7). Some Reasons to Leave
Seorang pria berkepala empat melempar tas kerjanya asal, mengabaikan bunyi debam keras yang menyusul karena memantul ke lantai, kemudian mendudukkan dirinya di sofa. Pria itu menyandarkan kepalanya ke bagian atas sofa, bermaksud menenangkan pikiran dengan caranya sendiri. Seakan tidak cukup, dia mengangkat tangan dan memijat tulang hidung setelah sebelumnya melonggarkan dasinya dengan frustasi.
Setidaknya, ini sedikit banyak telah membantu karena pria itu merogoh sesuatu dari dalam saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Layarnya menunjukkan sebuah foto. Foto tersebut diambilnya secara diam-diam satu jam yang lalu saat Felina berada di mal bersama Vino dan seorang temannya. Meskipun penampilan Felina tomboi, anak itu secantik Nirina sewaktu muda dulu. Tawa lepasnya bahkan sama persis karena sepaket dengan lesung pipi samar.
Herfian bersyukur dia mengabadikan foto Felina di saat yang tepat. Pria itu bahkan mendapatkan beberapa foto lain sebagai bonus, membuatnya bersyukur atas penemuan teknologi super canggih karena bisa membantunya mengobati rasa rindu pada anak semata wayangnya.
Herfian tidak sadar ada seseorang yang ikut melihat foto itu dari balik bahunya.
"Itu siapa, Om?" tanya suara berat khas cowok.
"Oh, kamu. Hmm... bukan siapa-siapa," jawab Herfian, seketika kaget dan berusaha menyembunyikan ponselnya, tetapi gerakannya kalah cepat. Cowok itu berhasil merebut dan memutar tubuhnya supaya bisa menghalangi Herfian mengambil kembali ponselnya.
"Jerico! Kamu nakal banget, sih! Sini, kemarikan hp Om!" perintah Herfian kesal, tetapi sia-sia saja karena Jerico masih sibuk memperhatikan foto-foto tersebut dengan saksama.
Jerico tertawa. "Pelit banget sih, Om! Aku cuma penasaran aja, sebenarnya yang Om lihat tuh yang mana sih? Ada tiga orang di sini. Yang satu cowok, trus satunya lagi cewek berambut pendek, satunya lagi cewek juga sih--hmm nggak jelas wajahnya, tapi rambutnya panjang."
"Yang rambut pendek," jawab Herfian akhirnya sambil berdeham keras seakan berusaha menutupi suasana hatinya.
"Oh... yang lagi ketawa, ya? Hmm... cakep juga sih, tapi sayang tomboi banget. Aku nggak suka sama cewek tomboi," komentar Jerico sambil menyerahkan kembali ponsel tersebut pada Herfian yang sekarang menatapnya dengan tatapan mencela.
"Siapa yang minta pendapatmu?" tanya Herfian sinis, lalu menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku.
"Siapa dia, Om?" tanya Jerico, kelihatan tidak tertarik tetapi nada bicaranya kepo. Dia lantas bergerak ke sofa dan duduk di sebelah Herfian.
"Memangnya kenapa? Bukannya kamu nggak tertarik sama cewek tomboi?" sindir Herfian yang tampaknya masih tidak terima kalau anak kesayangannya dikatain tomboi.
"Soalnya kayaknya dia orang yang penting dalam hidup Om. Tadi aku liat ekspresi wajah Om kayak sedih banget. Frustasi juga."
"Dia... anak Om," jawab Herfian akhirnya setelah menghela napas panjang dan memberi jeda selama beberapa saat. "Tapi dia benci sama Om."
"Loh, kenapa?" Jerico refleks meninggikan suaranya, seketika gagal paham.
"Dulu Om pernah buat salah dan dia belum maafin Om," jelas Herfian sambil membuang napas panjang lagi dan terkesan berat.
"Setiap orang punya salah, kan?" tanya Jerico dan mau tidak mau dia merasa sedikit kesal pada cewek tomboi itu. Gimana ya... menurutnya, tidak benar aja kalau membenci ayah kandungnya sendiri, separah apa pun kesalahannya.
