36). Distraction (2)
Vino turun dari mobil, menutup pintu di belakangnya, dan bergerak cepat menuju Cindy. Dia bahkan mengabaikan seruan keras dari satpam karena mobilnya yang diparkir sembarangan. Cowok itu tidak peduli karena baginya, Cindy adalah prioritasnya sekarang.
Terkesan lebay, memang. Tetapi dalam hal ini, kasus Cindy menjadi 'spesial' karena gangguan mentalnya. Meski cewek itu sudah beberapa kali menjalani psikoterapi, sebagai wisudawan Psikologi, Vino tentu lebih aware dengan situasi semacam ini.
Jika sudah demikian, apakah Vino bisa tenang-tenang saja saat menghadapi semua ini?
Tentu tidak.
Lagi pula, Vino telah mengistimewakan Cindy sejak lama, bahkan di hari pertama mereka bertemu.
Ya, Vino sudah lama memendam perasaannya pada Cindy.
Awalnya Vino mengagumi kecantikan Cindy. Namun setelahnya, perasaan sukanya bertambah ketika tahu di balik gangguan mental yang cewek itu miliki, tersirat kasih sayang tak bersyarat pada Felix.
Seharusnya Vino cemburu, tetapi ternyata rasa cemburunya kalah oleh rasa kagum pada Cindy. Dia lebih senang melihat cewek itu berbahagia atas pilihannya sendiri.
Lantas berbicara tentang kebahagiaan, sama konteksnya dengan Cindy, Vino juga berbahagia dengan pilihannya sendiri; menyukai cewek itu dengan caranya sendiri.
"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Vino cemas pada Cindy, yang segera mengusap jejak air matanya.
"Baguslah, Kak Vino datang. Aku nitip Cindy ya, Kak. Aku harus nyusul Meilvie, dia mungkin lagi dibuli sama kakak kelasnya," kata Felix, yang merasa sangat lega atas kedatangan Vino. Lantas, dia mengalihkan atensinya pada Cindy. "Maafin aku ya, Cindy. Nanti kita bicara lagi."
Kemudian Felix berbalik arah dan mempercepat langkah tanpa menoleh lagi, sementara Cindy menatap punggungnya dengan tatapan nanar dan sarat akan luka yang kentara.
Vino mau menghiburnya tetapi kata-katanya tenggelam oleh perintah tegas salah satu satpam, "Pak, mobilnya tolong diparkir dengan benar supaya tidak menghalangi akses keluar masuk--"
"Oke, Pak." Vino memotong, segera masuk ke dalam mobil dan mengabaikan tatapan penuh celaan oleh si satpam karena perintahnya dipotong seenak jidat.
Biarlah disebut sebagai pria kurang ajar, Vino tidak peduli karena seperti yang telah diungkapkan kalau dia menganggap Cindy sepenting itu, tentu saja seluruh perhatian cowok itu hanya tertuju padanya.
Cindy tadi mengambil kesempatan untuk menghindari Vino dengan kembali ke mobilnya sendiri di area parkir mobil khusus antar-jemput murid, yang mana situasinya sudah jauh lebih lengang dari sebelumnya.
Vino lebih cekatan mengingat posisi mobilnya lebih strategis, sehingga dia bisa menyusul dan menghentikan mobilnya di depan mobil Cindy. Lebih tepatnya, dia sengaja menghadang di depan saat cewek itu baru saja menstarter mobilnya.
Cindy auto menatapnya jengah, tetapi segera membuang wajah ke sisi lain karena tidak ingin Vino melihat seberapa kacau ekspresinya sekarang.
"Cin, bukain pintunya," pinta Vino lembut dari luar. Meski Cindy tidak bisa mendengar jelas karena jendelanya yang ditutup rapat, dia bisa mengerti apa maksudnya. Lagi pula, Vino memperjelas keinginannya dengan mengetuk pintu mobil, tidak memberikan pilihan lain pada cewek itu.
"Cin, ikut gue, ya? Lo nggak boleh nyetir sendirian sekarang. Bahaya," kata Vino dengan cemas setelah Cindy menekan tombol untuk menurunkan kaca mobil. Hanya setengah bagian, supaya dia bisa mendengar apa maunya Vino.
"Nggak usah cemasin gue, Vin. Oke?" pinta Cindy balik dengan nada menutup pembicaraan, kemudian menaikkan kaca jendelanya kembali, tetapi dihalangi oleh tangan Vino.
