33). Reveal

Cindy telah berpikir keras sejak Felix meninggalkan rumah Vino dan tinggal di rumah temannya untuk sementara, dia tidak bisa terus-terusan jauh dari Felix. Itulah sebabnya mengapa dia mengambil keputusan untuk segera kembali ke apartemen dan berencana mengajak Felix ikut bersamanya.

Kebetulan hari ini jadwal kuliah Cindy kosong dan dengan luapan kegembiraan yang kentara, cewek itu berencana untuk menjemput Felix dari sekolah sekalian mengajaknya makan siang berdua.

Cindy segera bersiap-siap dan ketika dia sedang memakai jaket, ponsel miliknya bergetar sekilas, layarnya menyala otomatis untuk menunjukkan sebuah notifikasi chat dari nomor yang tidak dikenal.

Chat tersebut diawali dengan sapaan ramah dari si pengirim yang mengakui kalau dia adalah Tari--adiknya Tara, yang segera Cindy ketahui siapa. Tara adalah teman SMP-nya dan terakhir mereka bertemu sewaktu acara reuni dadakan di restoran hotel.

Cindy membalas sapaan itu dan kemudian Tari melanjutkannya dengan pertanyaan yang tidak terduga.

+62 812-5678-99xx
Kakak pacaran sama Felix, ya? 11.42

Iya. Kenapa ya?
11.42 √√

+62 812-5678-99xx
Aku mau minta maaf sebelumnya, Kak. Aku baru tau Felix punya pacar. Jadi ceritanya, adik kelas aku, namanya Meilvie. Dia suka sama Felix. Aku kan anggota OSIS, jadi aku punya banyak kenalan di sekolah. Singkat cerita, aku deketin dia sama Felix dan waktu aku tanya ke Felix, ngakunya nggak punya pacar. Jadi, ya gitu deh aku comblangin mereka trus deket. Deket banget malah, udah resmi kayaknya, Kak. Maafin aku ya? 11.43

+62 812-5678-99xx
Kak? 11.45

+62 812-5678-99xx
Sending a photo.


+62 812-5678-99xx
Itu dia, Kak. Meilvie Annabella namanya, sekelas sama Felix udah gitu sebangku berdua sama dia. Maafin aku ya, Kak. Aku bakal kasih tau Meilvie untuk segera akhiri hubungannya sama Felix. Soal Felix, Kakak yang kasih tau dia aja, ya?
11.48

Iya.
11.50√√

Perasaan Cindy campur aduk, antara; kesal, marah, terluka, hingga cemburu. Namun, dia tidak ingin langsung memercayai cewek yang mengaku bernama Tari itu.

Karena walau bagaimanapun, Cindy tentu lebih mengenal Felix dibanding Tari. Jadi terlepas fakta yang baru saja diungkap dalam chat tersebut, bukankah Cindy harus mempercayai cowok itu?

"Lo mau keluar?" tanya Vino dari duduknya di sofa, menatap ke arah Cindy yang sudah bersiap-siap dengan segala sesuatunya, lengkap dengan kunci mobil di tangan. "Ke mana?"

"Mau jemput Felix. Gue duluan, ya?" jawab Cindy, tersenyum sedikit yang nyatanya terlihat kaku di mata Vino.

"Lo kenapa?" tanya Vino dengan alis berkerut. "Nggak sehat? Mau gue antarin?"

"Nggak usah, makasih."

"Yang Vino bilang bener, Kak. Lo kayak nggak sehat gitu," timpal Felina, yang duduk di seberang pamannya. "Tapi gue jadi mau ketemu Felix juga. Nanti ajak dia mampir ke sini ya, Kak? Ada yang mau gue bicarain ke dia juga."

"Oke. Rencananya memang gitu, Fel, soalnya gue mau ngajak Felix kembali ke apartemen, cuma sebelumnya mampir ke sini dulu buat ngambil barang yang masih tertinggal," jelas Cindy.

