6). Bandung and Memories

Mobil Vino meluncur mulus di jalan Tol Cipularang yang merujuk ke kota Bandung. Felina mengalihkan atensinya ke luar jendela dan segera mengakui kalau kota kembang tersebut telah berubah banyak sejak terakhir kali--sekitar delapan tahun yang lalu; mulai dari segi infrastruktur, objek wisata, hingga gedung-gedung pencakar langit yang bertambah secara signifikan.

Dulu saat Felina masih kecil, dia sering mengunjungi kota Bandung setiap akhir pekan. Biasanya dia akan menghabiskan harinya dengan mengunjungi mal tempat papanya bekerja. Cewek itu sudah lupa apa namanya, yang jelas asal katanya dari bahasa Inggris.

"Kita ke mana sekarang?" tanya Felina saat mobil yang Vino kemudikan telah sampai di Bandung dan asyik bereksplorasi bersama kendaraan lain.

"Lo ada rencana ke mana nggak?" tanya Vino balik tanpa menoleh. Cowok itu memang serius kalau sedang menyetir. Tambahannya, dia juga setaat itu dengan peraturan lalu lintas. Padahal yang Felina tahu, banyak pengemudi yang selalu asal dalam menyetir, bahkan banyak yang sengaja melanggar rambu lalu lintas.

"Nggak sih--bentar," kata Felina ketika merasakan ponselnya berdering, melantunkan chorus lagunya The Boyz berjudul Bloom Bloom.

Felina auto menyanyikan barisan lagu tersebut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, mengikuti alunan musik namun siapa sangka Vino turut menyanyikannya meski tatapannya masih berfokus pada jalanan di depannya.

"Bloom Bloom Pow
neowa kkoch-i pieona
muldeul-yeo wawa (wow)
naegelo wa (wow)
Bloom Bloom Pow
nae mamsog-eul chanlanhi
bichueo wawa (wow)
bich-eulo wa--astaga, mampus gue! Gue lupa ngabarin Vesya--halo?"

"FELINA!" pekik Vesya, berhasil membuat Felina auto menjauhkan ponsel sebelum gendang telinganya rusak. "Lo tega banget sih sama gue! Masa lo nggak ngabarin kalo lo ada di Bandung, sih?"

"Ups... maaf yaaaa," ucap Felina dengan nada menyesal. Dia bukannya sengaja tidak mau mengabari Vesya, melainkan dia benar-benar lupa. "Tapi gue baru nyampai, kok. Beneran. Lo di mana sekarang?"

"Di mana kentut lo!" umpat Vesya kesal. "Coba aja kalo lo nggak update instastory lo barengan Kak Vino, kali aja gue nggak tau lo ada di sini! Jahat banget, sih! Jadi, buruan ngasih tau di mana lo sekarang?"

Felina tersenyum geli. Padahal dia baru saja menanyai Vesya di mana keberadaannya. Jika sobatnya bertanya balik biasanya menandakan kalau emosinya belum mencapai level tertinggi. "Seperti yang gue bilang tadi, gue masih dalam perjalanan dan belum punya tujuan. Palingan kalo emang nggak ada, gue bakal langsung ke rumahnya Vino buat mandi atau apa deh. Lo?"

"Ke High Mall aja deh, gimana? Gue kebetulan lagi di sini nih sama rombongan temen-temen gue. Kita ketemu di sana aja, oke? Kabari aja kalo udah sampe."

"Siapa tuh?" tanya Vino, menghalangi Felina merespons usul dari Vesya. "Kalo liat dari reaksi lo, pasti Vesya yang nelpon ya?"

"Tau aja lo. Iya nih, Vesya yang nelpon. Kita ke High Mall aja ya, soalnya Vesya nunggu di sana. Jadi kita bisa sekalian makan siang di sana, gimana?"

"A-apa? High Mall?" ulang Vino, sempat terdengar kaget sebelum melanjutkan, "Ya udah deh, kita ke sana."