"Cin, plisssss... dengerin gue, ya?"
"Leave me alone, Vin. Please?" balas Cindy, ikut memohon. "Gue bener-bener mau sendiri."
"Tapi, Cindy--"
"Tenang aja, Vin. Gue bukan anak abege labil yang nggak bisa ngendaliin emosi."
"Tetep aja PTSD lo belum sembuh. Setidaknya biarin gue yang nganter lo. Lo nggak usah peduliin gue, anggap aja gue supir random. Gue janji nggak akan nanya-nanya."
Akhirnya Cindy menyerah. Lebih tepatnya dia lelah meladeni debat Vino yang cukup keras kepala dan annoying hari ini. Cewek itu membuka pintu mobil dan menyerahkan kuncinya pada cowok itu.
"Simpan aja kuncinya. Kita pulang pake mobil gue."
"Hah? Jadi mobil gue gimana, dong?" tanya Cindy dengan alis bertaut.
"Nanti gue pake jasa kirim mobil. Yuk," ajak Vino dengan senyum riang, berbanding terbalik dengan Cindy yang memasang ekspresi tidak setuju tetapi akhirnya dia hanya bisa pasrah.
Selama perjalanan, Cindy benar-benar memanfaatkan waktu untuk berkelana dalam dunianya sendiri dengan kepala menghadap ke luar jendela yang terbuka, sementara mobil yang dikemudikan Vino melaju dengan kecepatan sedang.
Berhubung Vino sudah terbiasa mengemudi tanpa menoleh ke samping, dia jadi tidak bisa memperhatikan Cindy yang duduk di sebelahnya. Dia ingin mengajak Cindy berbicara, tetapi ketika mulutnya mangap, dia ingat janjinya sendiri untuk tidak mengganggu.
Sebaliknya, Cindy bersyukur karena Vino benar-benar menepati janji untuk tidak bertanya atau mengganggu kesendiriannya--setidaknya untuk saat ini. Dia juga bersyukur karena kebiasaan Vino menyetir tidak memungkinkannya untuk melihat wajahnya.
Sedari tadi air mata Cindy sudah tumpah, tetapi dia menggigit bibir bawah supaya tangisannya tidak berubah menjadi sesenggukan, meski dia harus merasakan sakit pada bagian tenggorokan sebagai gantinya. Pucuk hidungnya memerah, begitu pula matanya yang mulai bengkak.
Cindy tidak peduli dengan sejumlah masyarakat yang menatapnya ingin tahu ketika melewati mobil Vino. Entahlah, cewek itu lebih memilih menjadi tontonan orang banyak ketimbang ketahuan oleh Vino.
"Cin...." Vino memanggil tiba-tiba, seakan mempunyai firasat yang sangat peka. "Lo nggak apa-apa?"
"..."
Vino tidak bisa menoleh, tetapi dia cemas, sehingga cowok itu merasa lega ketika melihat lampu merah di depan. Mungkin hanya dia satu-satunya di antara pengemudi lain yang senang atas situasi ini.
Vino mengalihkan atensinya ke samping setelah menghentikan mobil, ikut mengantri bersama kendaraan yang lain. Cowok itu mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Cindy pelan. "Cin--"
Meski ada jeda, pada akhirnya Cindy menjawab, "Gue baik-baik aja."
Cindy nangis. "Oh, oke."
Vino bisa saja bilang oke, tetapi dia berpindah haluan ke destinasi lain ketika lampu hijau telah menyala.
Untungnya Cindy tidak sadar atau lebih tepatnya, cewek itu tidak memperhatikan jalan di sekitar padahal jalur yang mereka lewati sekarang sama sekali tidak mengarah ke rumah Vino.
Vino berencana membawanya ke pantai terdekat.
*****
Awalnya Cindy tidak menyadari ke mana arah mobil Vino membawanya, tetapi ketika dia sudah puas meluapkan isi hati dan otot di lehernya mulai terasa pegal, cewek itu segera paham kalau suasana di sekitarnya bukan jalur yang seharusnya mereka tempuh. Lagi pula, Cindy yakin dia sudah lama tenggelam dalam dunianya sendiri dan mobil Vino tidak kunjung menemukan jalan pulang.
"Ini... kita ke mana?" tanya Cindy, akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Vino.