"Oh, cepet banget mau pindahan lagi, Kak?" tanya Felina dengan nada sedih, tetapi Cindy tampak tidak mau berkomentar. Mungkin saja dia terburu-buru karena mengejar jam pulang Felix. Pada akhirnya, cewek itu melempar senyum canggung sebelum benar-benar keluar dari rumah Vino.

Sepuluh menit kemudian, mobil Cindy sampai di SMA Asoka dan dia mengemudikannya masuk ke dalam gerbang.

Cindy datang tepat waktu, terbukti sebagian besar siswa baru saja keluar dari kelas mereka masing-masing. Cewek itu lantas memarkir mobilnya di area khusus mobil antar-jemput dan baru saja mau membuka pintu untuk keluar ketika dia melihat sosok familier yang tidak sendirian, berjalan beriringan bersama seseorang yang lain dalam radius empat meter di antara keramaian.

Benar saja, karena persis seperti apa yang diadukan Tari padanya, Felix bisa jadi benar-benar berpacaran dengan cewek itu.

Cewek yang dia ketahui bernama Meilvie, karena rupa wajahnya persis seperti di foto.

Melihat bagaimana keakraban mereka selagi berjalan, melihat bagaimana Felix tertawa renyah setelah menjahilinya (karena terlihat dari ekspresi kesal Meilvie), dan melihat bagaimana interaksi mereka, Cindy segera tahu kalau mereka saling menyukai.

Minimal, Felix menyukai Meilvie.

Ulu hati Cindy terasa sakit. Jauh lebih sakit daripada saat Felix menolaknya karena gangguan PTSD-nya.

Tetapi sekali lagi, Cindy tidak mau menyerah atas usahanya mempercayai Felix. Dia memilih untuk mengabaikan semua yang dilihatnya dan berpikir kalau mereka akrab atas dasar teman, bukannya gebetan.

Oleh karena itu, Cindy segera merilekskan wajah dan membuka pintu mobilnya. Lantas setelah keluar, dia hendak memanggil Felix dengan teriakannya yang ceria tetapi tindakannya terhalang oleh kehadiran seseorang.

"Hai, Kak. Aku Tari, adiknya Tara."

Cindy mengalihkan atensinya pada Tari yang tersenyum lebar dan segera mempercayai kalau dia adalah adik Tara. Garis wajah mereka terlihat begitu mirip; dari mata yang besar, hidung mancung, hingga senyumnya yang manis. Bahkan tinggi mereka sama seakan mereka adalah kembar identik.

"Kakak udah percaya kan sama aku? Liat deh, mereka deket banget," kata Tari, memutar tubuhnya untuk ikut memperhatikan Felix yang masih belum menyadari eksistensi Cindy. "Aku yang bakal peringatin Meilvie. Kakak mau jemput Felix, kan?"

"Iya," jawab Cindy. "Tapi--"

"Tenang aja, Kak. Urusan Meilvie biar aku yang urus soalnya kesalahan aku juga kan sampai hubungan Kakak sama Felix jadi kacau begini? Pokoknya, Kakak ajak Felix pulang, ya?"

Cindy tidak sempat menjawab karena Tari sudah memutar tubuh dan mendekati Felix dan Meilvie, yang mengetahui eksistensinya ketika cewek itu sudah berada dalam radius satu meter.

Felix lebih kaget lagi ketika ekor matanya menangkap sosok Cindy yang berjalan di belakang Tari, yang balas menatapnya tanpa ekspresi.

"Cindy?" panggil Felix, speechless. Cowok itu kaget sekaget-kagetnya, padahal dia hampir saja mau melabrak Tari yang berani muncul di hadapannya. Namun melihat bagaimana Tari menunjukkan seringainya dengan bangga, Felix segera tahu ini pastilah terkait erat dengan trik liciknya.

Cindy secara refleks mengalihkan atensi pada Meilvie, ekspresinya masih sama datarnya dengan tadi walau untuk sesaat, sempat terlihat kalau cewek itu memandang tidak suka seakan miliknya direbut tanpa izin.

"Ikut aku pulang ya, Beb. Sekalian kita makan ramen kesukaan kamu di Cafe Young," ajak Cindy, secara kebetulan memilih menu yang sama seperti yang Felix usulkan pada Meilvie di kelas.

