40). Happy? It Should be Yes

Lima bulan kemudian....

Hujan turun membasahi kota Bandung, diawali dengan rintik-rintik sebelum intensitasnya bertambah hingga tiga kali lipat. Bau khas tanah yang basah menyusul setelahnya, menguarkan aroma petrichor yang terasa lebih menyengat mengingat sudah lama tidak turun hujan.

Seakan tidak cukup, angin kencang turut berperan hingga menciptakan suara ribut pada kanopi baja, beradu dengan suara hujan yang deras. Sebagian besar penduduk yang tidak terlindung hujan segera mengumpat kesal, mempercepat langkah mereka sementara kendaraan berlalu-lalang.

Hanya dalam waktu beberapa menit saja, jalanan di pusat kota Bandung terkena sindrom rush-hour.

Di antara mereka, terlihat seorang cewek berlari cepat menuju Universitas Asoka dengan kedua tangan terangkat ke atas, melindungi kepalanya dari hujan dengan tas selempang. Rambutnya pendek sebahu, dia berusaha menyelip di antara keramaian dan lantas berhenti sejenak untuk meminta maaf setiap menyenggol bahu orang lain secara tidak sengaja.

Selain melindungi pakaiannya, Felina mengejar waktu supaya tidak terlambat. Cewek itu mengecek arloji di pergelangan tangannya dan lantas memekik ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan tepat.

Liburan semester ganjil telah berakhir dan sialnya pertemuan hari ini diawali dengan mata kuliah Bu Wina. Beliau termasuk dosen killer dan terkenal senang mempertaruhkan nilai mahasiswa. Dalam konteks ini, keterlambatan juga termasuk.

Waktu menunjukkan pukul delapan lewat dua menit ketika Felina menghempaskan diri ke bangkunya. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya, membuatnya kepanasan padahal sekarang sedang hujan lebat. Pakaiannya juga setengah basah. Meski hari ini adalah hari yang mengesalkan buat Felina, setidaknya bagian dalam bajunya terselamatkan oleh jaketnya. Juga, cewek itu tiba lebih dulu sebelum Bu Wina.


Felina menoleh ke bangku Vesya arah jam empat. Cewek itu duduk bersama Khelvin. Keduanya mengobrol dengan akrab, membuat Felina mengulum senyum.

Mereka sudah resmi berpacaran seminggu yang lalu. Jujur, Felina salut dengan keberanian dan usaha keras Vesya untuk mengejar Khelvin. Sejak cowok itu mulai menyerah mengejar Felina, Vesya seakan mengambil alih perannya tanpa ragu. Dan ternyata, usaha tersebut berbuah manis.

Ungkapan usaha tidak mengkhianati hasil memang cocok untuk sahabatnya.

Felina mengalihkan atensinya ke luar jendela, memperhatikan hujan yang masih gencar menunjukkan aksinya. Lantas tanpa aba-aba, mendengar suara hujan membuat Felina teringat akan cerita Vesya yang menggebu-gebu.

"Waktu itu pertemuan terakhir tugas kelompok gue sama dia--itu tuh, tugasnya Pak Rifky. Kami sama-sama terjebak hujan. Jadi karena nggak ngapa-ngapain, gue curhat-curhatan sama dia dan kebetulan sempat ngebahas tentang lo. Gue bilang kalo gue tau gimana perasaan dia ke elo. Gue juga bilang sama dia, kalo dia mau nerima tantangan gue, gue akan bantu dia move on dengan cara gue sendiri."

"Caranya?" tanya Felina penasaran.

"Dia harus kencan sama gue sebanyak tiga kali kalo gue menang. Lo tau nggak taruhannya apa?"

Felina memandangnya ingin tahu sementara Vesya tertawa mengenang memori yang tidak akan pernah dilupakannya.

"Karena saat itu hujan, gue muter otak. Akhirnya gue liat orang-orang pada bawa payung. Gue bilang sama dia, kalo taksi yang berhenti di depan mal ngeluarin payung warna merah, dia harus kencan sama gue."

"Trus?"

"Awalnya nggak berhasil. Gue pikir gue kalah. Trus tiba-tiba Khelvin bilang udah seharusnya dia juga dikasih kesempatan, biar adil gitu. Trus kita sama-sama pantau."

"Trus-trus?" tanya Felina, makin kepo.