"Pantai," jawab Vino kalem seakan dia yakin Cindy akan setuju dengan usulnya. "Udah lama juga nih nggak ke pantai. Jadwal kuliah lo juga kosong, kan?"
"Kenapa kita ke pantai?" tanya Cindy yang masih gagal paham.
"Cuci mata."
"Di siang hari begini? Bukannya panas banget?"
"Kan nggak mesti main pasir. Minum kelapa muda sambil mandangin ombak mungkin bakal lebih seru," jawab Vino lagi, atensinya seperti biasa tetap terarah ke depan. "Lo udah lama nggak ke pantai juga, kan? Gue juga--cuma satu kali sih. Hmm... udah berapa lama, ya? Kayaknya waktu gue baru pindah ke Bandung trus penasaran sama pantainya. Pantai Santolo yang terdekat, kan? Waktu pertama kali ke sana, gue langsung dibuat jatuh cinta trus berencana mau ngunjungin lagi kalo ada kesempatan, tapi ternyata malah nggak pergi lagi sejak saat itu."
"Oh ya? Gue kira lo udah biasa ke pantai," kata Cindy. "Tapi mending sih, gue malah nggak pernah pergi."
"Berarti keputusan gue ngajak lo ke pantai itu lebih dari tepat," kata Vino dengan eye-smile-nya yang tercetak dalam. "Pantai Santolo cantik banget pemandangannya, lo pasti bakal suka. Percaya sama gue."
Cindy diam saja, lebih tepatnya tidak tahu mau merespons apa. Meskipun demikian, dia tidak merasa kaku hingga harus segera mencari topik untuk mencairkan suasana. Malahan, jeda di antara mereka membuatnya nyaman seakan-akan Vino begitu mengerti dirinya.
Entah sejak kapan.
Cindy juga seharusnya canggung dengan Vino, apalagi sejak tahu kalau cowok itu ternyata memendam perasaan lebih dari teman padanya. Gimana ya, Vino selalu mempunyai caranya sendiri untuk tidak memaksakan perasaan atau setidaknya menunjukkan kalau dia kecewa karena ditolak. Alih-alih demikian, Vino bersikap profesional, menunjukkan toleransinya tanpa membuat Cindy merasa terbebani.
Vino memang sedewasa itu.
Benar yang dikatakan Vino, Pantai Santolo tidak jauh dari pusat kota Bandung. Juga, apa yang sempat dideskripsikan benar adanya karena Cindy langsung dibuat terpesona dengan keindahan pantainya. Tidak seperti pantai-pantai yang pernah dilihatnya di media sosial--mengingat dia tidak pernah mengunjungi pantai selama eksistensi hidupnya, pasirnya berwarna putih dan ada banyak hamparan batu-batu panjang dengan banyak perahu nelayan di sisinya.
Pantai tersebut ramai pengunjung meski hari ini bukan hari libur atau weekend. Jelas, destinasi ini menjadi destinasi populer bagi sebagian besar pengunjung, termasuk pengunjung dari luar negeri.
Ada banyak spot unik untuk duduk. Salah satunya yang menarik perhatian Cindy adalah desain yang menggunakan potongan batang pohon yang dirakit sedemikian rupa membentuk ayunan yang diikat dengan tali super kuat. Ada dua pohon rindang pada masing-masing sisi untuk menaungi para pengunjung supaya tidak kepanasan.
Menurut Cindy, spot tersebut memberi kesan yang natural sekaligus romantis.
Vino memperhatikan arah pandang Cindy dan ternyata cukup peka untuk mengajaknya duduk di sana.
"Yang gue suka, pasirnya tuh putih trus lembut banget, beda sama pantai lain," kata Vino sementara Cindy duduk di sebelahnya. Mengingat mereka duduk di tempat yang modelnya ayunan, otomatis keduanya berayun sedikit ketika Cindy menempatinya.
Untungnya mereka sama-sama memegangi tali ayunan sehingga mereka bisa menyeimbangkan tubuh masing-masing.
Angin semilir memainkan rambut dan pakaian mereka selagi mereka duduk di sana. Wajar saja, mengingat ayunan tersebut berada di pesisir pantai bagian tengah, jelas diatur agar bisa menikmati bentang pantai yang luas seakan tak berujung, menyaksikan deburan ombak yang tidak akan memberikan efek berbahaya jika sedang pasang karena sudah diberi pengaman karang yang cantik di bibir pantainya.