"Bagus," kata Tari, memotong niat Felix membuka suara yang dia tahu pastilah sebuah penolakan. "Gue punya urusan sama Meilvie, jadi lo ikut gue."

Atensi Tari beralih ke Meilvie, yang balas menatapnya dengan gagal paham.

"Gue nggak ada urusan sama lo."

"Tapi gue ada," jawab Tari ngotot. "Berhubung pacarnya Felix nyari pacarnya sendiri, nggak mungkin lo nyolot mau ikut mereka, kan? Kecuali lo pelakor versi remaja."

"Gue nolak lo bukan berarti gue mau ikut Felix!" sembur Meilvie, mengabaikan perhatian Felix seakan dia tidak ada di sana. "Gue mau pulang."

"Tapi tadi lo jalan bareng Felix, trus akrab banget. Apa karena hubungan kalian backstreet jadi nggak mau ketahuan?" balas Tari, seringainya semakin tercetak dalam.

"Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Felix," sahut Meilvie dingin, lagi-lagi mengabaikan Felix yang sekarang menatapnya dengan tatapan yang sarat akan tatapan kecewa dan itu semua dilihat secara langsung oleh Cindy.

Hati Cindy terluka, tentu saja. Baginya, itu sudah lebih dari sekedar penolakan dan jelas menegaskan kalau Felix memang mempunyai perasaan pada Meilvie.

Langkah Meilvie menjauh, tetapi tangannya ditahan oleh Felix, yang gerakannya juga ditahan oleh Cindy secara tidak terduga. Ketiganya saling bertukar pandang satu sama lain, hingga Cindy yang terlebih dahulu membuka suara meski nada bicaranya parau, atas usahanya menahan rasa sakit yang tercekat dalam tenggorokannya.

"Kita perlu bicara, Felix. Berdua," kata Cindy, menekankan kata terakhir dengan penegasan yang terlihat dari matanya juga.

"Biar adil, lo bicara sama gue," perintah Tari pada Meilvie, menonton semuanya dengan ekspresi puas. Matanya sempat melirik ke arah jam dua, dimana dua antek-anteknya--Gea dan Vika, sedang melakukan dokumentasi dengan ponsel; Gea bagian merekam dan Vika menemani di sebelahnya.

Keduanya jelas merekam keempatnya dari lokasi yang cukup strategis.

Meilvie mengikuti arah lirikan Tari dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui apa yang sedang mereka lakukan.

Felix tidak tahu, karena punggungnya menghadap rekaman tersebut, yang sama situasinya dengan Cindy karena dia sedang berhadapan dengan cowok itu.

Meilvie yang berada di posisi samping hendak membuka suara, tetapi telah dihalangi oleh Tari yang berkata, "Kita bisa negosiasi kalo lo ikut gue."

"Oke," kata Meilvie akhirnya, menghentakkan tangannya sendiri hingga lepas dari belenggu Felix.

"Meil--"

Meilvie jelas mengabaikan Felix.

"Felix--"

"Aku nggak tau kamu ngomong apa aja sama Tari, tapi dia itu uler, Cin. Kamu jangan percaya sama dia," kata Felix setelah Meilvie mengikuti langkah Tari tanpa menoleh lagi. "Terakhir, dia mau permalukan Meilvie dan aku nggak bisa biarkan itu."

"Aku juga mau percaya," kata Cindy pelan hingga menyerupai bisikan, terdengar begitu dingin untuk pertama kali dalam durasi hubungan mereka. Felix menyadarinya dan speechless seketika. "Tapi melihat bagaimana kamu liat cewek itu, aku udah tau siapa yang kamu prioritaskan.

"Lantas, apa gunanya aku sembuhkan PTSD aku? Apa gunanya aku jalani psikoterapi?" tanya Cindy ketika jeda berlangsung di antara mereka dan Felix masih membisu. "Dan apa artinya aku di mata kamu?"

