Bagian 3 : Counterattack

3

[Bunuh ia segera, atau kepalamu akan menjadi pajangan dinding.]

Fionna menatap pesan singkat itu dalam diam. Terus, ia memandanginya dengan pikiran kosong. Sebelum akhirnya, ia menyimpan ponselnya lagi dan membalikkan badan. Ganti memandang Gilliam yang masih dalam keadaan terlelap.

Ini sudah satu setengah bulan berlalu, semenjak ia menjadi bagian dari Davies family. Dan selama waktu itu juga, banyak hal yang ditemukan Fionna. Mulai dari yang konyol, sampai menyedihkan sekalipun. Bahkan sejujurnya, ia sudah lupa akan tujuan utamanya yaitu membunuh Gilliam Davies.

Dirinya sudah merasa nyaman berada di family tersebut. Termasuk, bersama Gilliam.

Fionna mengangkat tangannya perlahan. Berniat mengusap salah satu pipi Gilliam. Tapi seketika, gerakan tangannya terhenti karena salah satu mata Gilliam, terbuka sepenuhnya. Yang kemudian, sebuah senyum tipis terukir di bibir sang pria.

"Halo, Fio," sapa Gilliam tanpa suara. Kondisi merepotkan. Dan tidak, ia bukan bisu. Tetapi, suaranya tidak dapat keluar.

Fionna tak menjawab. Hanya memandangi wajah mengantuk Gilliam. Tapi setelahnya, wanita itu tersenyum tipis.

"Pagi, Gill," balas Fionna mengusap pipi Gilliam. "Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"

Gilliam mengangguk lemah, dan kemudian kembali memejamkan matanya. Namun bukan untuk tidur kembali, melainkan merasakan usapan tangan Fionna. Ini kali pertamanya, wanita tersebut melakukan hal semacam itu.

Gilliam membuka kembali matanya. Menatap wanita berambut biru di hadapannya selama beberapa detik. Ia kemudian sedikit membalikkan badan, untuk meraih ponselnya yang berada di side desk samping kasurnya. Mengetikkan sesuatu, lalu menunjukkannya pada Fionna.

["Kau baik-baik saja?"]

Membaca itu, tangan Fionna spontan kembali ia tarik dari pipi Gilliam. Memposisikannya di dadanya, dan membungkusnya dengan tangan yang satunya.

"Aku ... mendapat pesan darinya," jawab Fionna.

Gilliam mengerutkan kening. Darinya?

Pria itu kembali membalik ponselnya. Mengetikkan sesuatu, lalu menunjukkannya kepada Fionna lagi.

["Lucian family?"]

"Ya," Fionna mengangguk. "Ia memintaku untuk segera membunuhmu, atau akulah yang akan jadi penggantinya.

Tapi yang utama, bagaimana pula caranya aku bisa membunuhmu?! Kau ini seorang immortal, mau kubunuh hingga pisauku berkarat sekalipun, kau takkan mati!"

Gilliam terdiam mendengar itu. Ia tak mungkin menyanggahnya, karena memang begitulah kebenarannya.

"Dan lagi ...,"

Suara Fionna kembali terdengar. Membuat Gilliam kembali memfokuskan diri pada sang wanita. Tapi, begitu ia menatapnya dengan serius, bisa ia lihat bahwa tubuhnya gemetaran. Bahunya terlihat naik turun.

"Sesungguhnya, aku sudah lelah berada di sisi mereka," lanjut Fionna lagi dengan suara parau, "aku sadar bahwa diriku tidak lebih dari seorang pembunuh tuli. Tapi mereka ... mereka sama sekali tak menghargaiku. Jika aku gagal dalam misi, mereka akan memperlakukanku seperti sampah.

Aku lelah dengan itu semua. Aku benci mereka! Benci! Benci!"

Tangis pun seketika pecah. Fionna tak peduli jika Gilliam akan menertawakannya, mengejeknya atau apapun itu. Ia sudah terbiasa menerima perlakuan semacam itu. Tapi yang terjadi, justru diluar dugaan.