Vesya seketika memasang ekspresi sedih. "Nggak berhasil juga, Fel. Gue sedih saat itu karena gue tau gue gagal. Akhirnya dia bilang, coba sekali lagi. Gue seneng banget, Fel. Gue pikir untuk hasil yang ketiga, gue akan relain apa pun hasilnya karena gue tau setidaknya usaha gue selama ini nggak sia-sia. Gue bener-bener udah berusaha yang terbaik.

"Ternyata hasil ketiga berhasil, Fel. Nggak disangka-sangka kami bersorak kayak menangin lotre. Gue yakin Khelvin sebenarnya punya perasaan sama gue. Kalo nggak, nggak mungkin dong dia ikutan seneng dengan hasilnya. Nah jadi setelahnya, kami coba kencan trusss... jadi deket deh. Pacarannya resmi waktu kemaren, Fel. Gue senenggg banget!"

Bu Wina masuk ke dalam kelas dengan langkah wibawanya, dipertegas oleh bunyi sepatu pantofel secara berirama. Tanpa berbasa-basi, beliau segera mengabsen kehadiran mahasiswa sebelum memulai perkuliahan.

Melihat sebelah bangkunya yang kosong, Felina seketika teringat dengan Jerico. Sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan cowok itu, lebih tepatnya sejak liburan semester ganjil. Bisa jadi, dia sedang menikmati hidup baru bersama Felix dan mamanya. Felix ternyata tidak menolak ketika Yenni mengajaknya tinggal bersama, sama halnya dengan Felina dan Nirina yang setuju untuk memulai lembaran baru bersama Herfian.

Semuanya bahagia, setidaknya untuk saat ini. Namun, entah kenapa dia merasa ada kekosongan di dalam relung hatinya. Dia tidak tahu apa itu, tetapi setiap dia mengingat wajah Jerico--yang selalu mampir tanpa permisi dalam otaknya, kekosongan itu terasa sedikit lebih terisi.

Hujan masih belum puas-puasnya menghujani bumi, membuat langit menjadi lebih gelap dari biasanya. Felina merasa sangat mengantuk karena semalaman dia tidak bisa tidur. Cindy dan Vino jadi mempunyai kebiasaan bermain Play Station di malam hari. Teriakan heboh keduanya membuat cewek itu sulit tidur hingga berujung kesal. Felina mau mengomel, tetapi tidak jadi setiap ekor matanya menangkap tatapan polos dari Cindy.

Sebagai tambahan informasi, Vino dan Cindy juga ikut tinggal di rumah Herfian. Sebenarnya Vino ingin tetap tinggal di rumahnya dan menyarankan Cindy untuk tinggal bersama, tetapi segera dilarang keras oleh kakaknya.

Felina berpura-pura menulis sesuatu di buku catatannya, tetapi memorinya melayang ke ingatan lima bulan yang lalu....

"Kamu belum menikah, Vino! Masa kamu ajak Cindy tinggal sama kamu?" hardik Nirina, memandang adiknya dengan tatapan horor.

"Bukan gitu, Kak. Aku nggak setuju aja kalo Cindy tinggal sendirian di apartemennya. Felix kan udah nggak tinggal sama dia lagi. Jadi, aku saranin dia tinggal sama aku."

"Ya tapi tetep aja nggak boleh!" tolak Nirina mentah-mentah. "Apa kata tetangga nanti?"

"Kalo Felix boleh, masa aku nggak boleh? Tenang aja, Kak. Aku juga nggak bakal grepe--"

"Hush! Kamu ini!" potong Nirina, wajahnya mendadak memerah saking geregetan, tetapi kekesalannya tidak berlangsung lama karena wanita itu menatap adiknya dengan tatapan serius. "Kakak punya ide. Kamu tinggal sama Kakak, ya? Cindy juga ikut. Gimana?"

Vino tampak senang, tetapi di satu sisi dia juga merasa ragu. "Kakak yakin? Kita berlima tinggal bareng?"

"Ya iya! Daripada kamu berdua doang sama Cindy! Kakak nggak setuju--kecuali kamu nikah sama dia, sih."

"Ck. Pacarannya baru bentar udah main ajak nikah aja," omel Vino, tetapi wajahnya memerah secara tidak sengaja.

"Cieeee, blushing nih ye!" ledek Felina, menuding pamannya terang-terangan. "Mikir apa, hayo??? Mikir masa depan sama Cindy, ya?"

"Kayak kamu nggak aja. Kamu sama Jerico juga ada something. Tuh kan, tuh kan? Gantian blushing nih ye!"

