5). Some Reasons to Stay
"APA LO BILANG?" pekik Felina keras dari dalam toilet. Ini menjadi sebuah kebetulan yang menguntungkan karena Nirina tidak mungkin bisa mendengar teriakannya.
"Iya, Fel. Ternyata Felix memang tinggal sama cewek. Nggak diragukan lagi," ulang Vino setelah menghela napas panjang. "Wajar kalo lo kaget. Jangankan elo, gue aja masih syok sama informasi ini."
"Lo tau dari mana, Vin?" tanya Felina setelah menguasai dirinya. Jadi, apakah itu berarti Felix kabur dari rumah hanya untuk tinggal dengan cewek? Trus, kenapa pria itu nggak menahan Felix? Kenapa pria itu diam saja? Dan kenapa pria itu nggak melakukan apa pun? "Dari mana lo bisa tau info selengkap itu?"
"Kebetulan gue punya kenalan yang jadi guru di sekolahnya Felix. Pas gue minta nyari nama Felix Denindra, untung aja datanya ketemu. Dari data itu, gue jadi tau kalau Felix memang tinggal sama Cindy karena nama walinya udah berubah sejak setahun yang lalu. Tambahan lainnya, gue juga dapet kontak temennya Felix. Remmy Athaya namanya. Dia sobat Felix sejak pindah sekolah ke Bandung."
"Parah bener deh! Beraninya dia tinggal serumah dengan cewek! Nggak ada hubungan darah, lagi!" omel Felina dengan napas memburu.
"Oh ya, kabarnya cewek itu lebih tua lima tahun dari Felix soalnya temen gue ini ternyata kenal sama dia juga, walau cuma sekilas sih--"
"Apa?" pekik Felina lagi, sembari berpikir mungkin saja dia akan segera jantungan jika terus-terusan mendapat informasi mengagetkan ini. "Jadi Felix pacaran sama wanita tua, dong?"
"Wanita tua? Fel, kalo umurnya beda lima tahun sama Felix, berarti umurnya masih 20 tahun dong. Sedangkan gue, umur 22 tahun. Kalo lo bilang cewek itu wanita tua, trus gue apa dong?"
"Kakek tua! Hahahaha..."
"Sialan lo! Gue masih awet muda gini, lo bilang kakek tua! Dasar nakal lo, ya!" omel Vino.
Felina terbahak. "Iya deh. Ahjussi kalo gitu. Oh ya, kembali lagi ke masalah Felix. Jadi gimana, dong? Apa yang mesti gue lakuin sekarang?"
Terdengar helaan napas pendek Vino. "Gini aja Fel, gimana kalo lo liburan ke Bandung aja? Ya... setidaknya lo bisa ketemu sama Felix dan dari situ mungkin aja lo bisa menimbang-nimbang apakah lo mau tetap stay di Jakarta atau move ke Bandung. Gimana?"
"Bukannya gue udah bilang sama lo kalo gue nggak ada sedikit pun minat ke Bandung? Gue hanya mau tau gimana reaksi Felix yang sebenarnya setelah dia tau gue nyariin dia. Yaaa... bisa dibilang gue penasaran aja apa dia masih menyimpan rasa rindu ke gue atau nggak," jelas Felina pelan.
"Lo yakin hanya dengan telepon udah cukup? Gue yakin Felix pasti mengharapkan kehadiran lo di sisinya setelah lo berhasil ngontak dia. Memangnya lo nggak bisa mikirin perasaan dia? Coba deh lo sekarang di posisi Felix. Lo dapet telepon dari seorang kakak tiri yang udah delapan tahun nggak pernah ketemu, trus setelah itu udah! Nggak ada apa-apa. Hanya saling tukar kabar doang dan nggak ada urusan lagi! Lo pikir Felix nggak akan tersinggung, apa? Kalo lo maunya kayak gitu, ngapain juga sih lo susah payah nyari dia trus udahan?"