Gilliam meletakkan ponselnya kembali. Kemudian merangkul tubuh Fionna, dan menariknya dalam pelukannya. Hingga ia merasa, kening Fionna bertemu dengan dadanya. Salah satu tangannya, bergerak mengusap rambut sang wanita. Memberikannya ketenangan kepadanya.

Sedangkan Fionna sendiri, jelas terkejut akan hal itu. Ia berniat melawan, melepaskan diri dari dekapan tersebut. Namun nyatanya, tubuhnya menolak pemikiran itu. Dirinya justru diam dengan raut wajah terkejut. Tapi setelahnya, ia memutuskan untuk menerima perlakuan itu.

Membiarkan Gilliam memeluknya, dan meredam tangisannya yang kembali pecah.

Yang tanpa Fionna sadari, iris hitam milik Gilliam menajam bak pembunuh.

— 3 —

Fionna berlari secepat yang ia mampu. Melewati penjagaan yang ada, dan akhirnya ia tiba di ruang kerja pimpinan Lucian family. Wanita itu terpaku di tempatnya dengan napas terengah-rengah. Menatap pemandangan berdarah yang tergambar di hadapannya.

Di hari berikutnya, pagi-pagi sekali Fionna mendapat pesan singkat akan pembunuhan bos Lucian family. Sebagai assassin yang masih terikat dengan family tersebut, Fionna langsung pergi ke kediaman atau markas utama Lucian family. Dan mendapatkan pemandangan berdarah ini.

Di ruangan di hadapan Fionna, nampak pimpinan Lucian family--Ferdinand Lucian--duduk bersandarkan meja kerjanya dengan keadaan bersimbah darah. Kedua telinganya terpotong dan tergeletak sembarangan di lantai. Lehernya digorok dalam, mulutnya menganga lebar dan ditusukkan dengan pisau hingga menembus lehernya yang digorok itu.

Di sekitar mayatnya yang memilukan itu, beberapa bawahannya tergeletak tak bernyawa juga dengan kepala terpenggal. Sebenarnya, manusia macam apa yang menyerang mereka? Bagaimana bisa sesadis ini?

"Cyan!"

Suara seorang pria terdengar keras. Namun Fionna tak melirik sedikit pun ke asal suara tersebut. Barulah, ketika ia menyadari ada bayangan yang mendekatinya, ia menoleh.

"Apa yang terjadi di sini?!" tanya Fionna lantang. Entah mengapa, melihat pemandangan ini membuatnya murka.

"Davies ...," ucap pria itu terengah-rengah karena harus menaiki tangga, untuk tiba di lantai tiga. Dimana ruang kerja Ferdinand Lucian berada. "Gilliam Davies lah pelakunya!"

Mata biru cyan milik Fionna membelalak. Dia? Untuk apa dia melakukan itu? Apakah sejak awal ia memiliki rencana membunuh bos dari Lucian family? Dan apakah ini tujuan ia meminta Fionna menjadi bagian dari Davies family?

"Apa kau yakin?" tanya Fionna mendekat kepada pria itu.

"Ini rekamannya," jawab sang pria menunjukkan tablet yang dibawanya, kepada Fionna. "Sepertinya, sebelum ia datang kemari, Davies telah membunuh anggota yang bertugas di ruang kamera pengawas. Karena itu, kami terlambat sekali mengetahui kejadian ini."

Fionna ganti memerhatikan rekaman tersebut. Selama itu berjalan, ia nyaris tak berkedip. Fionna menonton setiap aksi yang dilakukan Gilliam. Termasuk, pertarungan singkat yang terjadi. Usai Gilliam berhasil menggorok leher bos Lucian family itu, tiba-tiba tatapan Gilliam yang terekam kamera pengawas, jatuh ke arahnya. Pria itu terdiam menatap ke arah kamera pengawas, lalu tersenyum sinis.

Dan detik berikutnya, rekaman itu berhenti merekam karena kamera yang ada di ruangan tersebut, tampaknya dihancurkan.

"Aku ... akan mengurus ini." Ucap Fionna dengan sorot mata yang menggelap.

— 3 —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top