39). Healing (2)

Jerico mengira semua drama bergenre slice of life tidak akan serumit seperti kisah hidupnya sekarang, apalagi sampai terkait erat dengan keluarga yang lain. Siapa sangka, ketidakjujuran Herfian menjadi awal perpecahan keluarganya sendiri, menjadikannya jembatan yang menghubungkannya dengan keluarga Jerico, yang semuanya lantas menderita dengan cara mereka sendiri.

Mulai dari Felina dan mamanya yang menghabiskan hampir satu dekade untuk membenci Herfian karena tidak bertanggung jawab, Felix yang menyangka eksistensinya tidak diinginkan, hingga dirinya yang tidak tahu kalau dia mempunyai adik kandung.

Meskipun demikian, Jerico merasa cobaan hidupnya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Felina dan Felix. Setidaknya selama ini, dia mendapatkan kasih sayang yang cukup dari keluarga Om Fendy. Felina mungkin juga demikian, tetapi dia menjalani hidupnya dengan kesan buruk atas papanya sendiri. Sedangkan Felix, cobaan yang dihadapinya jelas terburuk.

Jerico tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia bertukar posisi dengan Felix, tetapi dia yakin dia tidak akan keberatan jika dia tahu kebenarannya lebih awal.

Alasannya sederhana, karena dia adalah sang kakak yang sudah sewajarnya lebih menderita daripada adiknya. Bukan sebaliknya.

Jerico pernah mendengar ini di salah satu acara The Boyz, salah satu boygroup asal Korea Selatan. Salah satu anggotanya, yaitu Lee Juyeon, pernah mengungkapkan ini kepada teman-temannya yang kedengarannya lucu sekaligus masuk akal, makanya Jerico bisa mengingatnya dengan baik.

"Kalau ada dua orang yang tenggelam di laut dan hanya satu orang yang bisa diselamatkan, aku akan menyelamatkan yang lebih muda. Alasannya? Karena yang lebih tua sudah hidup lebih lama dan sewajarnya mengalah."

Jerico memandang Felix dan Felina bergantian di hadapannya, yang sekarang masih tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menatap mereka dalam keadaan seperti itu, membuat cowok itu merasa tidak terbiasa. Apalagi dia sempat menangkap basah Felina yang hampir menangis setelah melihat Herfian.

Herfian masih bertahan pada posisi berdirinya, tidak berani mendekat. Kepalanya ditundukkan, tetapi Jerico tahu kalau sama seperti duo Felix dan Felina, pria itu juga sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.

Lantas, apa yang harus dilakukan Jerico?

"Felix," panggil Jerico dengan nada rendah, berhasil mengalihkan atensi Felix tanpa membuatnya terkejut. "Gue... gue tau ini terlalu mengagetkan buat lo pahami dan lo pastinya perlu waktu buat nerima ini semua. Tapi yang jelas, gue mau lo tau kalo... kalo kami--maksudnya gue sama Mama--tetep sayang sama lo. Walau telat, gue tetep mau minta maaf sama lo. Maafin gue, ya?"

"Kenapa lo minta maaf?" tanya Felix secara tidak terduga, hingga menarik perhatian Felina. "Soalnya tadi lo bilang, lo juga baru tau tentang ini semua."

Felix melanjutkan kalimat terakhirnya dengan nada rendah dan super canggung. Bisa jadi karena ini pertama kalinya dia mengeluarkan suara setelah semua penjelasan yang terlalu mengagetkan ini.

Jerico memiringkan kepalanya sendiri, tampak memilih kata-kata yang tepat dan kemudian mengucapkannya dengan perlahan, "Maaf karena lo udah mengalami semua ini tanpa sepengetahuan gue. Maaf karena di umur lo yang sekarang, lo baru tau kalo lo punya abang kandung. Dan maaf juga karena gue nggak berada di sisi lo dari dulu. Meski telat, gue janji akan menjadi abang yang lebih baik buat lo mulai sekarang."

Seperti sebuah mantra, kata-kata Jerico seakan menyihir mata Felix hingga memanas dan mendesak air matanya untuk keluar sedetik setelahnya. Efek tersebut turut berlaku pada Felina, yang segera mendongakkan kepalanya meski sia-sia saja. Cairan bening meluncur turun ke pipi dan dalam sekejap berubah menjadi sesenggukan persis seperti Yenni.