"Aku hanya anggap kamu Kakak aku, Cin. Sedari awal. Aku... sebenarnya aku mau terus terang dan seharusnya aku tegasin itu ke kamu dari dulu, tapi aku nggak bisa karena dari awal aku udah tau kamu punya gangguan PTSD," jawab Felix terus terang dengan kepala tertunduk, merasa bersalah sementara dia harus jujur. "Aku takut kamu trauma lagi dan dokter Dude bilang nyawa kamu dalam bahaya kalo kamu trauma lagi."

"Apa bedanya? Kamu juga akhirnya ngaku ke aku sekarang," kata Cindy, matanya berkaca-kaca dan memerah. "Kamu bakal ninggalin aku juga."

"Aku nggak akan ninggalin kamu, Cin. Sampai kapan pun, aku anggap kamu bagian dari keluarga yang dekat sama aku, bahkan lebih dekat dari keluarga kandung aku sendiri," jawab Felix, nadanya juga dingin ketika kata-katanya terkait dengan keluarga aslinya. "Soal cinta, aku yakin suatu saat kamu bakal ketemu orangnya, orang yang tulus menyukai kamu sama seperti kamu menyukai aku."

"Nggak ada, Felix. Hanya kamu di hati aku dan satu-satunya. Hanya kamu yang membuat aku inget sama adik aku yang udah ninggalin aku. Kalo aku lepasin kamu, sama aja kamu nyuruh aku lepasin adik aku untuk yang kedua kalinya."

"Itu artinya kamu bukan sayang sama aku sebagai pacar, tapi sebagai saudara," kata Felix skeptis sambil tersenyum. "Kesan kita ternyata sama, Cin. Kalo suka sebagai pacar, jantung kamu bakal berdebar kencang dan kamu nyaman berada di sisinya. Jujur, itu yang aku rasakan waktu di dekat Meilvie. Aku yakin kamu bakal ketemu orang yang bisa buat kamu berdebar dengan cara yang sama. Percaya sama aku."

Gantian Cindy yang sukses dibuat bungkam, tetapi ketika pada akhirnya dia hendak membuka mulut untuk mengeluarkan suara, ada sebuah mobil yang berhenti begitu saja di dekat mereka, mengabaikan larangan salah satu satpam karena mobilnya diparkir sembarangan. Pengemudi tersebut turun dan segera berlari ke arah Cindy.

"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Vino, ekspresinya cemas pada Cindy.

"Baguslah Kak Vino datang. Aku nitip Cindy ya, Kak. Aku harus nyusul Meilvie, dia mungkin lagi dibuli sama kakak kelasnya," kata Felix, yang merasa sangat lega atas kedatangan Vino. Lantas, dia mengalihkan atensinya pada Cindy. "Maafin aku ya, Cindy. Nanti kita bicara lagi."

Felix kemudian mempercepat langkah, lebih tepatnya berlari mencari sosok Meilvie tanpa menoleh lagi. Dalam perjalanannya, dia bertemu dengan Remmy.

"Gue mau nahan kalian, tapi tadi gue dicegat sama cewek random! Kesel deh gue! Eh, lo mau ke mana?"

"Bantuin gue nyari Revan. Atau lo punya kontaknya?" tanya Felix dengan nada buru-buru.

"Ada dong, gue kan--etdah! Kenapa sih buru-buru amat?" protes Remmy karena Felix telah merebut ponselnya dan segera menyalin nomor Revan.

"Trims. Gue duluan ya!" pamit Felix sembari men-dial nomor Revan sesegera mungkin, mengabaikan teriakan Remmy di belakangnya.

"Halo? Revan! Cepetan ke halaman belakang sekolah sekarang kalo lo mau tau sifat asli cewek lo yang kayak uler itu!" kata Felix frontal begitu panggilan teleponnya terhubung dan diangkat oleh Revan, si penerima. Benar saja dugaannya, Tari dan antek-anteknya terlihat sedang mengepung Meilvie di sudut belakang sekolah.

"LEPASIN DIA, DASAR ULAR!!!" teriak Felix sekencang-kencangnya, mengabaikan lonjakan kaget dari tripel ular dalam radius empat meter.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top