"Vin, gue nggak bilang hanya mengontak Felix satu kali aja kok! Gue pasti bakal rutin telepon dia, nanyain kabarnya. Yang jelas gue nggak perlu tinggal di Bandung hanya karena ini. Lagian hubungan gue sama Felix kan cuman saudara tiri. Harusnya gue benci sama dia dong karena gara-gara dia, hubungan keluarga gue hancur," jelas Felina dengan raut wajah mendung disusul desahan panjang Vino lagi. Meski pamannya tidak bisa melihat ekspresi wajahnya, cowok itu cukup tahu bagaimana perasaan keponakannya sekarang.
"Fel, meskipun lo bilang gitu, lo nggak bisa bohongin perasaan lo sendiri. Gue lebih dari tau kalo lo sebenarnya pengen banget nyatuin keluarga lo lagi dan berharap Kak Herfian kembali ke sisi keluarga lo. Itulah sebabnya lo mau nyari keberadaan Felix, kan? Gue udah lama deket sama lo, Fel. Gue paham perasaan lo kayak gimana. Makanya sekarang gue harap lo mau dengerin kata-kata gue. Lo ke sini ya, Fel? Anggap aja liburan. Lagian udah lama banget lo nggak ke sini."
"Vin, gue--"
"Udah deh, pokoknya lo mesti ke sini. Gue nggak mau tau. Masalah akan beres setelah gue ngomong sama Kak Nirina. Lusa gue ke Jakarta jadi lo siap-siap aja."
Meski Felina ingin membantah Vino, ternyata hati kecilnya mengakui kalau apa yang dikatakan pamannya itu benar adanya.
*****
Ditilik dari luar, Cindy Naraya terlihat seperti tidak pernah memikul cobaan yang berat, mengingat bagaimana cara dia menghabiskan uangnya--tidak usah jauh-jauh, lihat saja apartemennya. Orang-orang mengira dia adalah anak konglomerat yang dibiarkan hidup sesuka dan semaunya.
Kenyataan sungguh berbeda dari yang terlihat. Felix yang awalnya juga mempunyai persepsi yang sama, lantas sukses dibuat syok atas kebenarannya, apalagi setelah mengetahui kalau Cindy ternyata mempunyai gangguan mental yang telah ditutupi selama belasan tahun.
Felix menemukan laporan medis milik cewek itu tanpa sepengetahuannya. Kejadiannya tiga hari pasca insiden Cindy menyelamatkannya dari tuduhan menyelundupkan obat terlarang. Saat itu ada penggerebekan massal dan Felix kebetulan berada di posisi yang tidak menguntungkan.
Jujur, dia sempat mengira riwayatnya akan berakhir jika saja Cindy tidak menyelamatkannya.
"Sekali lagi, makasih banyak ya, Kak. Aku bener-bener berhutang budi sama Kakak," ucap Felix sehari setelah diselamatkan oleh Cindy. "Aku harap aku bisa membalas apa pun keinginan Kakak--hmm... selain uang tentunya, karena aku kabur dari rumah."
"Bener. Soal uang, aku sendiri aja nggak bisa habisin. Ya kali kalo minta kamu nambahin lagi," kata Cindy dengan senyum lebar, menambah visualnya. "Denger kamu bilang kabur dari rumah, bikin aku ngerasa kita punya nasib yang sama."
Felix diam sementara Cindy mengambil cangkir berisi teh herbal dan mencicipinya dengan gaya bak keturunan bangsawan. "Diminum dong tehnya, wangi banget. Aku selalu suka sama teh herbal. Mau tau kenapa? Karena sepahit-pahitnya teh herbal, di saat yang sama kamu bakal ngerasain efek yang benar-benar menenangkan kamu, membuat kamu bisa melupakan kesedihan kamu untuk sementara."
Felix menuruti saran Cindy dan menyeruput teh herbal dengan hati-hati karena panas, yang spontan terkejut ketika menyadari kebenaran dari yang dikatakan Cindy.
