4). Related
"Morning, Na!" sapa seseorang, membuat Felina yang sedang asyik membaca novel horor, mengalihkan atensi dan mengerutkan alisnya.
"'Na'?" ulang Felina, menatap Khelvin gagal paham. "Ini maksudnya, lo manggil gue?"
"Jelas dong, kan cuma kita berdua di sini. Nggak mungkin dong gue manggil salah satu karakter dalam novel horor yang lo baca," jawab Khelvin yang segera paham genrenya berdasarkan ilustrasi pada sampulnya.
"Nggak lucu. Masalahnya kalo gue nggak salah denger, lo manggil gue dengan sebutan 'Na'."
"Nama lo kan Felina. Bener dong panggil lo 'Na'?" tanya Khelvin dengan nada bingung, tetapi menyeringai ketika menyadari sesuatu. "Oh, mau dipanggil 'Sayang' nih?"
"BUKAN GITU MAKSUD GUE!" hardik Felina ngegas sementara Khelvin terbahak-bahak hingga mengalami kram perut. "LAGIAN KENAPA DUDUKNYA DEKET-DEKET, YA ELAH! MINGGIR NGGAK LO!"
Felina memberi isyarat lewat matanya yang besar pada jarak sempit di antara mereka, menegaskan kalau bangku panjang tersebut terlalu lebar untuk diduduki berdua.
Lokasi mereka sekarang berada di koridor dekat Auditorium SMA Berdikari untuk menghadiri upacara kelulusan. Semua murid tahun terakhir diizinkan bebas sementara para orang tua atau wali menghadiri pertemuan singkat untuk mendengar cuap-cuap dari Kepala Sekolah.
Mayoritas murid memanfaatkan waktu emas untuk menyerbu kantin atau jalan-jalan bersama teman segengnya sebagai momen terakhir murid SMA, terkecuali Felina karena dia lebih memilih tenggelam dalam dunianya.
Namun siapa sangka, dia malah diganggu oleh Khelvin.
Memang ya, ekspektasi selalu tidak pernah selaras dengan realita.
"Ups, sori." Khelvin berucap sambil menggeser bokongnya tidak lebih dari tiga sentimeter, membuat Felina geregetan parah.
"Lo cari gara-gara ya sama gue?" tanya Felina dingin. "Lo nggak lihat ya, bangku yang kita duduki sekarang tuh saking lebarnya bisa diduduki delapan orang? Atau apa perlu gue ambil meteran buat ngukur?"
"Iya deh iya, galak banget sih."
"Masih kurang! Geser lagi!"
Khelvin menghela napas panjang seakan tidak rela, tetapi dia tidak punya pilihan ketika menatap tatapan membunuh dari cewek itu. "Oke, oke."
"Oke, segini cukup," kata Felina datar setelah jarak keduanya layak dikategorikan 'berjarak'. Jika dideksripsikan, seorang siswa bisa menyalip di antara mereka.
"Lo nggak ke kantin, Na? Mumpung kita masih diizinkan bebas sebelum pengumuman kelulusan."
"Nggak," jawab Felina singkat tanpa menoleh karena atensinya kembali ke novel horornya.
"Eh, nggak terasa ya kita udah mau lulus aja. Lo rencana kuliah di mana, Na?"
"Belum tau." Felina menjawab lagi dengan nada menutup pembicaraan sekaligus menahan diri untuk tidak meledak.
Sayangnya entah Khelvin tidak peka atau sengaja, yang jelas cowok itu terus melontarkan pertanyaan, "Hmm... kalo gitu lo rencana masuk jurusan apa? Kali aja bisa samaan--"
"Lo kenapa sih jadi sok kenal sok deket sama gue?" tanya Felina setelah sebelumnya menutup novel dengan sekali sentakan keras. "Apa kemaren tendangan gue kurang? Atau salah tendang sampe kena saraf mana gitu?"
Niat Felina menyindir, tetapi siapa sangka Khelvin menganggukkan kepalanya dengan tatapan penuh meyakinkan. "Bener, Na. Kemarin tendangan lo mengena banget. Lo mau tau di mana tepatnya?"