Meski matahari sedang terik-teriknya, Cindy merasa ternyata cuaca tidak se-menyengat itu hingga membakar kulit. Malahan dia merasa adem karena angin semilir yang masih saja memainkan rambut yang tergerai dan kemeja yang dikenakannya. Begitu pula dengan Vino. Rambutnya yang bebas dari styling gel, ikut dimainkan sebebas-bebasnya hingga menghalangi pandangan cowok itu.
Meskipun demikian, itu tidak menghalangi Vino untuk melepas jaket dan memakaikannya ke Cindy, termasuk me-ritsleting-nya hingga ke atas.
Alih-alih bertanya mengapa Vino mau repot-repot memakaikannya jaket, Cindy malah sempat-sempatnya blushing sementara Vino sempat-sempatnya nyengir hingga menunjukkan eye-smile-nya lagi.
"Felix bilang rasa suka gue ke dia itu sebagai keluarga, bukan pacar." Cindy membuka percakapan setelah keduanya duduk cukup lama di ayunan. "Karena kalo pacar, gue nggak akan mengingat dia sebagai almarhum adik gue yang udah pergi."
Vino diam saja, mungkin dia menunggu Cindy menyelesaikan curhatan walau perhatiannya tertuju padanya sejak tadi.
"Felix bilang kalo suka sebagai pacar, jantung gue bakal berdetak kencang trus gue bakal nyaman sama orang itu."
"Jadi? Gimana rasanya setiap lo di dekat Felix?" tanya Vino setelah merasa Cindy tidak kunjung berbicara lagi. "Apa debaran dan rasa nyaman itu ada?"
Cindy membuang pandangan ke sekelompok remaja yang sedang asyik berteriak kesenangan selagi bermain air di tepi pantai. "Rasa nyaman pasti ada, tapi soal debaran... gue nggak yakin karena selama ini... hmm... jujur... gue... gue sama Felix nggak pernah terlalu dekat. Maksud gue... kami bahkan belum pernah berpelukan atau...."
"Ciuman?" tebak Vino frontal. "Ya, gue paham sih, karena waktu kita ciuman aja, itu yang--hmm... maaf."
Karena Cindy meliriknya dengan tatapan penuh celaan meski wajahnya memerah lagi.
Vino berdeham lagi. "Hmm... yang dibilang Felix nggak salah, sih. Soalnya udah terbukti secara teoritis dan teruji dalam drama-drama yang sejauh ini gue tonton, bahkan nggak menutup kemungkinan sinetron juga ada. Bisa dibilang, teori ini udah klise banget. Lagian, gue juga setuju karena gue udah pernah mengalaminya."
"Oh ya? Jadi, gimana? Lo suka sama dia?" tanya Cindy, yang entah memang sepolos itu atau tidak peka.
"Iya, gue suka sama dia. Lo orangnya."
"..."
"Hmm... jadi canggung ya? Sori ya, gue cuma berusaha bantuin lo. Kalo gitu, gue nanya deh. Lo jawab, ya?"
"Hmm... oke deh."
"Tiap lo di deket gue, lo rasa gimana?"
"Yang pasti gue nggak canggung lagi berada di dekat lo. Lagian, selama beberapa hari terakhir ini lo yang bimbing dan nemani gue demi sembuhin PTSD gue. Jadi... gue nyaman juga sih sama lo."
"Oke. Trus kalo di deket gue, lo rasa kayak ada sesuatu yang gereget nggak? Kayak ada sensasi bikin lo malu-malu gitu?"
"Kalo sekarang sih, nggak."
"Kalo jarak kita terlalu deket, ada rasa kayak deg-degan nggak?"
"Hmm... gue nggak tau."
"Kalo yang pas ciuman waktu itu?"
"Ish! Itu kan lo lakuinnya mendadak! Lagian kita sembunyi dari kakak lo, kan? Gue deg-degan karena takut ketahuan, kali!" sembur Cindy, tiba-tiba ngegas.
Vino auto menghela napas berat, seperti bapak-bapak yang belum kebagian gaji. "Trus tadi lo kayaknya blushing karena gue pakein jaket tadi. Nah, jadi lo rasa deg-degan nggak?"