"Bener kan yang aku bilang?" tanya Cindy sambil tersenyum manis setelah meneliti ekspresi Felix.
"Hmm... kalo aku boleh tau, apa Kakak juga kabur dari rumah? Karena aku denger tadi Kakak bilang kita punya nasib yang sama."
Cindy tersenyum miring, kemudian meletakkan teh herbalnya di atas meja kaca sebelum menatap Felix dengan intens. "Lebih tepatnya, aku nggak ada siapa-siapa lagi sekarang kecuali ditemani uang yang banyak. Aku lagi nyari partner yang mau habisin uang berdua sama aku. Kamu mau?"
"Hah?"
"Uang aku banyak. Mau aku foya-foyakan sebanyak apa juga nggak bakalan habis soalnya aku pewaris sah terakhir dari keluarga Naraya. Karena tinggal aku satu-satunya yang masih hidup. Nah jadi, apa kamu berminat?"
"Hmm... aku malah mau balas kebaikan Kakak, bukannya menikmati kekayaan Kakak."
"Ayolah, dalam kasus aku, membantu aku menghabiskan uang termasuk membalas hutang budi kamu. Atau supaya kamu nyaman, kamu bisa menawarkan diri untuk--hmm... apa ya yang bisa kamu lakuin? Aku juga bingung. Uang yang aku punya bisa melakukan segala hal, jadi aku nggak tau mau nyuruh kamu ngapain."
"Aku bersih-bersih aja, gimana?" usul Felix. "Apartemen Kakak luas banget dan aku juga punya pengalaman dasar bersih-bersih. Gimana? Dalam waktu tiga hari, mungkin?"
Lantas, Felix dan Cindy secara serempak melayangkan pandangan mereka ke tiap sudut apartemen mewah yang sebenarnya tidak pernah kotor itu. Jelas, cewek itu pasti sudah mempunyai tukang bersih-bersih profesional.
Tetapi ternyata, Cindy menerima tawaran tersebut. "Oke, kesepakatan diterima. Mulai hari ini sampai hari ketiga. Oke?"
Begitulah bagaimana Felix pada akhirnya menemukan laporan medis milik Cindy Naraya. Dia hendak meletakkan kembali berkas tersebut ke tempat semula, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat kata-kata Cindy waktu itu.
"... aku pewaris sah terakhir dari keluarga Naraya. Karena tinggal aku satu-satunya yang masih hidup."
Saat itu Cindy mengucapkannya tanpa beban, tetapi entah kenapa Felix merasa simpatik dengannya. Juga dilihat dari judul berkas termasuk nama rumah sakitnya, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Maaf, Dok. Apa bener Dokter yang membuat laporan ini?" tanya Felix sambil menyerahkan laporan tersebut di atas meja.
"Silahkan duduk," kata dokter itu sopan setelah memakai kacamata dan membaca laporannya. Felix segera duduk dan menunggu.
"Apa hubungan Nona Cindy dengan Anda?" tanya dokter Dude tiba-tiba.
"Kakak angkat saya," jawab Felix. Cowok itu memang menganggap Cindy sebagai kakaknya dan berpikir dia harus berbohong sedikit supaya bisa mengetahui kebenarannya.
"Baiklah, berdasarkan laporan ini, Nona Cindy mengalami gangguan mental atas trauma yang dialaminya, disebut sebagai PTSD atau Post-Traumatic Stress Disorder--trauma setelah mengalami suatu kejadian."
"Gangguan mental?" ulang Felix kaget sekaligus cemas. Bagaimana mungkin Cindy mengalami gangguan mental? Padahal selama ini dia selalu tampak normal.
"Betul, gangguan mental. Gangguan yang timbul dikarenakan trauma yang dialaminya semasa kecil. Sebentar ya, saya ambilkan laporan medis lengkapnya," kata dokter Dude sebelum memerintah salah satu asistennya untuk mengambil data Cindy Naraya.
