35). Savior Again

Meilvie melangkah bersama Tari cs dengan formasi sang ketua memimpin di depan dan dua teman lain berjalan di belakang Meilvie untuk menjaganya supaya tidak kabur. Mereka sekilas terlihat seperti sekelompok mafia yang ingin 'mengadili' targetnya.

Jujur saja, Meilvie tidak takut dengan mereka. Cewek itu memenuhi permintaan Tari semata-mata karena memergoki Gea merekam percakapan mereka barusan. Itulah sebabnya, dia tidak mau berlama-lama dan segera menyuarakan keinginannya.

"Serahin ke gue rekamannya," pinta Meilvie pada Tari, berusaha tidak memulainya dengan emosi.

"Don't you think you should make a proper deal--I mean, for the return?" tanya Tari licik, dengan seringainya seperti biasa sementara Gea dan Vika mendorong masing-masing pundak Meilvie hingga tergencet ke dinding. "Nggak usah sok berani, karena nggak ada yang bakal nolongin lo, bahkan Felix si Pahlawan Kesiangan lo itu."

"Then tell me the deal," kata Meilvie dengan nada jengah, tidak segan-segan menunjukkan kekesalan karena waktunya terbuang percuma.

"Makin lama makin songong aja nih cewek," celetuk Gea, sukses dibuat kesal hingga geregetan. "Gue boleh nampar dia, nggak?"

"Boleh juga idenya. Kalian nampar gue masing-masing sekali, tapi sebagai gantinya kalian harus hapus rekaman itu," usul Meilvie sebelum Tari membuka mulut. "Adil, kan? Gue yang rasain sakitnya dan kalian bisa menikmati prosesnya."

"Sayangnya gue nggak mau rasa sakit itu hanya dirasakan dari luar aja," balas Tari, sementara dia mendekat ke arah Meilvie dengan langkah perlahan seakan benar-benar memerankan peran mafianya dengan baik. "Gue mau lo dipermaluin, supaya lo kapok."

"Revan nggak tau isi suratnya, kan? Lantas, kenapa lo masih ngincar gue?"

"Lo mau tau?" tanya Tari, menghentikan langkah ketika dia sudah benar-benar berhadapan dengan adik kelasnya. Gea dan Vika sama-sama menyandarkan sisi tubuh mereka di sisi kiri-kanan Meilvie. "Soalnya lo makin lama makin berani sama gue, jadi gue nggak suka. Selama ini nggak ada yang berani sama gue."

"Hanya karena itu?" tanya Meilvie dengan tatapan jengah, kemudian menghela napasnya. "Oke, mulai hari ini gue akan respek sama lo sebagai kakak kelas gue. Jadi, hapus video itu sekarang juga."

"Tuh kan masih nyolot," celetuk Gea, nadanya menuduh. "Kayaknya gue beneran mau nampar dia deh, Tar."

"Sebarin videonya aja, Tar, biar cewek songong ini kapok," usul Vika sembari mengeluarkan ponsel dan mengusap layar untuk menggencarkan aksinya. "Sebarin ke mana ya enaknya?"

Lantas tanpa aba-aba, Meilvie mengulurkan tangan untuk merebut ponsel Vika yang saat itu sedang lengah. Meski berhasil, untuk sejenak dia lupa karena berhadapan dengan tiga kakak kelas yang postur tubuhnya lebih tinggi.

Tari yang geram kontan menarik kerah seragam Meilvie dengan kasar, bermaksud untuk benar-benar menamparnya tetapi aksi tersebut digagalkan oleh teriakan seseorang.

"LEPASIN DIA, DASAR ULAR!!!" teriak Felix dari ujung koridor, mengagetkan semua yang berada di TKP.

"Ck. Dia lagi!" keluh Tari kesal sementara Felix tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bergabung.

"Lepasin dia! Atau lo--"

"Ohhh... lo berani ngancam gue?" tanya Tari dengan tangan masih meremas kerah seragam Meilvie, sementara kedua antek-anteknya telah maju dan menatap Felix dengan tatapan yang sama galaknya. "Dari awal udah gue peringatin; NGGAK USAH IKUT CAMPUR!"

"Itu udah menjadi hak gue karena Meilvie itu cewek gue!" hardik Felix, mengabaikan pelototan Meilvie yang tidak terima dengan pernyataan itu. "Waktu masih temenan aja gue nggak ngebiarin kalian nyentuh dia, apalagi sekarang?"

"Mau dia cewek lo apa bukan, pokoknya gue lagi lagi ada urusan sama cewek cebol ini. Jadi lo nggak usah ikut campur."

"Udah gue bilangin, gue cowoknya Meilvie! Ya kali gue biarin kalian nistain dia! Gue peringatin ya, kalo lo nggak mau nyesel, mending lo cepet-cepet cabut dari sini."

"Berani banget lo ngancem gue?"

"Gue udah peringatin loh, ya. Jangan nyesel."

"Lo kira gue takut sama ancaman lo? Awas ya kalo sampai--"

Lantas, persis di koridor tepat Felix barusan berteriak, ada orang lain yang melakukan hal yang sama. Teriakan tersebut seperti alarm peringatan yang berbahaya bagi Tari hingga cewek itu syok dan membuka mulutnya dengan lebar.

"TARI! KAMU NGAPAIN?" tanya Revan dengan tatapan tidak percaya.

Tari gelagapan, dia seakan baru sadar kalau tangannya masih menempel erat pada kerah seragam Meilvie sehingga tanpa menjelaskan pun, Revan segera tahu hal jahat apa yang dilakukan pacarnya.

Revan bergabung di antara mereka, mencekal pergelangan tangan Tari dengan agresif. "Kamu... jadi bener? Apa surat dari Meilvie itu, perbuatan kamu juga?"

