37). Love or Math Equation?
Felix sadar dia tidak bisa selamanya mengabaikan Felina, apalagi setelah dia tahu kalau cewek itu selalu menanyakan kebarnya lewat Remmy, berhubung dia sudah menginap selama beberapa hari di penthouse-nya.
Remmy tidak keberatan, tentu saja. Cowok itu malahan senang-senang saja dan berharap Felix mau tinggal dengannya alih-alih pulang ke rumah Vino, termasuk kembali ke apartemen milik Cindy, supaya Remmy tidak sendirian di penthouse-nya yang luasnya kelewat mubazir itu.
Oh ya, soal Cindy. Vino baru saja memberi kabar kalau cewek itu baik-baik saja dan mereka sekarang sedang berada di Pantai Santolo, yang segera membuat Felix mengembuskan napas lega.
Dan ngomong-ngomong tentang Felina, Felix tiba-tiba kepikiran dan merasa berdosa karena telah mengabaikan pesan dan telepon darinya.
Itulah sebabnya, ketika dia baru keluar dari Cafe Young, tepatnya setelah makan ramen bersama Meilvie, ponselnya berdering dan Felix segera mengangkatnya setelah mengetahui kalau yang menelepon adalah Felina.
"Halo?"
"Akhirnya lo mau jawab telepon dari gue, Felix. Tapi tetep aja gue masih mau nanya, lo masih marah sama gue nggak?"
"Gue nggak pernah marah sama lo kok," jawab Felix, sementara Meilvie menunjukkan gestur mau pamit duluan, tetapi dihalangi oleh cowok itu. "Hmm... bentar ya, Fel."
"Lo lanjut aja. Gue pulang, ya? Rumah gue juga deket kok dari sini," kata Meilvie pelan, ekspresinya menunjukkan kalau dia tidak mau menjadi pengganggu.
"Gue mau antar lo pulang," kata Felix dengan nada yang tidak bisa diganggu gugat dan dia kemudian menempelkan telinga ke ponselnya kembali tanpa menunggu reaksi Meilvie. "Fel, kalo nanti gue telepon lagi, nggak apa-apa, kan? Soalnya udah kesorean dan bisa dibilang kalo apa yang terjadi hari ini tuh gara-gara gue."
"Gue paham, Felix. Kurang lebih gue udah tau ceritanya. Itulah sebabnya gue cemas sama lo dan ada yang mau gue omongin juga. Tapi bisa ditunda kok, lo fokus dulu sama si pacar."
Felix tersenyum, terutama ketika mendengar Felina mengungkit kata 'pacar'. "Oke, Fel."
"Udah dibilangin rumah gue deket," omel Meilvie, setelah Felix memutus sambungan telepon dan menyimpan ponsel ke dalam saku celananya.
"Udah dibilangin gue mau ngantar lo pulang," balas Felix.
Alis Meilvie segera bertaut. "Gue bukan anak kecil yang nggak bisa pulang sendiri."
"Emang bukan. Lo kan pacar gue."
"Idih! Kok ngaku-ngaku? Itu keputusan sepihak." Meilvie segera membuang muka tetapi langkahnya terkesan kaku dan canggung.
"Masih belum jelas? Mau lebih resmi maksudnya?" tanya Felix setelah berhasil menjejeri langkah Meilvie dengan enteng karena langkah kakinya yang lebar.
"Gue nggak mau pacar-pacaran dulu. Masih labil kalo kata mami gue."
"Nggak usah ngeles deh. Trus tujuan lo ngasih surat ke Revan, buat apa? Ya kali lo ngasih surat kayak ngajuin proposal, trus minta ditandatangani sama si penerima?"
"It's so funny." Meilvie otomatis mendengus tetapi telinganya memerah, hingga tanpa sadar menghentakkan kaki selagi berjalan dengan raut wajah masam.
"Bahasa Inggris lagi. Mentang-mentang nilai bahasa Inggris gue jelek. Sengaja kan, lo? Gue bales pake rumus Matematika biar kapok lo."
"Emang bisa?" tantang Meilvie, berhenti secara tiba-tiba. Kebetulan mereka sudah selesai menyeberang dan memasuki kompleks perumahan menuju rumah Meilvie.
"Kalo bisa, lo mau jadi pacar gue?"
"Oke. Gue liat sebagus apa."
Felix memutar tubuh sedikit ke belakang untuk menggapai tas punggung, lantas mengeluarkan sebuah buku catatan lengkap dengan pen dan menulis sesuatu di salah satu halamannya.
Ternyata sebuah persamaan. Kedua alis Meilvie otomatis beradu, yang merupakan kebiasaannya setiap melihat soal ataupun rumus Matematika seakan mengalami semacam fobia.
Ya, pelajaran Matematika sama sekali bukan favorit Meilvie.