"Ini kesalahan Om," jelas Herfian pelan, menyerupai bisikan. Untung saja Jerico sudah duduk di sampingnya sehingga dia masih bisa mendengarnya dengan baik. "Om pantas diperlakukan lebih parah dari ini. Om sadar dengan kesalahan Om sendiri. Seharusnya Om menyelesaikannya dari dulu, bukannya malah menghindar dari masalah. Seperti... pengecut."
"Emangnya udah berapa lama dia nggak ngomong sama Om?"
"Lebih lama daripada kamu kenal sama Om," jawab Herfian sambil tertawa, berusaha membuat segala hal menjadi lelucon, yang ternyata gagal hingga terkesan menyedihkan. "Delapan tahun."
"Sedangkan aku yang kenal sama Om selama tiga tahun aja aku tau kalo Om nggak jahat," keluh Jerico, terkesan menuduh. "Pasti ada salah paham, Om."
"Mungkin," jawab Herfian tidak jelas. "Om yang memulainya duluan. Kalau saja waktu bisa diputar kembali...."
Jerico hanya bisa menepuk pundak Herfian dengan prihatin. "Aku harap masalah keluarga Om bisa cepat selesai, ya. Nggak lucu kan kalo Om akrab sama aku yang notabenenya nggak punya hubungan darah, tapi sama anak kandung sendiri malah kayak putus hubungan."
Herfian mengangguk. "Tapi janji ya sama Om. Kamu nggak boleh ceritain ke siapa-siapa, termasuk mama kamu."
"Aku ini cowok, Om. Jadi aku bukan tipikal cewek random yang senang ngegosip atau nge-ghibah-in orang di belakang. Soal Mama, gimana mau cerita? Mama aja jarang banget pulang. Kalo nggak ada Om sama Om Fendy, aku berasa jadi anak yatim piatu," keluh Jerico dengan tatapan datar.
"Nggak suka ngegosip atau nge-ghibah-in orang di belakang, tapi kamu suka ngomongin mama kamu. Nah, gimana tuh?" sindir Herfian menyindir meski ada nada jenaka dalam pertanyaannya, menunjukkan kalau pria itu memang sedang bercanda.
"Ck. You always stand by her. Don't you think you're being too much now?" tanya Jerico sembari memicingkan matanya pada Herfian yang kini tertawa lepas khas bapak-bapak.
"Yeah, maybe. That's why I can't hold my family with my own way. Sikap Om malah memperkeruh semuanya. Sepertinya Om memang sepengecut itu."
Jerico menepuk pundak Herfian lagi, kali ini terasa lebih lembut dan menenangkan, membuat pria itu tiba-tiba merasa tenggorokannya tercekat hingga sulit bernapas. Untuk kesekian kalinya di saat yang sama pula, dia harus merasakan sakit pada ulu hatinya.
Lantas setelah bisa mengendalikan emosinya dan merasa lebih baik beberapa menit setelahnya, Herfian merogoh ponselnya lagi untuk menghubungi seseorang. Sementara Jerico, dia sudah kembali ke kamarnya.
"Halo?" Terdengar suara berat cowok dari seberang telepon.
"Aku telpon karena ingin ngucapin terima kasih sama kamu. Aku udah melihat Felina. Dia tumbuh menjadi gadis yang ceria. Aku... aku nggak akan lupain kebaikan kamu," ucap Herfian bersungguh-sungguh.
"Kak Herfian, aku bantu kamu semata-mata karena aku masih punya rasa kepercayaan yang tersisa, tapi perlu digarisbawahi, bukan berarti aku udah maafin kamu. Gimanapun aku nggak bisa maafin orang yang udah melukai hati kakak aku. Lagi pula anggap aja ini kebetulan karena untuk pertama kalinya sejak Felina ditinggalkan, dia mau menginjakkan kakinya kembali ke Bandung trus ternyata dia udah lupa tentang kenangannya di High Mall. Lantas aku jadi kepikiran, apakah ini takdir yang udah ditakdirkan semesta? Apakah kamu layak diberi kesempatan sekali lagi? Itulah sebabnya aku mencoba untuk menghubungi kamu dan mengesampingkan rasa gengsi aku."
