32). Next Trouble?

Tari masih belum berpuas hati karena belum berhasil memberi pelajaran sekapok-kapoknya pada Meilvie Annabella, apalagi gegara cewek itu, dia sempat bertengkar dengan Revan perihal surat yang sempat dimanipulasi dan diperbanyak itu.

Meski pertengkaran mereka tidak parah sampai tahap diam-diaman--untungnya tidak, tetap saja Tari tidak tahan untuk tidak memikirkan rencana licik lain supaya bisa mempermalukan Meilvie, seperti yang biasanya dia lakukan pada cewek-cewek yang berani naksir sama pacarnya.

Tari mulai kehabisan ide, berhubung Meilvie sering kedapatan berdua dengan cowok yang waktu itu menahan tangan Vika dan insiden tersebut lantas menjadi awal bagaimana rencana emasnya gagal begitu saja.

Tari baru-baru ini mengetahui nama cowok itu adalah Felix Denindra dan melihat bagaimana cowok itu melindungi Meilvie, Tari jadi terpancing untuk melakukan semacam background check padanya.

Ya... siapa tahu Tari bisa menemukan sesuatu yang menarik, kan? Lagi pula, nama Felix masuk dalam daftar cowok populer di SMA Asoka. Siapa tahu, dia menemukan sebuah rahasia yang bisa mempermalukannya.

Namun siapa sangka, sebelum Tari mengeluarkan ponsel untuk menghubungi orang kepercayaannya, informasi yang diinginkan muncul begitu saja, seakan sedang menunggunya.

"Tari, lo kapan mau pindahin foto-foto selfie lo, sih? Memori hp gue udah mau penuh, nih. Mana banyak lagi foto lo," protes Tara, kakaknya Tari dari seberang ruangan, tepatnya di atas ranjang. Keduanya berbagi kamar, terlihat dari dua ranjang king size di sana.

Meski sekamar, luas kamar mereka lebih dari besar untuk keduanya berbagi kamar.

"Ish, ya udah. Sini gue pindahin ke hp gue," jawab Tari, sedikit kesal karena rencananya untuk menghubungi asisten jadi terhambat. Cewek itu segera menerima ponsel milik kakaknya dan mengecek galeri.

Banyak foto-foto di sana dan benar apa yang dikatakan Tara kalau memorinya sudah hampir penuh, terbukti respons dari ponselnya yang agak lamban, padahal memori internal Tara sudah seperempat terabyte.

Jempol Tari mengusap layar ke atas untuk menandai foto sendiri, tetapi gerakannya terhenti ketika melihat foto yang terkesan familier. Penasaran, dia segera memperbesar foto tersebut.

Tari mengenal teman-teman Tara, tetapi tidak untuk cewek yang berpose tepat di sebelah....

"Felix?"

"Hah?" tanya Tara bingung, menatapnya dari atas majalah cewek yang sempat ditekuk sedikit untuk memperhatikan adiknya. "Lo manggil siapa?"

Tari beranjak dari kursi meja rias, lantas mendekati ranjang Tara dan duduk di bagian tepinya. Ponsel tersebut kemudian diarahkan ke sang kakak dengan tatapan penuh tanya. "Lo kenal Felix?"

Tara melirik foto tersebut sekilas. "Oh. Dia pacarnya Cindy."

"Pacar?" Tari membeo dengan tidak percaya. "Maksudnya, dia pacar teman lo?"

"Iya. Waktu itu ada acara reuni dadakan. Trus ya gitu deh, si Cindy ngajak pacarnya gabung. Ganteng sih ya, gemesin. Tapi sayangnya umur mereka beda agak jauh. Kisaran lima tahun deh kayaknya. Lo kenal cowok itu? Masuk akal sih, dia kan masih anak sekolahan," jawab Tara sembari mengalihkan atensinya kembali ke majalah, setelah sebelumnya membenarkan letak kacamata yang sempat miring.

"Wow. Si Felix ini udah punya pacar rupanya. Lo ada info lain nggak tentang dia?" tanya Tari kepo sembari memindahkan foto tersebut dengan cepat ke ponsel miliknya sendiri.

"Hmm... apa, ya? Fakta kalo mereka tinggal berdua?" ungkap Tara, membuat Tari melongo takjub. "Rumornya sih gitu, Tar, soalnya hubungan mereka agak unik. Bahkan sampai ada yang bilang kalo Cindy itu sugar mommy-nya Felix soalnya dia itu berasal dari dunia konglomerat, meski gue nggak terlalu tau karena gue nggak sekepo itu untuk ngecek lebih dalem. Gue cuma denger aja dari teman-teman yang gosipin dia. Emang kenapa, sih? Tumben lo mau tau banget tentang Cindy dan pacarnya?"

"Ada deh," jawab Tari dengan senyum miring, sembari memindahkan foto-fotonya sendiri dengan semangat. "Gue minta kontak Cindy dong. Lo punya?"