Informasi lainnya, Felina baru tahu kalau Cindy terkena gangguan PTSD dan pernah mengonsumsi obat tidur yang berlebihan. Untungnya dari cerita Vino, Cindy sudah mulai sembuh dan kabar baiknya, dia dipastikan bisa sembuh total. Menurut Felina, ini semua berkat pikiran optimis keduanya.

Asumsi Felina benar, karena Vino bilang ada penelitian yang mengungkapkan kalau pasien yang berpikir positif terbukti lebih cepat sembuh daripada mereka yang cepat menyerah.

Mendengar Vino mengatakan demikian, Felina jadi berpikir kalau penyakit dan luka batin mempunyai kesamaan. Jika kita berpikir positif dan mau menerima dengan hati terbuka, tidak menutup kemungkinan luka sebesar apa pun bisa berkurang atau bahkan membaik.

Hujan sudah berhenti seperempat jam sebelum proses perkuliahan berakhir. Felina bersyukur setidaknya dia tidak perlu terkena hujan. Matahari mulai bersinar terang, seakan hadir untuk mengeringkan segala isi bumi yang sudah basah karena hujan.

Felina mendongakkan kepala dalam perjalanannya menuju halte bus. Sebuah pelangi. Pelangi indah yang muncul setelah hujan, seakan ingin menghibur semua makhluk di dalamnya pasca diterjang badai hujan. Walau sebentar, tidak heran jika banyak orang menyukai pelangi. Termasuk dirinya.

"Lo suka pelangi?" tanya sebuah suara di belakangnya. Felina menoleh cepat.

Jerico.

Jantung Felina bergetar. Cowok itu memamerkan senyum seringainya yang biasa.

Tunggu dulu. Ini kenapa mukanya glowing banget? Gue kelamaan nggak ketemu dia atau karena dia lagi berdiri di bawah sinar matahari?

"Lo kuliah hari ini?" tanya Felina, tetapi cewek itu sengaja membuang mukanya. Dia menyelesaikan langkahnya yang sempat tertunda untuk duduk di bangku panjang yang disediakan di pemberhentian bus.

"Iya, gue baru pulang juga," jawab Jerico, setelah mengikuti jejak Felina.

Keduanya tidak berbicara lagi sampai sebuah bus berhenti dan mereka naik bersama orang-orang. Felina segera mencari tempat favoritnya. Anehnya Jerico malah duduk di sampingnya, membuat cewek itu gugup. Mau tidak mau dia teringat dengan kenangan pertama kali mereka bertemu.

"Eh dipikir-pikir, ini yang ketiga kalinya kan kita duduk bareng di bus?" tanya Jerico sambil menatapnya intens. Alih-alih balas menatap, Felina lebih tertarik memandang ke luar jendela meski tidak sedang fokus.

"Hei, lo denger gue nggak?"

"Lo tau nggak kenapa pelangi bisa muncul?" tanya Felina tiba-tiba. Wajahnya memerah.

"Bukannya setelah hujan?" tanya Jerico balik untuk memastikan.

"Trus?"

"Nggak hanya hujan, pelangi juga membutuhkan matahari untuk memberi cahaya. Juga, memerlukan titik-titik hujan untuk membiaskan cahaya putih pada tujuh warna pelangi; merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Cahaya putih matahari akan memasuki titik-titik untuk membiaskan warna pelangi itu. Oleh karenanya, akan terpencar pelangi yang melengkung membelah alam," jelas Jerico, berteori.

Felina tidak menoleh, matanya tetap memperhatikan pelangi yang seakan mengikutinya sementara bus melaju dengan kecepatan sedang. Cewek itu tidak sadar kalau sejak tadi Jerico menjelaskan teori pelangi lewat internet, bukannya lewat pengetahuan dalam otaknya. Cowok itu terus membaca, "Lo tau nggak kalo cinta ibarat pelangi?"

"Hah, kok bisa?"

"Soalnya setiap liat pelangi perasaan kita akan kagum dan senang, begitu pula cinta. Selalu membuat kita kagum dan senang. Juga bahagia."

Felina mendadak memalingkan kepalanya ketika firasat memberitahunya tentang sesuatu yang janggal, sementara Jerico buru-buru menyimpan ponselnya. "Lo baca dari internet, ya?"

Wajah Jerico memerah. "Nggak kok, siapa bilang?"