Jerico menghela napas berat, segera menarik beberapa lembar tisu untuk mereka. Ekor matanya sekali lagi menangkap sosok Herfian yang masih saja mematung di tempatnya berpijak. Karena tidak tahan melihatnya seperti itu, dia lantas segera menghampiri pria itu.

Jerico menepuk bahu Herfian dengan lembut, membuat pria itu tersentak dari lamunannya sendiri dan balas menatap dengan kaget.

"Om, duduk dulu yuk. Jangan terlalu lama berdiri," ajak Jerico, memegang lengan bawah Herfian supaya mengikutinya.

Meski ragu, pada akhirnya Herfian memilih pasrah. Lagi pula seperti tekadnya di awal, dia sudah tidak bisa mundur lagi.

Mungkin ini adalah kesempatan terakhir.

Yenni sudah melepaskan pelukan ketika langkah Herfian hampir sampai. Lantas seakan sudah direncanakan sebelumnya, wanita itu menarik Nirina untuk bergabung bersama.

Persis seperti Herfian, awalnya Nirina juga merasa ragu tetapi tatapan Yenni padanya membuatnya sadar kalau dia tidak bisa menghindar.

Mungkin sudah saatnya kamu mengalah pada rasa gengsimu.

Semuanya duduk dengan formasi yang sudah dikondisikan. Di barisan Felina, dia duduk di antara Felix dan Nirina. Sementara di hadapan mereka, Jerico duduk di antara Yenni dan Herfian.

Herfian menundukkan wajah, begitu pula Nirina yang duduk di hadapannya. Keduanya tampak super canggung, hingga menulari yang lain.

Nirina akhirnya yang pertama mengeluarkan suara. Pembawaannya yang barbar dan terkesan frontal, lantas mengarahkan perhatiannya pada Felix setelah memiringkan tubuh. "Felix."

Felix sudah tidak menangis lagi, tetapi matanya mulai berkaca-kaca ketika melihat ke dalam mata Nirina. Menurutnya, dia paling merasa bersalah pada wanita itu. Karena gara-gara dia, keluarganya harus kacau seperti ini.

Malam semakin larut. Pengunjung semakin ramai, memberikan kesan yang kentara bila dibandingkan dengan suasana mendung di area meja bagian Barat. Meskipun demikian, tidak ada yang sekepo itu untuk mengurusi masalah pribadi mereka.

"Tante... mau minta maaf sama kamu," ucap Nirina tulus, yang matanya mulai kabur karena dilapisi oleh cairan bening. "Udah... udah ngomong kasar sama... sama kamu."

Nirina terisak, bibirnya bergetar hingga membuatnya sulit berkata-kata meski kalimat itu berhasil diselesaikan pada akhirnya. Felix menangis sampai sesenggukan untuk kali pertama, suaranya terdengar memilukan hingga menulari semua orang. Lagi dan lagi, air mata mereka seakan tidak habis-habisnya mengalir, menunjukkan seberapa besar luka yang selama ini mereka peroleh.

Herfian malu pada dirinya sendiri. Jika saja dia jujur sedari awal, jika saja dia mau sekali saja melepas sifat kekanak-kanakannya, jika saja dia membuang rasa gengsinya, jika saja dia bisa mengembalikan waktu...

Aku bukan ayah yang baik....

Yenni menutup mulutnya dengan sapu tangan yang sedari tadi sudah basah oleh air mata, yang menjadi sia-sia saja karena suara tangisnya meledak begitu hebat. Jika saja dia berpikir lebih dewasa saat itu, jika saja dia berpikir jernih untuk tidak melibatkan temannya, jika saja dia bisa mengatasi masalahnya sendiri, jika saja dia tidak terlalu lama terjebak dalam kesedihannya hingga mendapat musibah lain, jika saja dia bisa mengembalikan waktu...

Aku hanyalah seorang wanita yang egois....

Nirina menutup wajahnya, tepukan lembut dari anak perempuannya sama sekali tidak membantu. Air mata terus mengalir tanpa henti, membuatnya mengenang kembali masa lalunya. Jika saja dia tidak gengsi, jika saja dia tidak berpikir dangkal dengan mengatakan bisa hidup berdua saja dengan Felina, jika saja dia sekali saja mau mengalah, jika saja dia bisa mengembalikan waktu...

Aku tidak memikirkan posisi Felina yang harus hidup lama tanpa sosok ayah di sisinya....