"Terima kasih banyak, Vino. Aku janji akan melakukan yang terbaik atas kesempatan yang langka ini. Menurut kamu, apakah aku bisa ketemu sama Felina dan menjelaskan semuanya? Dia pasti benci sama aku."
"Felina hanya liburan tiga hari di sini dan aku sampai sekarang nggak berhasil bujuk dia untuk netap. Tapi aku bakal coba yakinkan dia untuk ketemu sama Kak Herfian."
"Terima kasih, Vino. Aku nggak tau mau bilang apa lagi selain berterima kasih."
"Pasti ada salah paham, kan? Karena sejauh aku kenal sama kamu, aku tau kamu bukan tipikal yang bakal selingkuh sampai punya anak dari wanita lain. Yahhhh... walau potensinya juga ada sih, berhubung selama ini kamu bolak balik Jakarta-Bandung untuk urusan kerjaan. Siapa saja bisa menyangka kamu selingkuh selagi kerja. Tambahannya lagi, kamu berasal dari keluarga konglomerat. Apa sih yang nggak bisa dilakuin sama keluarga yang kekayaannya bisa membeli apa saja?"
Nada bicara Vino jelas bernada sarkastik dan menusuk.
"Percaya sama aku, Vino. Aku... aku... aku hanya pria pengecut yang bahkan nggak berani jelasin ke Nirina yang sebenarnya. Waktu aku sadar, semuanya udah terlambat."
"Itulah sebabnya kamu memperkeruh segalanya, Kak Herfian. Bukannya menjelaskan, kamu malah kabur dan mengabaikan keluarga kamu sendiri. Tindakan kamu semakin menegaskan kalo kamu memang selingkuh dan punya anak dari wanita lain. Itu kesalahan fatal kamu. Dan aku yakin, Kak Nirina terluka bukan hanya karena salah paham aja, melainkan karena sikap kamu yang sangat tidak bertanggung jawab. Sudah delapan tahun, Kak Herfian. Itu bukan waktu yang singkat. Jadi kurasa kalo kamu masih aja mengulangi kesalahan yang sama, kamu nggak akan pernah bisa memperbaikinya lagi. Mungkin kamu akan menyesal selama sisa hidup kamu."
"Iya, Vino. Aku janji akan menjelaskan dan memperbaiki semuanya."
"Oh ya, soal Felix, apa kamu tau kalo dia tinggal sama seorang cewek di apartemen? Kenapa kamu biarkan Felix kabur dari rumah?"
"Dia yang memilih untuk lepas dari aku, Vino. Aku nggak berhak melarangnya," jawab Herfian dengan nada letih. "Dan soal dia tinggal sama Cindy, aku udah tau dan aku diam-diam tetap mengawasi dia."
"Tapi dia anak kamu, Kak. Oh ya, asal kamu tau, Felina berusaha mencari jejak Felix sejak aku kuliah di Bandung. Dia nggak benci adik tirinya, malah sayang. Ini juga yang menjadi alasan utama mengapa Felina sampai mau mengunjungi Bandung walau cuma tiga hari."
"..."
"Yang aku tau, Felina merasa dirimu yang menyebabkan hancurnya keluarga kalian. Kalau kamu nggak selingkuh saat itu, nggak mungkin ada Felix yang hadir di antara kalian. Jadi nggak mungkin ini salah Felix, kan?" ketus Vino. "Aku akan berpura-pura nggak tau sampai tiba saatnya permintaan maaf kamu diterima sama Kak Nirina."
"Iya, Vino. Aku janji dan sekali lagi terima kasih, ya."
Klik. Tut. Tut. Tut.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top