Meilvie menerima pen yang diberikan oleh Felix dengan tatapan segan. Lantas setelah menerimanya, cewek itu mencoba mengerjakan dalam diam sementara Felix menyaksikan semua itu dengan tatapan jenaka dan melipat bibirnya untuk menahan tawa.
"Nih. Moga aja jawabannya bener," kata Meilvie sembari menyerahkan kembali buku serta pen pada pemiliknya.
Felix mengarahkan atensinya pada soal buatannya dan dia tersenyum dengan hasilnya.
2(9u-10i) < 3(7i-5u)
18u-20i < 21i-15u
-20i+21i < -15u+18u
i < 3u
"Bener, nggak?" tanya Meilvie yang secara refleks merasa was-was dengan hasilnya. "Meski gue heran kenapa lo malah ngasih gue soal kayak ginian. Apa hubungannya sih dengan ngebalas gue pake rumus Matematika?"
"Ck. Lo memang nggak peka atau sengaja sih?" tanya Felix, membuat Meilvie semakin tidak paham. "Kalo lo liat jawabannya, apa yang bisa lo tangkap?"
Masih dengan kerutan yang bertahan di dahi Meilvie, cewek itu melirik buku catatan yang baru saja dia kembalikan pada Felix. Matanya berfokus pada jawaban yang dimaksud, tetapi dia masih saja tidak mengerti.
Saking polosnya, Meilvie sampai menggaruk tengkuk dan memiringkan kepala, hingga akhirnya frustasi sendiri. "Arrgghh! Pusing gue."
Felix auto menatap Meilvie jengah sebagai gantinya, tetapi tatapan tersebut tidak berlangsung lama karena dia segera menulis sesuatu di bawah hasilnya, lantas menyerahkannya lagi pada Meilvie.
2(9u-10i) < 3(7i-5u)
18u-20i < 21i-15u
-20i+21i < -15u+18u
i < 3u
i <3 u
i ❤️ u
Meilvie bungkam, lebih tepatnya tidak tahu mau merespons apa sementara Felix terbahak sepuasnya di sebelah cewek itu, menertawakan kepolosannya hingga sisi perutnya menegang karena terlalu lama tertawa.
"Ya ampun. Lo polos banget sih," kata Felix yang entah sedang mengejek atau memujinya. "Lo bener-bener nggak tau, ya?"
"Ya mana gue tau!" hardik Meilvie, makin sewot. Cewek itu menghentakkan kakinya lagi sebelum meninggalkan Felix yang masih saja menertawakannya.
"Eh eh, jangan marah dong, Meil. Gue kan cuma modus tadi. Hei! Beb! Tungguin gue!"
Meilvie jelas mengabaikannya, berjalan cepat hingga hampir berlari, tetapi tetap saja Felix bisa mengejarnya tanpa hambatan.
Felix mengulurkan lengannya setelah menyimpan kembali buku serta pulpen ke dalam tas, untuk merangkul sepanjang bahu Meilvie dari belakang, membuat cewek itu mendelik padanya.
"Apa-apaan sih? Lepas, nggak?"
"Udah gue bilangin, kurangin galak-galaknya dong. Lo makin lama makin mirip hantu Annabelle, tau!" kata Felix tanpa mau melepaskan rangkulannya.
"Rumah gue udah mau sampai, Felix! Kalo ketahuan mami gue gimana?"
"Oh, pacarannya mau backstreet nih? Ck. Padahal gue maunya semua orang tau biar nggak usah sembunyi-sembunyi."
"Heh!" seru Meilvie memperingatkan, tetapi dia tidak berkata apa-apa setelahnya.
"Jadi? Hubungan kita udah resmi dong? Gue bisa buat rumus cinta pake persamaan Matematika dan lo ternyata bisa ngerjain. Sinkron dong telepati kita."
Meilvie berdecak pelan sementara tidak terasa langkah mereka sudah sampai di depan pagar rumah Meilvie. Untung saja tidak ada siapa-siapa di halaman rumahnya.
"Gue pulang dulu ya, sampai ketemu besok," ucap Meilvie, sengaja mengabaikan pertanyaan dari Felix.
"Ck. Lo belum jawab gue, Ay."
"Jangan panggil gue kayak gitu!"
"Kalo gitu jawab gue dong!"
"Gue nggak main-main, Felix."