"Di mana?" tanya Felina, seketika mulai percaya kalau tendangannya memang mengenai salah satu saraf milik Khelvin.
"Di hati gue," bisik Khelvin tepat ke telinga Felina setelah mencondongkan tubuhnya.
"Sialan lo!" umpat Felina, melayangkan tinjunya ke pipi kanan Khelvin, yang segera mengaduh kesakitan.
"Lo--" Khelvin mulai emosi, tetapi segera menguap setelah melihat ekspresi Felina. Rona merah mulai menjalari pipi hingga ke telinganya, sukses membuat cowok itu terbahak lagi.
"Wah, nggak nyangka gue. Cewek tomboi kayak lo ternyata bisa tersipu-sipu juga ya sama gombalan receh gue. Lo baper beneran nih?"
Senyuman lebar Khelvin mempunyai efek menular, buktinya ada beberapa cewek yang auto tersenyum setelah melihat senyum manisnya.
Walau efeknya tidak mempan pada Felina.
"Ish! Beruntung banget sih si Felina dideketin sama Khelvin--udah tajir setajir-tajirnya, ganteng banget pula! Aaaargghhhh!! Jiwa kejombloan gue menjerit-jerit nih!"
"Iya nih, kenapa sih cewek yang mukanya standar apalagi tomboi bisa bikin cowok seuwu Khelvin tertarik sama dia? Apa gue perlu jadi tomboi juga?"
Felina memang tomboi pakai kata banget karena selain rambutnya yang pendek sebahu, wajahnya juga bebas dari sapuan bedak. Gayanya juga terkesan 'macho' dan yang paling mendominasi adalah ekspresi galak yang selalu menemaninya dalam situasi apa pun, bahkan dia tidak akan segan-segan memelototkan matanya pada siapa saja yang mengganggu.
Dalam konteks ini, Khelvin jelas menjadi kandidat utama.
"Nggak usah didengerin," hibur Khelvin yang--tanpa Felina sadari--menggeser duduknya lebih dekat dan menutup kedua telinga cewek itu dengan tangannya. Situasi tersebut memancing tatapan iri dari semua orang, bahkan banyak yang berteriak, bersaing dengan fans fanatik saat melihat idolanya.
"Ck. Apaan sih!" Felina menjauhkan kepalanya hingga sentuhan tersebut berhasil lepas. "Nggak usah sok deket sama gue!"
"Gue mau berteman sama lo. Boleh, kan?"
"Nggak."
"Ish! Kenapa?"
"Nggak ya nggak."
"Tapi lo kan nggak punya temen."
Felina mendelik padanya. "Apa lo bilang?"
"Ups, sori. Maksud gue, gue bersedia jadi temen lo."
"Lo nggak punya temen juga?" tanya Felina, menatapnya dengan sebelah alis terangkat, disambut anggukan lemah dari Khelvin.
"Friend with benefits itu banyak, tapi kalo true friend nggak ada."
"Oke kalo gitu."
"Oke apa?"
"Let's be friends. Lagian, kita bentar lagi lulus jadi temenannya nggak bakal pake lama, palingan cuma hari ini doang."
"Ish! Nyebelin banget sih!" Khelvin berseru, tetapi tidak lama berselang karena dia tiba-tiba bertanya, "Jadi lo rencana ngambil jurusan apa?"
"Ck, gue jadi nyesel. Nggak jadi temenan, deh. Gue nggak suka dikepoin."
"Yahhh... jangan gitu dong," rengek Khelvin sambil memanyunkan bibirnya. Ternyata selain jago senyum, dia juga jago manyun hingga bisa membuat siapa saja merasa gemas.
Namun sekali lagi, efeknya tidak mempan pada Felina.
"Nggak. Nanti lo pasti ikut-ikutan. Anak konglomerat bisa lakuin apa aja segampang membalikkan telapak tangan. Mau kuliah di luar angkasa pun bisa jadi mungkin. Ya kan?" sindir Felina.
"Ck. Sebenarnya sih maunya gue juga gitu, tapi terpaksa kali ini nggak bisa. Gue wajib kuliah di Bandung, soalnya."