"Sip, Sya. Vino udah setuju. Nanti gue kabari lo ya kalo kita udah sampai," kata Felina pada Vesya sebelum mengakhiri pembicaraannya dan menoleh ke arah Vino dengan tatapan aneh, berpikir sebentar, lalu mengubah ekspresi wajahnya. "Oh ya, lo sebenarnya kerja di mana sih? Gue denger lo cuma karyawan biasa."

"Kenapa kedengarannya ngeledek, sih?" tanya Vino dengan ekspresi penuh celaan. "Namanya karyawan biasa ya kerja kantoran gitu. Fleksibel kok kerjaan gue, tenang aja."

"Karyawan tapi fleksibel? Salesman dong?" tanya Felina, sementara mobil Vino membawa mereka ke area basement High Mall.

"Ck. Muka kece kayak gue ini cocoknya jadi CEO, Fel, bukannya salesman. Gimana sih, ah!" protes Vino setelah selesai memarkir mobilnya dengan aman dan melepas seatbelt, disusul Felina.

"Ya... tapi katanya lo kerja jadi karyawan, kan?" tanya Felina sambil memutar bola matanya dengan jengah.

"Oh iya ya," sahut Vino meski dia sama sekali tidak merasa malu. "Eh kabarin Vesya dong, nanyain dia kita ketemuan di mana?"

"Oke. Halo Sya, lo di mana?" tanya Felina, segera berbicara saat panggilannya berhasil tersambung selagi dia mengikuti langkah pamannya menuju lift.

"Gue di lantai dua. Ketemuannya di Gramedia aja, ya. Gue sekarang otewe ke sana."

"Oke deh," jawab Felina, mengalihkan atensinya lagi ke Vino. "Setelah ketemu Vesya, kita makan dulu ya, Vin. Gue laper banget."

Vino menoleh, lantas berpura-pura memperlihatkan raut mukanya yang protes. "Bayar sendiri, tapi."

Felina mencibir. "Siapa sih yang ngajak gue liburan ke Bandung? Lo lupa ya posisi gue sekarang itu sebagai tamu yang diundang?"

Vino mengangguk polos. "Ya, sih. Tapi perasaan gue nggak bilang mau traktir lo deh. Lo-nya aja yang mupeng alias muka pengen."

"Ck. Kalo traktir pizza boleh dong?" pinta Felina pantang menyerah, bertepatan dengan dentingan khas lift yang menandakan tujuan akhir dan pintu terbuka secara otomatis. Keduanya segera keluar dan bertolak menuju Gramedia sesuai kesepakatan.

"Vin, gue ke toilet dulu ya. Lo ke Gramedia aja dulu ntar gue nyusul," kata Felina ketika merasakan panggilan alam mendadak dan beruntung ekor matanya melihat petunjuk toilet yang letaknya tidak jauh dari Gramedia. "Jangan ke mana-mana ya, gue belum nagih pizzanya loh!"

Vino menganggukkan kepalanya dan membentuk isyarat 'Oke' dengan jemarinya sebelum meneruskan langkahnya ke Gramedia dan Felina berbelok ke kanan menuju toilet.

Sebelum mencapai toilet, Felina harus melewati sebuah lorong yang cukup lebar. Pencahayaan di sana tidak terlalu terang sehingga terkesan horor, apalagi dia bisa mendengar langkah kakinya yang bergema.

Awalnya Felina mengira hanya dia satu-satunya pengunjung toilet, sampai dia mendengar langkah seseorang yang mendekat dan pintu utama dibuka dari luar. Cewek itu bisa memperhatikan wajahnya karena dia kebetulan sedang mencuci tangan di wastafel.

Usianya mungkin sepantaran anak SMA, tetapi pakaiannya memberi kesan terlalu seksi karena potongan pakaiannya yang terlalu minim. Selebihnya, Felina tidak memperhatikan karena seperti biasa dia tidak sekepo untuk mengurusi hal yang bukan urusannya apalagi terhadap orang asing.

Sayangnya meski Felina berpura-pura tidak melihat, telinganya tidak bisa berpura-pura.

"Jangan lama-lama ya, Beb. Aku nggak suka nunggu," kata suara berat cowok dari balik pintu utama toilet dengan manja. Rupanya cewek seksi tersebut tidak sendirian.

