergetar bersamaan dengan tangannya yang digenggam Gilliam, juga gemetar. "Kenapa kau melakukan itu, Gill? Kau dan aku, tak lebih dari musuh. Kau adalah target pembunuhanku. Tapi kenapa ...?"
Gilliam membelalak akan tetesan air yang jatuh membasahi pipinya.
"Aku ...," Fionna berucap kembali dengan sesenggukan. Air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya, dan membasahi pipinya. "Aku tidak selemah itu, sehingga harus kau tolong, Gilliam. Aku—!!?"
Gilliam bangkit dengan cepat, membungkam mulut Fionna dengan sebuah ciuman. Sang wanita jelas membelalak, berniat untuk melepaskan ciuman itu. Tapi tubuhnya menolak. Tubuhnya tetap setia di tempatnya, dan menikmati sentuhan lembut nan penuh kasih yang dirasakan bibirnya.
'Kenapa ...?' batin Fionna menatap Gilliam tak percaya. 'Apa yang kau mau dariku, Gilliam Davies?'
Perlahan, Gilliam melepaskan ciumannya. Menatap sayu wajah Fionna. Perlahan menyikat helai rambut birunya, yang sedikit menutupi wajahnya.
Tapi kemudian, Gilliam kembali dikejutkan dengan tindakan Fionna yang mendorong tubuhnya hingga ia kembali berbaring. Baru saja ia hendak memproses apa yang terjadi, sebuah ciuman mendarat di bibirnya. Wanita berambut biru itu, ganti menyerang.
Namun kali ini, ciuman sang wanita terasa kasar. Karena begitu Fionna menyerang bibirnya, ia menggigit kuat bibir bawah Gilliam--yang sukses membuat sang pria mengernyit. Dan gigitan itu sukses mengalirkan darah segar, yang langsung dihapus Fionna dengan lidahnya.
Menyadari itu, Gilliam memilih untuk menyerah. Membiarkan Fionna mendominasi ciumannya tersebut.
Tak lama kemudian, Fionna memecah ciuman kasar itu. Meninggalkan seuntai benang saliva yang entah milik siapa. Dan keduanya terlihat sedikit terengah-rengah.
Gilliam menatap iris blue cyan milik Fionna lurus. Perlahan, tangannya bergerak naik. Menyeka noda darah--yang ia yakini miliknya--di sudut bibir sang wanita. Lalu ganti mengusap salah satu pipinya yang masih terasa basah oleh air matanya.
"Kau bertanya kenapa aku melakukannya, 'kan?" ujar Gilliam menggerakkan bibirnya. Komunikasi lewat ketikan atau tulisan, akan memakan waktu. Dan momennya juga tidak memungkinkan.
Fionna terdiam. Tapi Gilliam menganggap sikap diam itu sebagai jawaban ya.
"Karena di sana bukanlah tempatmu, Fio. Orang-orang yang tak menghargaimu karena kekuranganmu, kau tak pantas di sana," lanjut Gilliam menangkup wajah Fionna. "Disini lah, adalah tempat kau seharusnya berada Fio. Bersamaku."
Manik biru cyan itu terlihat berkaca-kaca. Dan bibir sang wanita mulai gemetaran untuk melawan dirinya, menumpahkan emosinya lagi. Tapi sayang, usahanya gagal. Tangisan kembali tumpah. Air mata, sekali lagi membasahi kedua pipi Fionna.
"I love you, Fionna," ucap Gilliam lagi. Bangun dari posisinya, dan mencium bibir Fionna singkat. "Siapa nama tengahmu?"
"Eh?" Fionna terkejut ditengah tangisnya. "N-nama tengah?"
Gilliam mengangguk.
"K-Kiara," jawab Fionna sembari menyeka air matanya dengan kedua tangannya.
Tapi kemudian gerakannya terhenti, karena Gilliam yang meraih kedua tangannya. Dan menatap lurus kepadanya.
"Fionna Kiara Evie, please marry me." Ucap Gilliam serius.
— 4 —
Note:
Next is final chapter of Raison D'etre.
And, what do think about this story? :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top