"Punya. Copy aja," jawab Tara santai. "Tapi kalo misalkan gue nggak punya kontak Cindy pun, lo juga nggak perlu bersusah-payah nyari kontaknya. Dia kan walinya si Felix. Gue taunya pas si Jenni ngasih tau kalo dia ngenal muka Felix dari info kakaknya yang kerja di sekolah bagian data murid. Katanya Cindy ini jadi walinya dia. Daebak bener, kan? Sedekat itu hubungan mereka."

Daebak adalah luar biasa dalam bahasa Korea.

"Trus apa maksudnya gue nggak perlu susah-susah nyari kontaknya Felix? Gue kan nggak kenal sama kakaknya temen lo, yang lo bilang kerja di bagian data murid itu."

"Ck. Lamban banget otak lo. Ya gampang, lah! Lo kan anak OSIS, pasti enteng dong tinggal minta datanya di sekolah! Gimana, sih?" jawab Tara dengan tatapan jengah.

"Muehehe... iya, ya."

Atensi Tara kembali sepenuhnya ke majalah, sementara perhatian Tari tertuju pada foto Felix dengan senyum seringainya yang khas.

*****

Felix menggambar abstrak di buku catatannya, supaya terlihat sebagai murid yang memperhatikan pelajaran padahal itu hanya sebatas pencitraan.

Nyatanya, pikirannya masih penuh. Walau luka yang didapatnya kemarin sempat dialihkan oleh Meilvie, dia tetap seorang manusia yang tidak secepat itu untuk 'sembuh'. Fakta dia tidak diharapkan oleh orang tua kandung sendiri padahal keduanya masih hidup, memberinya semacam penegasan kalau dia benar-benar ditolak.

Akan lebih wajar jika kedua orang tuanya tidak mengetahui eksistensinya dalam artian benar-benar kehilangan dirinya seperti salah satu pemantik plot dalam drama atau kedua orang tuanya mengalami amnesia sehingga tidak bisa mengenali anak kandung mereka sendiri.

Namun sayangnya, mau berapa kali Felix berpikir pun, kenyataannya dia memang tidak diinginkan oleh keluarganya. Fakta Herfian tidak mencarinya setelah dia kabur dari rumah dua tahun yang lalu lantas menampar Felix yang entah ke berapa kalinya setiap dia berada dalam mode baper. Begitu pula dengan ibu kandungnya sendiri yang bernama Yenni. Selama belasan tahun eksistensinya di dunia, tidak pernah sekali pun wanita itu mencarinya.

Felix menghentikan aktivitasnya menggambar abstrak ketika dia merasa pencitraannya cukup karena guru yang sedang mengajar kebetulan keluar sejenak untuk menerima panggilan telepon. Cowok itu mengalihkan atensinya ke luar jendela, yang selalu menjadi aktivitas favorit setiap dia menikmati waktunya sendiri.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Meilvie dari sebelah bangkunya dengan nada rendah.

Felix memalingkan wajah ke arah cewek itu dan berkata, "Perhatian, nih?"

"Lo harus belajar mengeluarkan unek-unek lo, bukannya malah dipendam. Bahaya, loh. Apalagi cobaan lo nggak sesederhana itu."

"Iya, gue akan coba meluapkan semuanya. Tapi nggak mungkin sekarang, kan?" tanya Felix dengan tatapan jenaka. Entah kenapa setiap berbicara dengan Meilvie, suasana hatinya segera membaik dan beban dalam pikirannya hilang untuk sementara, padahal pembicaraan mereka lebih banyak menjurus ke debat atau saling mengejek satu sama lain.

"Oke. Yang penting jangan dibawa stres terus, ya?"

"Iya, Nyonya."

"'Nyonya'? Panggilan buat gue banyak banget, sih? Panggil Meilvie aja, kenapa?" protes Meilvie, memelototkan matanya lagi seperti biasa.

"Lo cerewet kayak Nyonya, trus lo galak kayak hantu Annabelle, cebol kayak bebek, dan jago mematuk kayak ayam. Oh ya, satu lagi. Kalo marah kayak singa."

"Ck. Nyesel gue nanya-nanya lo tadi. Lain kali gue diem aja, deh."

"Tuh, kan? Bentar lagi lo bakal berubah jadi singa," ejek Felix sambil menarik karet gelang yang mengikat semua rambut Meilvie hingga rambut panjangnya tergerai, mengabaikan seruan protes dari cewek itu. "Nah, kalo lepas begini, jadi surainya singa beneran dong."

"Balikin, nggak?" tanya Meilvie galak, matanya yang besar melotot.

"Nah, sekarang ganti jadi mode hantu Annabelle."

"Ish, kembalikan!" hardik Meilvie dengan nada yang berusaha ditahan supaya tidak berubah menjadi teriakan. Untung saja, guru yang mengajar belum kembali.