"Oh ya? Kenapa emang?"
"Yeyyy... akhirnya lo mau nanya balik. Jadi serasa punya temen akrab sekarang," kata Khelvin dengan nada bahagia dan tersenyum manis lagi, mengabaikan ekspresi Felina yang tampak menyesal karena bertanya balik. "Soalnya bisnis keluarga gue berpusat di Bandung jadi ke depannya gue mesti kuliah sambil ngurus salah satu perusahaan di sana. Yaaaa... namanya juga pewaris tunggal."
"Drama banget ya, gue malah jadi simpatik sama lo." Felina bermaksud menyindir, tetapi lagi-lagi dianggap serius oleh Khelvin.
"Oh ya? Wah, gue jadi seneng banget nih. Ternyata lo nggak sejutek yang gue kira. Kalo gitu, kuliah bareng di Bandung, yuk? Gue masuk jurusan--"
"Gue nggak akan pernah kuliah di Bandung. Nggak akan pernah. Jadi nggak usah buang-buang tenaga dan waktu lo buat promosiin kota Bandung. Gue benci, oke?"
Khelvin terkesiap bukan karena penolakan Felina, melainkan karena ekspresi benci yang ditunjukkan cewek itu, seakan ada sesuatu di balik perkataannya. Dia hendak bertanya, tetapi sayangnya pintu aula telah dibuka dan semua murid diperintahkan masuk.
*****
Amplop kelulusan sudah berada di tangan Nirina sekarang. Wanita itu merasa deg-degan, tidak berani membuka isinya bahkan setelah lima menit berlalu.
"Ma, kok masih belum buka sih?" tanya Felina tidak sabaran. Teman-temannya termasuk Khelvin sudah mengetahui hasilnya, terdengar dari sorakan heboh di belakang.
"Sabar dong, Sayang! Mama lagi siapkan batin Mama nih!" kata Nirina sambil mengatur napasnya, seakan hendak berenang tanpa menggunakan alat bantu.
"Aku yang buka deh, Ma!" usul Felina frustasi setelah Nirina menarik dan membuang napasnya lebih dari empat kali.
Nirina menepuk pelan tangan Felina yang terjulur untuk merebut amplop, melarangnya. "Alright, I'll do it."
"Gimana? Lulus nggak, Ma?" desak Felina, sementara Nirina membaca isinya. Selama beberapa saat wanita itu memasang wajah datar sampai membuat Felina ketar-ketir.
"Ya ampun," kata Nirina sambil menutup mulutnya dengan ekspresi syok, membuat Felina merasakan damage yang tidak main-main.
"Kenapa, Ma?" tanya Felina, jantungnya serasa mencelus.
"Kamu... kamu... kamu lulus, Nak."
"Lah trus kenapa ekspresinya gitu, Ma?" tanya Felina geregetan. Lututnya sampai bergetar karena sempat mengira kalau dia benar-benar tidak lulus.
"Penghayatan dong, Sayang. Hebat, kan? Ck. Kayaknya masa depan Mama bakal secerah matahari."
"Ck. Jadi beneran lulus kan, Ma?" tanya Felina, menggertakkan giginya dengan geram hingga suaranya hampir teredam.
"Iya, dong. Kalo nggak lulus, Mama nggak mungkin masih bisa senyum lebar begini."
"Jadi udah boleh teriak kan, Ma?"
"Boleh dong!"
Felina dan Nirina lantas melompat-lompat dan berteriak kesenangan seakan kejatuhan durian runtuh sementara semua orang termasuk para guru mengalihkan atensi mereka.
"Fel, Mama telepon Paman Vino dulu ya." Nirina merogoh ponsel dari dalam tas mininya. Paman Vino adalah adik Nirina yang paling muda dan yang paling dekat dengan Felina. Itulah sebabnya, mendengar nama Vino membuat Felina bersemangat.
"Apa? Udah beli rumah baru?" Felina mendengar percakapan antara mamanya dengan Vino. "Kenapa kamu nggak diskusi dulu sih sama Kakak? Apalagi kerjaan kamu cuma karyawan kantor doang! Balik ke Jakarta aja, Vin. Nanti Kakak yang cariin kamu kerja.