Penyesalan memang selalu datang terlambat, bahkan sebelum penyesalan tersebut datang, manusia tidak luput dari perasaan luka, baik secara sadar maupun tidak sadar. Ada yang betah terjebak dalam luka seakan ingin menantang sejauh mana luka tersebut bisa mempengaruhinya, ada yang menghindari luka tetapi ternyata menghadapi luka lain yang jauh lebih dalam ketimbang luka sebelumnya, dan ada pula yang berhasil menutup lukanya dengan baik tetapi berujung menderita sendirian.

Meskipun demikian, penyesalan tidak pernah menjadi akhir dari segalanya. Rasa itu terus kekal dalam pikiran kita, tetapi akan berkurang secara perlahan ketika kita mau mengobatinya.

Selalu ada obat untuk luka--sebesar apa pun itu.

Herfian beranjak, menekuk kakinya untuk bersimpuh di hadapan istrinya, yang sekarang menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Wanita itu gelisah, gestur tubuhnya menolak tetapi kemudian membeku ketika mendengar suara baritonnya.

"Nirina, aku nggak layak jadi kepala keluarga. Seharusnya dari awal aku nggak milih kamu jadi istri aku."

Mendengar itu, kesedihan Nirina segera digantikan oleh amarah. "Jadi... kamu nyesel menikah sama aku?"

Herfian mengangkat kepala dengan tatapan syok. "B-bukan itu maksud aku. A-aku...."

"Ma, intinya Papa itu lagi minta maaf sama Mama. Apa Mama harus salah paham begini?" tanya Felina, segera kesal dengan sikap Nirina yang tiba-tiba saja dilanda emosi.

"O-oke, soalnya hmm... Mama tiba-tiba merasa sensi aja. Mama kira Papa beneran nyesal nikah sama Mama. Udah, kamu kembali duduk aja. Jangan berlutut gini, nggak enak dilihat orang."

Herfian kembali ke kursinya sendiri, sejenak merasa malu hingga seluruh wajahnya memerah.

"Hmm ja-jadi... kamu mau kan maafin aku?" tanya Herfian, berusaha memberanikan diri untuk bertanya setelah insiden memalukan tadi. "Maaf kalo tadi kata-kata aku bikin kamu salah paham."

Nirina mengangguk terpatah, membuat Herfian mengulas senyum lebar dan mengembuskan napas lega. Mata Herfian kini beralih ke Felina. Pemberian maaf dari istrinya seakan memberinya izin untuk menghadapi putrinya.

Herfian menatap Felina dengan lembut. "Felina, hmm... maafin Papa juga, ya? Maaf karena selama ini Papa pengecut dan nggak berani ketemu sama kamu...."

Felina sudah tidak menangis lagi, tetapi matanya berkaca-kaca ketika matanya balas menatap mata Herfian sedalam-dalamnya. "Iya, Pa."

Mendengar bagaimana Felina memanggilnya dengan sebutan 'Papa' segera membuat Herfian terenyuh, hingga tidak sadar kalau air matanya menetes. "Felina, boleh panggil Papa lagi? Udah lama banget Papa nggak denger kamu manggil Papa kayak gitu."

"Papa. Papa. Papa," panggil Felina perlahan, matanya menatap Herfian dengan tatapan jenaka, berhasil menarik senyum Herfian dan juga Nirina di sebelahnya.

Di sisi lain, Yenni menatap Felix dengan lembut. "Felix. Mama boleh... boleh... meluk kamu, nggak?"

Suara Yenni terdengar sangat pelan, tersirat nada cemas dan minder seakan yakin kalau Felix akan menolaknya.

Namun siapa sangka, Felix menjawab dengan suara yang sama pelannya tepat ketika Yenni hampir menunduk pasrah. "Bo-boleh...."

Yenni menaikkan kepalanya kembali terlalu cepat hingga rambut panjangnya berayun, lantas membelalakkan matanya dengan tatapan tidak percaya. "A-apa? M-mama nggak salah denger, kan?"

Felix berdeham, sempat menunjukkan ekspresi jengah karena dia harus mengulang jawabannya lagi. Namun pada akhirnya dia menatap mata Yenni dengan intens sembari berkata, "Boleh. Hmm... Ma."

Felix sendiri tidak mengerti apa yang membuatnya tergerak untuk mengabulkan keinginan Yenni, yang jelas dia sadar kalau dia tidak bisa mendendam terlalu lama. Apalagi melihat bagaimana Felina menerima papanya kembali dengan hati yang lapang, bukankah sudah seharusnya dia melakukan hal yang sama?