Meilvie mengulurkan tangannya sepanjang mungkin untuk merebut kembali karet gelangnya, tetapi sia-sia saja karena tangan Felix lebih panjang.

"Tuh, kan. Jadi bebek karena cebol."

Meilvie geregetan, lantas menendang tulang kering Felix dari bawah bangku, membuat yang ditendang berteriak tanpa suara.

"Ck. Jago mematuk. Bener kan semua julukan gue?" tanya Felix setelah nyeri di tulang keringnya mereda dan Meilvie telah selesai mengikat kembali rambutnya.

"Terserah lo deh, terserah!"

Satu jam kemudian, bel pulang berdering sementara semua murid bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Beb."

"..."

"Ay."

"..."

"Ck. Oke, oke. Nyonya Meilvie?"

"..."

"Ish. Udah ada nama Meilvie, kan? Kenapa masih nggak mau jawab?" tanya Felix, mulai geregetan.

"Kenapa?" tanya Meilvie, setengah hati.

"Makan ramen, yuk? Gue traktir."

"Tumben."

"Mau, kan?"

"Hmm... oke, deh. Kalo lo yang traktir."

"Iya. Gue yang traktir, tapi nggak gratis loh."

Meilvie segera melayangkan tatapan membunuh pada Felix yang refleks tertawa terbahak-bahak, mengabaikan Remmy yang mengalihkan atensi padanya.

Remmy sudah tahu perihal kedekatan sahabatnya dengan Meilvie, sehingga cowok itu cukup peka untuk tidak mengganggu mereka. Menurutnya, itu lebih baik daripada melihat Felix murung.

Meski Remmy belum tahu cerita lengkapnya, dia cukup mengerti apa tindak-tanduk masalah keluarganya. Dia sepaham itu karena dia berasal dari dunia konglomerat, dunia yang tidak sesempurna dari luar. Bahkan tidak menutup kemungkinan, cowok itu juga mempunyai masalah keluarga yang sebelas dua belas dengan Felix, hanya saja cowok itu masih bisa menerima hingga tidak berpikiran dangkal untuk terjerumus ke dalam dunia gelap sebagai pengalihannya.

Paling tidak hanya bersenang-senang dengan sejumlah wanita, tetapi itu juga hanya sebatas pacaran untuk kesenangan pamer saja.

Ngomong-ngomong tentang pamer, Remmy belum berhasil menarik perhatian Felina. Hmm... apakah dia sudah layak disebut gagal?

Ck. Tidak secepat itu, Pemirsa.

Remmy mengeluarkan ponsel, lantas men-dial nomor WhatsApp seseorang.

Kalian tentu bisa menebak siapa penerima teleponnya, kan?

"Halo?"

"Hi, Babe. Kangen nggak sama gue?" tanya Remmy pede.

"Gue nggak punya pacar, jadi bahasanya tolong dikondisikan," jawab Felina dengan nada galak seperti biasa. "Felix lagi ngapain? Seharusnya kalian udah pulang sekolah, kan?"

"Orang lain bakal mikir Felix itu pacar lo, bukan adik lo. Gue rasa lo perlu rehat sedikit untuk fokus sama kebahagiaan lo sendiri. Yaaa... maybe, pacaran sama gue? Gue yakin lo bakal bahagia, percaya sama gue."

"Di otak lo kayaknya isinya cuma pacaran doang, ya. Kalo gue nggak inget lo itu temen dekatnya adik gue, udah tak lempar jauh-jauh ke laut jadikan umpan hiu biar tau rasa!"

"Ampun, Fel. Lo galak banget, sih. Jadi makin cinta, deh. Hmm... iya nih. Kami udah jam pulang. Lo nggak usah cemas. Felix bahagia kok sekarang."

"Bahagia?"

"Iya, dia kan udah punya gebetan sekarang. Gue baru tau sih makanya baru ngasih taunya sekarang."

"APA?"

"NGGAK USAH TERIAK TIBA-TIBA GITU DONG, YA ELAH! TELINGA GUE!" teriak Remmy refleks. "Ups, sori. Gue latah tadi."

"Mereka di mana sekarang?" tanya Felina, terdengar nada horor di dalam suaranya.

"Masih di kelas sih, ini bentar lagi mau cabut. Tadi telinga rakun gue mengatakan kalo Felix mau traktir dia makan ramen. Mungkin lokasinya di Cafe Young. Deket dari sini, kan?"

"Tahan mereka, Remmy. Jangan sampe ketahuan mereka sedang berduaan!"

"Loh, kenapa?"

"Masalahnya Cindy lagi otewe ke sana! Bisa berabe kalo mereka bertiga ketemu!"

"... gue otewe ke sana juga!" Remmy mendengar suara cowok di belakang Felina ikut berseru, bercampur bersamaan dengan suara Felina.

"Oh, oke. Loh? Mereka ke mana? Tadi mereka masih di sini! Hei! HEI!! FELIX!!!"

"Astaga! Beneran bakal berabe kayaknya!"

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top