"Isshhhh, kamu gemesin banget deh!" sahut cewek tersebut, nadanya tidak kalah manja, malah terkesan diulur-ulur.

"Kamu yang lebih gemesin. Pake kata banget," timpal cowok itu tidak mau kalah dan Felina seketika merasakan bulu kuduknya yang meremang, berusaha untuk tidak mengumpat.

Cewek itu memekik kesenangan, kemudian menggoyangkan tubuh khas cewek yang lagi kasmaran, segera membuat Felina bertanya-tanya apakah cewek itu rela menahan panggilan alamnya demi tingkah keuwuan seperti ini.

Kalau Felina jadi cewek itu, dia pasti sudah ngompol duluan.

Felina sudah menyelesaikan urusannya tetapi sepertinya gombalan receh di antara mereka belum kunjung kelar, sehingga mau tidak mau dia harus melewati mereka supaya bisa keluar berhubung posisi keduanya menghalangi pintu utama. Dari sini, Felina baru bisa melihat wajah cowok yang bersandar di pintu.

Kulitnya tidak putih, meski tidak mengurangi ketampanannya seakan dia memang cocok memiliki warna kulit seperti itu. Matanya besar dengan alisnya yang cukup tebal, memberi kesan macho.

Cowok itu menatap Felina tajam, tetapi kontak mata tersebut tidak berlangsung lama karena dia segera membuang pandangannya.

Felina heran sendiri karena dia tidak sadar telah menahan napasnya selama beberapa detik sebelum langkahnya sampai ke lorong lebar tadi.

Ekor mata Felina segera menangkap sosok Vino yang sedang bercakap-cakap dengan seorang cewek yang sangat dikenalnya walau posisinya membelakangi. Dia adalah sobat Felina yang sudah tiga tahun tidak bertemu. Ketika dia mendekat, dia bisa melihat tangan Vino sedang memegang buku tebal bertajuk psikologi.

Vesya berbalik ketika merasakan ada seseorang yang mendekat dan tersenyum lebar ketika melihat Felina sudah berdiri di sebelahnya.

"Lo makin bening aja, Sya. Nelen SK-II tiap malam nih?" sindir Felina setelah keduanya berpelukan cukup lama dan memandang Vesya sepanjang lengan.

Vesya Ananta, penampilannya cewek banget, bertolak belakang dengan Felina. Kulitnya putih bersih, matanya oriental meski mempunyai kelopak mata ganda, dan hidungnya mancung. Rambutnya sepanjang pinggang, sengaja digerai hari ini.

Lantas sama seperti Felina yang sempat takjub dengan perubahan sobatnya, Vesya juga merasakan hal yang sama karena cewek itu berseru, "Lo makin tomboi aja, Fel! Buset, sekilas tadi gue pikir lo cowok loh! Hahahaha...."

Felina meninju lengan cewek itu pelan. "Sialan lo! Jadi kayak gini ya salamnya setelah kita tiga tahun nggak ketemu?"

Vino tertawa. "Nggak perlu mikir dia cowok, Sya! Sekalian aja lo bilang dia memang cowok! Hahaha...."

"Sialan lo berdua!" umpat Felina, menatap duo kesayangannya dengan tatapan mencela. "Jadi di belakang gue, kalian udah nyusun strategi, nih?"

Percakapan receh mereka berlanjut hingga beberapa menit kemudian sebelum sepakat untuk berpindah lokasi. Mereka sama sekali tidak sadar kalau ada sepasang mata yang memperhatikan mereka bertiga sejak awal, terutama pada Felina. Mata itu menunjukkan tatapan yang sarat akan luka sekaligus kerinduan yang mendalam.

Bahkan secara diam-diam, pria itu mengangkat ponselnya dan memotret Felina dari jauh. Dengan kameranya yang mumpuni, dia berhasil mengabadikan senyuman Felina yang tertawa lebar tanpa membuat kualitas fotonya jelek.

Tidak hanya sekali, tetapi banyak kali sampai sosok Felina menghilang dari pandangannya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top