Nada bicara Meilvie tiba-tiba serius. Cewek itu mendongakkan kepala untuk balas menatap mata Felix tanpa senyum. "Mau berapa kali gue mikir, gue nggak bisa nebak alasan sebenarnya kenapa lo bisa suka sama gue. Tapi gue baru nyadar alasannya di sekolah tadi. Mungkin karena lo mau lepas dari Kak Cindy jadi mau anggap gue sebagai pelarian, kan? Gue kasih tau ya, Felix. Kalo lo punya niat kayak gitu tolong--"
"Gue nggak pernah main-main, Meilvie." Felix memotong kata-kata Meilvie dengan nada tidak kalah dingin dan matanya menyorot kecewa, berhasil membuat yang ditatap merasa tidak enak hati. "Apa ketulusan gue masih belum nyampe ke lo? Coba kasih tau gue, gue harus gimana biar lo percaya sama gue?"
"Lo... kenapa bisa su-suka sama g-gue?"
"Nggak tau--"
Terdengar dengusan kecil dari Meilvie dan Felix menatapnya dengan tatapan penuh celaan. "Gue belum selesai ngomong, Meilvie."
Meilvie mangap untuk membalas, tetapi diurungkannya dan segera melipat bibir sebagai gantinya.
"Gue nggak tau--awalnya, tapi lama-lama gue sadar kalo gue merasa nyaman tiap berada di dekat lo. Apalagi lo sempat hibur gue waktu gue sedih. Walau lo suka marah-marah, sikap lo tulus. Walau lo berlagak nggak peduli, nyatanya lo perhatian. Dan walau lo suka ngebentak gue, lo berada di sisi gue sewaktu gue sendirian. Gue... soal ngajak lo pacaran, gue nggak main-main. Gue yakin soal itu.
"Kalo lo nggak punya perasaan yang sama dengan gue, nggak apa-apa, Meil, gue ngerti. Tapi jangan menganggap rasa suka gue sebagai permainan, karena gue nggak pernah main-main sama cewek yang gue suka. Juga, ini pertama kalinya gue suka sama seseorang," lanjut Felix. "Maaf ya kalo kesannya gue memaksakan perasaan lo. Gue pulang dulu, ya?"
Felix hampir meninggalkan rumah Meilvie, tetapi tangannya dicekal oleh cewek itu. Saking kagetnya dengan fakta kalau dia ditahan oleh cewek yang disukainya, Felix menatap tangannya sendiri dengan tatapan tidak percaya.
"Maaf. Maksud gue bukan kayak gitu," ucap Meilvie dan dia kembali ke mode lembut persis seperti terakhir kali menghibur Felix di lobi High Mall. "Gue cuma nggak nyangka aja kenapa lo bisa suka sama gue. Trus soal perasaan...."
"Soal perasaan?" tanya Felix dengan nada mendesak, menatap Meilvie dengan cemas meski harapannya lebih besar daripada rasa cemasnya.
"Gue nggak ada perasaan sama lo--"
Felix mendengus kecewa. "Oke, nggak apa-apa--"
"Gue belum selesai ngomong, Felix."
Felix mengarahkan matanya pada Meilvie dengan sorot mata penuh harap untuk kedua kali.
"Gue nggak ada perasaan sama lo--awalnya," kata Meilvie, yang sepertinya sengaja balas dendam karena Felix juga sempat memotong perkataannya barusan. "Kalo sekarang, walau gue belum yakin, tapi... gue akan coba."
"Lo kira nyicipin masakan Nusantara, pake coba-coba?" tanya Felix, tetapi matanya memancarkan binar kebahagiaan. "Jadi, kita udah resmi nih?"
"Resmi mulu dari tadi," cibir Meilvie, tetapi rupanya dia juga tersenyum. "Udahan dulu ya, gue udah kelamaan di luar nih. Nanti lanjut, ya."
"Oh, mau kencan lagi?"
"Via WA maksudnya. See you, Felix."
"Sampai jumpa di WA juga, Sayang."
"Ish! Jangan keras-keras!" hardik Meilvie dengan mata besarnya, memberikan Felix tatapan peringatan.
"Ck. Maunya backstreet?" tanya Felix, nadanya kembali kecewa meski tidak separah tadi.
"Bukan gitu. Nanti aja tunggu udah agak lama pacarannya--eh, maksud gue...."
"Cieee, udah mikirin pacaran lama-lama sama gue nih ternyata," goda Felix yang senyumnya langsung melebar optimal sembari mencubit kedua pipi Meilvie dengan gemas. Cubitan tersebut sama sekali tidak terasa sakit karena lebih terasa seperti sentuhan. "Oke, aku paham. Aku pulang, ya?"
"Loh, udah langsung aku-kamu nih?" tanya Meilvie, pipinya yang barusan dicubit gemas oleh Felix seketika memerah.
Felix mengangguk. "Aku pulang ya, Beb. Lain kali aku mampir."
Senyuman Felix tidak lepas, begitu juga dengan Meilvie yang senyam-senyum sendiri sementara langkahnya membawanya masuk ke dalam rumah.
Saking senangnya, Felix sampai lupa menelepon Felina.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top