Cindy mengernyitkan alis, mulai bingung tetapi aksi diamnya justru membuat Vino bersemangat. Apakah cewek itu memang mempunyai perasaan yang sama padanya?
"Jadi? Gimana?"
"Nggak tau, Vin."
"Kepengen nguji lagi, nggak? At least, pelukan sama--"
"NGGAK!" hardik Cindy, terlalu denial hingga lupa kalau dia sedang duduk di ayunan. Tangan yang seharusnya memegang tali, terlepas. Tubuhnya oleng dan kejadiannya berlangsung terlalu cepat.
Siapa sangka, tubuh Cindy berakhir pas di dalam pelukan Vino, yang menangkapnya tepat sasaran dengan kedua tangan memeluk erat pinggangnya. Mata keduanya melebar, tidak percaya dengan apa yang terjadi di antara. Meskipun demikian, Cindy merasakan sesuatu yang bertalu-talu di dalam jantungnya, berdetak dua kali lebih cepat hingga cewek itu tidak akan heran jika Vino juga bisa merasakannya.
Benar saja, dengan posisi mereka seperti itu, Vino tentu bisa merasakan detak jantung Cindy yang berdebar, sama seperti dirinya yang merasakan hal yang sama. Lantas, cowok itu tersenyum lebar hingga tawa renyahnya terdengar dari balik bahu Cindy.
"Kenapa lo ketawa?" tanya Cindy, tetapi pelukan mereka belum melonggar. Rasa penasarannya membuat dia lupa kalau mereka dalam posisi yang terlalu dekat.
"Lucu aja. Barusan lo nolak meluk gue, tapi ujungnya meluk juga ya. Ternyata semesta memang mau jodohin kita."
"Ish. Ngaku-ngaku."
"Tapi lo ngaku aja. Deg-degan, kan?"
Cindy melepas pelukan dan langsung membuang mukanya karena tidak ingin ketahuan sedang blushing, tetapi gagal karena Vino sudah melihatnya.
"Blushing lagi. Ck. Ngaku aja, lo suka sama gue sebagai pacar. Tapi dipikir-pikir, lo ngerasa nggak kalo kita emang jodoh? Gue lulusan Psikologi, trus ketemu lo berkat keinginan Felina buat nyari Felix. Bener, kan? Gue juga langsung suka sama lo dari awal ketemu. Lo inget nggak pas gue lagi gugup salaman sama lo? Ternyata cinta pandangan pertama itu beneran eksis. Gue harus seneng apa teriak, ya?"
Cindy auto bungkam, lebih tepatnya dia tidak tahu harus menjawab apa. Lantas secara tidak terduga, Vino beranjak dari ayunan. Selama beberapa saat, cowok itu terlihat sedang menikmati keindahan pantai di hadapannya, kemudian dia berbalik ke arah Cindy. Meski tubuh tingginya mendominasi, pada akhirnya dia membungkukkan tubuh untuk menyejajarkan tatapan mereka.
Vino menatapnya intens, membuat jantung Cindy berdetak secara labil tanpa bisa dicegah, hingga cowok itu tidak tahan untuk tidak tersenyum. "Cindy... ngomongnya aku-kamu, yuk?"
"Hah?"
"Maksud aku, coba pacaran. Mau, kan?"
"Kenapa tiba-tiba nanya gitu? G-gue belum siap...."
"Oke, tunggu kamu siap kalo gitu. Tapi ngomongnya aku-kamu, ya?"
"Harus banget, ya?"
Vino mengangguk. "Harus, dong. Pengen dari dulu, malah. Soalnya cemburu aja denger kamu ngomong sama Felix aku-kamu, tapi sama aku nggak gitu. Minum air kelapa, yuk?"
"Hah? Kok tiba-tiba air kelapa?"
"Masih mau lanjut yang tadi, nih?"
"Ng-nggak! BUKAN GITU!"
"Ya udah. Yuk," ajak Vino, memberanikan dirinya untuk mengaitkan jemarinya pada jemari Cindy dan bersikap seakan-akan dia sudah biasa melakukannya.
Anehnya, Cindy tidak melarangnya. Entahlah, apa karena dia sebenarnya sudah menerima Vino sebagai pacarnya?
Bisa jadi. Karena Cindy juga percaya, rasa deg-degan yang dia rasakan memang muncul ketika dia berada di dekat Vino. Termasuk rasa nyaman.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top