"Ck! Kamu nggak bisa dibilangin deh. Mau mandiri, tapi ya nggak usah segitunya! Sungkan gimana? Kamu kan punya eonni. Noona! Noona itu kakak perempuan, Vino Sayang!" lanjut Nirina setelah mendengar jawaban adiknya dari seberang telepon dan lantas menghela napas panjang.
"Ma, aku mau ngomong sama Vino dong," pinta Felina dengan puppy eyes-nya. Kentara sekali dia seberharap itu untuk berbicara dengan paman kecilnya.
"Ck. Paman Vino, Fel." Nirina meralat, mengalihkan atensinya sejenak, dan lantas kembali lagi ke ponselnya. "Felina mau ngomong sama kamu. Nanti malam Kakak hubungi lagi, ya. Inget loh kalo ada apa-apa kamu harus kasih tau Kakak, jangan ambil keputusan sendiri! Kamu masih terlalu muda, Vin! Usia kamu baru 22 tahun, astaga!"
"Ya iya Vino masih muda, makanya dia juga nggak mau aku panggil dia dengan embel-embel 'Paman'. Mana mau kan dapet gelar ahjussi di usianya yang baru 22 tahun. Bener kan, Vin?" tanya Felina dengan lantang supaya Vino bisa mendengarnya. "Udahan deh, Ma. Aku mau ngomong sama Vino."
Nirina akhirnya menyerahkan ponselnya pada Felina dengan ekspresi kesal meski tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja ada teman sesama orang tua yang mengajaknya bergosip.
Felina sempat mencibir, tetapi baginya ini menguntungkan karena dia bisa mengobrol dengan Vino tanpa harus menimbulkan kecurigaan. "Vin, gimana kabar terakhir Felix? Dia tinggal di mana sekarang?"
"Gue denger dia tinggal sama seorang cewek di apartemen mewah, tapi gue belum tau alamatnya karena masih belum jelas. Kalaupun misalnya iya, gue nggak percaya deh soalnya masa sih Felix mau tinggal berdua aja sama seorang cewek? Itu kan berarti mereka kumpul kebo?"
"APA?" pekik Felina. "Bukannya lo bilang Felix tinggal sama pria itu?"
Vino tentu tahu siapa pria yang dimaksud oleh keponakannya. "Fel, gue baru tau ternyata Felix kabur dari rumah Kak Herfian dua tahun yang lalu. Trus, dia juga hampir ditangkap waktu mabuk-mabukan di bar. Kebetulan waktu itu ada penggerebekan massal di sana dan hampir aja dia dituduh mengonsumsi obat terlarang. Untungnya--"
"APA?"
"--untungnya ada cewek tajir yang nolongin dia. Gue yakin cewek yang sekarang tinggal sama Felix itu cewek yang sama," lanjut Vino, seakan tidak ada interupsi dari Felina. "Fel, lo mendingan dengerin kata-kata gue, deh. Lo kuliah di Bandung aja, gue akan jelasin ke Kak Nirina jadi biar gue yang urus lo selama lo kuliah di sini. Gue juga udah beli rumah. Gima--"
"Vin, omongan gue masih nggak berubah. Gue benci kota Bandung, dan selamanya gue akan benci kota itu selama pria itu masih di sana!"
"Fel--"
"Vin, dengerin gue! Kabar apa pun tentang Felix, lo wajib kasih tau gue. Oke? Gue berterima kasih sama lo karena sampai sekarang lo mau bantu gue rahasiakan hal ini dari Mama. Gue yakin Mama nggak bakal setuju kalo tau gue masih nyari Felix. Walau gimanapun, gue masih sayang sama dia. Setidaknya cuma lo yang ngertiin gue karena kalo orang lain, mereka pasti ngira gue udah gila karena peduli sama adik tiri yang belum tentu masih inget sama gue."
"Iya, Fel, gue ngerti. Gue akan kabari lo begitu dapet informasi selanjutnya tentang Felix."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top