Yenni berdiri dari kursi, mengulurkan tangannya yang mendadak gemetar saking bahagianya. Felix sempat canggung, ikut berdiri dari kursinya dengan gerakan yang kaku dan tegang, mirip robot.

Tangisan Yenni segera pecah untuk yang entah ke-berapa kalinya setelah dia berhasil merengkuh Felix ke dalam pelukannya. Felix takjub sendiri, tidak menyangka kalau tubuh langsing mamanya bisa memberikan pelukan sehangat ini.

Ternyata begini rasanya dipeluk sama mama sendiri....

Yenni harus menjinjitkan kakinya sedikit untuk memeluk tubuh tinggi putranya, tetapi situasi itu tidak berlangsung lama karena cowok itu segera mencondongkan tubuh dan menekuk kakinya sedikit untuk membalas pelukan tersebut. Tangisan kembali terdengar, meski kini tersirat oleh rasa haru yang kuat.

"Makasih, Felix. Makasih kamu masih mau nerima Mama...."

Jerico ikut bangkit, turut merasakan haru hingga kedua netranya juga memerah. Cowok itu memeluk keduanya dari samping, semakin mengeratkan pelukan di antaranya.

"Welcome to family, my little brother," ucap Jerico lembut, melengkapi rasa haru yang tercipta. Mereka semua tidak sadar kalau sedari tadi Fendy menatap dari kejauhan, tersenyum terlalu lebar sembari menyesap coffee latte-nya dengan perasaan lega.

"Nggak nyangka ternyata Felix punya hubungan keluarga sama Om Fendy ya," celetuk Remmy, ikut memperhatikan semuanya. Dia berdiri tepat di sebelah Fendy, turut meneguk minumannya dengan ekspresi yang sama.

Fendy mengalihkan atensinya pada Remmy. "Apa cuma perasaan ya, soalnya nada kamu kok sedih gitu?"

Remmy berdecak, lantas mengembalikan gelas belingnya di atas meja, mengabaikan kedua temannya yang sudah tenggelam ke dalam dunia gim. "Ternyata Om Fendy peka juga."

"Kenapa?" tanya Fendy kepo. "Kamu iri?"

"Intuisi para paman memang nggak bisa diremehkan," celetuk Remmy lagi, kemudian tertawa lepas. "Tapi nggak cuma itu sih. Cuma... yahhh itu artinya... Felina selangkah lebih deket lagi kan sama keluarganya Om?"

"Ohhh," Fendy mengangguk paham. "Maksudnya, kamu kalah satu langkah dari Jerico?"

"Ck. Ketahuan deh. Peka amat sih, Om?"

"Seperti kamu bilang, intuisi para paman nggak bisa diremehkan, kan? Kepekaan juga termasuk."

Remmy tidak menjawab, lebih tepatnya tidak tahu mau merespons apa.

"Ngaku aja deh, lo udah kalah, kan?" tanya Ardi dengan nada penuh kemenangan dari kursinya. Perhatiannya tidak lepas dari layar ponsel, tetapi telinganya tetap bisa mendengar percakapan temannya tadi.

"Iya, nih. Mau transfer sekarang juga boleh," timpal Dido dengan nada yang sama, membuat Remmy keki.

"Gue belum nyerah," kata Remmy keras kepala. "Jiwa rakun gue bakal resah kalo gue nyerah sekarang."

"IYAIN AJA DEH BIAR CEPET," kata duo Ardi dan Dido bersamaan hingga terkesan nyolot.

"Yang penting gue udah tau ending-nya," lanjut Dido, melirik Remmy beberapa detik sebelum kembali ke layar ponselnya. "Sekali liat gue juga bisa nebak kali kalo kakaknya Felix lebih deket sama--siapa tuh abangnya Felix? Oh iya, Jerico. Nah, lo lupa ya momen romantis mereka? Ngakunya tugas kelompok, eh nggak taunya lirak-lirik romantis."

Ardi tertawa, berbanding terbalik dengan Remmy yang memasang ekspresi masam. Matanya terus memperhatikan Felina dari kejauhan. Cewek itu kini mengulurkan kedua tangan untuk memeluk papanya sambil menangis sesenggukan, terlihat dari getaran pada bahunya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top