"Dari rekam medis di sini, waktu Nona Cindy berumur 7 tahun, dia pernah hampir dikuburkan hidup-hidup oleh ayahnya sendiri sedangkan ibunya telah meninggalkannya dan menikah lagi waktu Nona Cindy berumur 9 tahun. Tragisnya, adik laki-laki yang sangat disayanginya harus meninggalkannya juga waktu Nona Cindy berumur 11 tahun, padahal adik laki-lakinya adalah orang yang selalu menemani dan menjaganya selama dia ditinggalkan oleh orang tuanya. Saya rasa Nona Cindy sanggup bertahan atas penderitaannya dikarenakan adik laki-lakinya itu. Kasihan sekali Nona Cindy, di usianya yang sangat muda, harus mengalami rentetan peristiwa ini. Dalam jangka waktu 2 tahun, satu per satu anggota keluarga meninggalkannya."
"Kalau begitu, di mana ayahnya sekarang?" tanya Felix.
"Ayahnya positif mengalami sakit jiwa setelah diinterogasi oleh polisi. Ternyata Nona Cindy adalah anak haram istrinya dengan pria lain. Itulah sebabnya mengapa ayah Nona Cindy mau membunuhnya. Pria itu gila karena merasa dikhianati oleh istrinya."
"Kalo begitu, apakah Cindy bisa sembuh?" tanya Felix lagi.
Dude tidak langsung menjawab. Dokter itu melepaskan kacamata dan membersihkan lensanya dengan kain khusus. "Jika ingin menyembuhkan Nona Cindy, dia tentu saja harus menjalani psikoterapi. Akan tetapi satu hal yang pasti adalah Nona Cindy tidak boleh mengalami kejadian sama yang menurutnya akan menimbulkan trauma lagi, mengingat Nona Cindy telah mengalami kejadian berat selama 3 kali berturut-turut. Karena jika tidak...."
"Jika tidak?" Entah kenapa Felix tiba-tiba merasakan firasat yang buruk.
"Jika tidak, maka Nona Cindy akan mengalami sakit jiwa, seperti ayahnya. Yang paling parah mungkin meninggal. Tambahan lainnya adalah, Nona Cindy sudah mengonsumsi obat penenang selama 8 tahun terakhir. Meski hanya dikonsumsi setiap mengalami depresi dan dosisnya termasuk ringan, tetap saja tidak bebas resiko. Saya lega kamu datang sebagai adik angkat Nona Cindy. Untuk kasusnya, gangguan mentalnya mungkin tidak bisa menjamin sembuh total tetapi bukan berarti PTSD-nya Nona Cindy tidak bisa ditangani. Bahkan pasien yang berada di ambang batas hidup dan mati saja bisa selamat karena keajaiban, jadi kita sama-sama harus optimis atas kesembuhan Nona Cindy. Ah... dan jangan lupakan kasih sayang dan perhatian karena keduanya turut berperan penting untuk kesembuhannya."
Cindy tidak pernah tahu sejak Felix memutuskan untuk tinggal seatap dengannya, cowok itu telah banyak membantunya; mulai dari memilih kamar yang paling dekat dengan kamar Cindy, selalu membuka pintu kamarnya setiap malam supaya bisa mendengar kalau-kalau cewek itu terbangun karena mimpi buruk sekaligus segera menenangkannya--yang ternyata cukup efektif karena Cindy tidak lagi tergantung pada obat penenangnya sesering dulu. Terkadang Felix juga akan berpura-pura mengatakan kalau dia tidak bisa tidur dan mengajak Cindy menonton drama bersama hingga keduanya berakhir ketiduran di sofa.
Bisa jadi ini yang menjadi satu-satunya penyebab mengapa Felix tidak bisa memandang Cindy sebagai gebetan, karena dia telah menganggap cewek itu sebagai bagian dari keluarganya.
Bisa jadi pula, sebagai seorang kakak yang pernah hidup bersamanya dalam waktu yang cukup singkat di masa lalu.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top