"Tuh wajah lo memerah. Nggak keren lo, pantesan aja lo ngulang mata kuliah Pak Rifky, sampai nggak lulus!"

"Sembarangan! Nggak ada hubungannya kali sama Filsafat! Kalo niat lo mau nyindir tentang ngegombal, gue juga bisa kok!"

"Oke, coba gue denger! Kali aja gue akan terpingkal-pingkal saking lucunya. Lumayan kan denger yang receh-receh," ejek Felina sambil tertawa.

Siapa sangka, kepala Jerico tiba-tiba mendekat, membuat Felina mati gaya. Mata cewek itu membulat saking kagetnya.

"Lo itu... sebenernya cantik banget, Fel. Gue... sebenarnya dari awal waktu kita ketemu, gue udah suka sama lo. Gue jadi sadar, sikap barbar gue waktu ngelabrak lo waktu itu... itu karena... karena gue mau mancing perhatian lo."

Wajah Felina memerah. Mungkin warnanya akan sama dengan kepiting rebus. Dia ingin membuang wajah ke arah mana saja, tetapi sayang fisiknya tidak berfungsi seakan sudah mati rasa. Lagi-lagi. Persis seperti insiden waktu pertama kali mereka bertemu. Serasa dejavu.

"Dan sekarang gue juga baru sadar sesuatu. Ternyata... ternyata... muka lo lucu juga ya kalo malu-malu gini! Hahahahaha!" Tawa Jerico meledak, dia tertawa lepas.

Bus berhenti sesaat kemudian, memberi kesempatan bagi Jerico untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Sejujurnya dia sama saja dengan Felina, merasa sangat malu karena untuk pertama kalinya dia menyatakan perasaan pada cewek itu.

Felina bergeming, lantas segera berteriak setelah kesadaran menamparnya. "JERICO! BERHENTI LO!"

Suara Felina terlalu keras, sukses membuat banyak orang di sekitarnya melonjak kaget. Namun, dia tidak peduli. Dia akan memberi pelajaran ke cowok itu.

"AMPUUUNN FELLL... TAPI GUE SERIUS KOK!! GUE SUKAAAA SAMA LO!!!" balas Jerico, meneruskan langkah tanpa menoleh tetapi akhirnya berhenti dan memutar tubuh saat merasa jaraknya sudah cukup jauh dari Felina.

Felina berlari mengejar Jerico. Cewek itu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memukul lengan cowok itu dengan gemas, tetapi segera lemah ketika Jerico menangkap tangannya.

"Loh bukannya lo mau mukul gue? Nggak jadi, ya?" ledek Jerico karena tenaga Felina mendadak hilang setelah dia berhasil mencekal kedua tangan cewek itu.

Wajah Felina memerah, dia juga tidak kunjung mengerti mengapa hanya pada Jerico, kekuatannya menguap begitu saja.

"Udah ah, lepasin gue."

"Nggak," kata Jerico enteng.

"Mau sampai kapan emangnya?" tanya Felina, memperhatikan tangannya sendiri dengan tatapan jengah.

"Sampai lo jawab perasaan gue dulu."

"Oke."

"Oke?" ulang Jerico sembari tersenyum lebar hingga cekalan pada tangan Felina melonggar. "Beneran?"

"Soalnya gue mau lepas, jadi gue iya-in aja," jawab Felina dengan senyum miring kemudian mengambil kesempatan untuk menarik tangannya sendiri.

Siapa sangka Jerico sepolos itu untuk percaya, mengira Felina tidak menyukainya. Ekspresi wajahnya berubah mendung dan dia membuang mukanya ke arah lain.

"Loh, ngambek nih?" tanya Felina, mendadak merasa ingin tertawa tetapi berusaha ditahannya.

Jerico bergeming, suasana canggung segera melingkupi mereka hingga mendadak ada sebuah tangan yang menggenggam tangannya dengan hangat, hingga menyelipkan jemarinya sendiri di antara jemarinya.

Jerico menatap tangannya dengan tatapan tidak percaya, lantas beralih ke Felina yang balas menatapnya dengan rona merah di seluruh wajahnya.

"Is it clear now?" tanya Felina pelan, segera menerbitkan senyum lebar Jerico.

Jerico mengangguk. Senyumnya terus terukir di sana, sama seperti Felina yang menatapnya dengan senyum terlalu lebar.

Bisa dipastikan senyuman mereka bertahan lama.

Bersambung ke Epilog

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top