"Ng-nggak, Sayang. K-kamu dengerin dulu... dengerin dulu pen-penjelasan aku," gagap Tari, menyebarkan pandangan untuk meminta pembelaan tetapi sayangnya dia harus melihat Felix yang menyeringai dan membuka mulutnya, berbicara tanpa suara seperti sedang lipsync; mampus-lo.

"Aku kecewa sama kamu. Kita putus!"

"APA?? Revan, kenapa gampang banget kamu putusin aku kayak gini? Revan! REVAN! REVANNNN!" teriak Tari semakin lama semakin keras sementara dia mengejar pacarnya dengan frustasi. Teriakannya menggema hingga ke ujung koridor sementara duo Vika dan Gea hanya bisa menyusul dengan pasrah.

Kini tersisa Felix dan Meilvie berdua di halaman belakang sekolah. Keduanya tampak canggung satu sama lain, bahkan tidak ada yang berani saling menatap.

Meilvie bersyukur karena ponsel milik Vika masih berada dalam genggamannya sehingga dia bisa berlama-lama dengan mencari video yang sempat direkam tadi.

"Lo kira lo bisa menang lawan mereka?" tanya Felix tiba-tiba. "Lo bego atau sengaja uji nyali sih?"

"Nggak dua-duanya," balas Meilvie, kini balas menatap Felix sembari mengabaikan detak jantung yang entah kenapa berdesir tanpa izin terlebih dulu sama otaknya. "Gue nggak bego karena nilai gue selalu bagus dalam pelajaran dan gue juga nggak sekurang-kerjaan itu sampai mau uji nyali. Tambahannya, gue sama sekali nggak takut sama mereka."

"Trus kenapa lo ikut mereka?"

"Karena... karena..." Meilvie hendak jujur, tetapi mendadak dia sadar jika dia mengemukakan apa tujuannya mengikuti kemauan Tari, Felix pasti akan besar kepala. "Ada, deh. Lo nggak perlu tau."

Meilvie mengusap layar pada ponsel Vika dan berhasil menghapusnya dengan benar tanpa ketahuan.

"Loh, kok gitu?" protes Felix tidak terima. "Gue udah susah payah nyusul lo ke sini dan lo malah--"

"Oh, nggak ikhlas rupanya?"

"Nggak gitu, maksud gue--"

"Itu memang nggak ikhlas namanya, Felix Denindra!" hardik Meilvie nyolot. "Sayang sekali, tapi gue nggak minta bantuan lo. Sama seperti insiden di lantai tiga waktu itu, gue juga nggak minta bantuan lo!"

Felix bungkam, ekspresinya persis seperti kejadian sewaktu Meilvie menolak bantuannya.

"Bahkan lo menolak eksistensi gue."

Meilvie tiba-tiba mengingat kalimat itu. Dia sadar kalau perkataannya keterlaluan, apalagi situasinya dia telah mengetahui masalah pribadi Felix. Namun seperti apa yang dinasihatkan oleh Tari, dia merasa tidak benar saja jika dia menjadi pihak yang merusak hubungan orang.

Jangankan hubungan Felix-Cindy, Meilvie saja tidak mau terlibat lebih jauh setelah dia mengetahui seperti apa hubungan Revan-Tari.

"Gue kira hubungan kita lebih dekat dari yang seharusnya, tapi kayaknya hanya gue yang berpikir seperti itu," kata Felix akhirnya setelah jeda yang cukup lama dan dia mendengus keras, seperti menertawakan sesuatu yang konyol.

"Lo juga deket sama Kak Cindy, kan? Gue baru inget, dia itu yang mereka sebut-sebut sebagai sugar mommy lo."

Meilvie melipat bibirnya setelah mengatakan semua itu, mendadak menyesal karena ucapannya terdengar seperti menuduh, mirip cewek bucin yang tidak terima atas gosip yang tidak enak tentang gebetannya dan sedang membutuhkan klarifikasi.

Khawatir ketahuan, Meilvie segera menjauhkan diri dan sedang bergerak untuk meninggalkan lokasi tepat ketika tangannya ditahan oleh Felix.

"Gue bakal jelasin semuanya ke lo, tapi gue sama Cindy memang nggak ada hubungan apa-apa. Selama ini gue anggap dia sebagai kakak gue, nggak lebih. Lo mau kan percaya sama gue?"

"..."

"Cindy pernah menyelamatkan hidup gue, dan dia juga punya gangguan mental. Itu sebabnya gue bertahan di sisi dia sampai banyak yang ngira gue memang punya hubungan spesial sama dia, padahal--"

"Oke, oke. Gue percaya. Lepasin tangan gue dulu."

"Beneran?" tanya Felix dengan kedua mata berbinar dan tidak menyembunyikan senyum lebarnya.

"Iya, biar lo bisa lepasin tangan gue."

"Ck. Jadi lo nggak percaya sama gue?" tanya Felix, kembali kesal.

"Percaya nggak percaya, apa hubungannya sama gue?"

"Lo kan pacar gue."

"Heh, mau gue bilang berapa kali sih? Gue bukan pacar lo!"

"Sebenci itu ya lo sama gue?"

"Ya nggak gitu!"

"Berarti suka?"

Meilvie terkesiap sebentar, pipinya menggembung dan rona merah segera menjalari wajahnya. "Ah, nggak tau deh! Gue mau pulang! Nanti dicariin abang gue."

Meilvie berjalan cepat meninggalkan area halaman belakang sekolah dengan kikuk diiringi hentakan kaki selagi berjalan, sementara Felix tertawa di belakangnya. "Nggak usah malu begitu. HEI! KITA BELUM MAKAN RAMEN BARENG! TUNGGUIN GUE!"

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top